PART 11
Awan hitam menggantung di langit desaku. Sepertinya hujan akan turun. Angin pun mulai berembus agak kencang. Di sebelah barat langit telah menghitam. Sudah lama hujan tidak mengguyur desa, banyak tanaman yang mulai enggan untuk melanjutkan hidupnya. Ada sebagian lagi seperti hidup segan mati tak mau akibat kekeringan yang melanda selama dua bulan.
Aku jadi ragu untuk berangkat. Bagaimana jika kehujanan di tengah jalan? Tidak lucu bukan jika basah-basah bertamu ke rumah lelaki impian. Namun, hujan kan belum turun, seperti kata orang-orang mendung itu belum berarti hujan. Jadi, aku harus bagaimana? Pergi atau tidak?
Menghitung kancing baju mungkin saja bisa menjadi solusi. Seperti yang selalu kulakukan saat aku berada dalam posisi kesulitan untuk memilih. Biasanya dengan menghitung kancing baju, pilihan akan kutemukan. Maka aku pun memulainya, memegang baju kemeja putih yang kukenakan dan mulai menghitung dari atas ke bawah.
"Pergi-nggak, pergi-nggak, pergi ...." Pilihan kancing jatuh pada "pergi". Baiklah, semoga saja hujan turun setelah aku tiba di rumah sang Dokter.
Perjalanan menuju rumah dokter memakan waktu setengah jam berjalan kaki. Lumayan jauh, tapi aku sudah terbiasa, sejauh apa pun tidak lagi terasa berat. Namun, di tengah perjalanan, hujan turun tiba-tiba dengan curahan air yang sangat lebat. Hitungan kancing baju tidak berhasil seperti yang sudah-sudah. Mau dibilang apa? Aku terjebak. Di sepanjang jalan tidak ada tempat untuk berteduh. Tak menunggu lama, sekujur tubuhku basah kuyup. Terpaksa perjalanan tetap dilanjutkan. Sudah kepalang tanggung, jika kembali ke puskesmas pun bukan sebuah solusi yang baik. Ya, sudah. Meski basah dan mulai kedinginan, tapi aku tetap melanjutkan misi yang belum tertunda.
Aku berjalan setengah berlari. Tas ransel yang ikut basah kupeluk erat agar sedikit meredakan rasa dingin yang mulai menusuk tulang. Jalanan begitu lengang, tidak ada satu kendaraan yang melintas. Sungguh lega rasanya, karena komplek perumahan tempat Dokter Adam tinggal telah terlihat. Sudah tidak sabar lagi rasanya. Aku mulai memasang ancang-ancang dan berlari sekuat tenaga. Setiba di depan pintu pagar, tampak gembok besar masih melingkar di sana. Alamak! Bisa pingsan kedinginan awak.
"Dokter ... Dokter! Buka pintu pagarnya. Aku mau masuk."
Suaraku tenggelam bersama derasnya hujan. Mana mungkin dokter itu bisa mendengar. Kuulang sekali lagi, mana tahu angin membawa suaraku tepat di telinganya.
"Dokter! Woi! Buka pintu. Dingin kali ini."
Tetap sama, Dokter Adam tidak terlihat batang hidungnya.
Aku mulai memutar otak. Bagaiman caranya agar bisa masuk ke dalam kemudian membersihkan badan dan mengganti pakaian yang sudah basah kuyup ini. Apa Dokter Adam bersedia meminjamkan pakaiannya untukku. Seperti di film-film Korea, kulihat jika ada seorang perempuan yang kedinginan atau kehujanan, pasti sang laki-laki bak pangeran tampan berkuda hitam akan memakaikan kemeja atau meminjamkan bajunya untuk si perempuan. Apa dokter yang sedang sakit ini bisa seromantis itu?
Akhirnya aku menemukan ide agar Dokter Adam mendengar panggilanku. Kuraih sebuah batu sebesar ibu jari, batu tersebut kuarahkan ke pintu rumah sang dokter. Bersiap-siap aku mengambil napas memberanikan diri.
Satu
Dua
Tiga
BRAAK!
Beberapa detik kemudian, tetap tidak ada respon. ke mana perginya dokter itu? Aku mencoba hingga beberapa kali. Tetap sama. Apa dia pingsan di dalam rumah? Aduh, bagaimana ini? Aku panik sendiri memikirkan apa yang telah terjadi kepada Dokter Adam.
Aku tidak bisa lagi berpikir jernih. Bayangan buruk tentang sang dokter menari-nari di depan mata. Kasihan sekali dia. Tinggal di sini sebatang kara, sekarang malah sakit pula.
Tanpa berpikir panjang, di bawah derasnya hujan, aku mengambil sebuah batu sedikit lebih kecil dari kepalan orang dewasa. Tak tanggung-tanggung, batu itu kulempar ke jendela kaca rumah milik dokter tersebut.
PRAAANG
Kaca itu hancur seketika. Tanpa menunggu lama, pintu depan terbuka lebar. Kulihat Dokter Adam berdiri di ambang pintu tanpa mengenakan baju. Dia hanya memakai singlet berwarna hitam serta kain sarung dengan corak kotak-kotak. Bah! Jauh dari bayanganku seperti oppa-oppa Korea. Kegantengannya telah direnggut paksa oleh lilitan sarung yang hampir melorot ke bawah. Aih Mak oi!
Kulihat mulut sang dokter komat-kamit. Aku tidak bisa mendengar ucapannya, hujan menghalangi pendengaran. Dia menunjuk-nunjuk ke arahku serta jendela. Sepertinya dia marah karena ulahku. Bah! Bukannya menyuruhku masuk malah sibuk mengurusi jendelanya yang pecah.
Aku menggedor pintu pagar sekuat tenaga. Lagi-lagi dokter itu melihat ke arahku. Kemudian dia menghilang ke dalam rumah. Tak lama, lelaki yang ternyata juga memiliki bulu dada tipis itu telah tiba kembali di teras. Ia melemparkan sesuatu ke arahku.
Apa? Kunci pintu pagar? Bukannya dia yang membukakan, malah membiarkanku semakin lama kehujanan. Dasar lelaki tak pengertian. Eh, tapi dia kan sedang tidak sehat. Bisa jadi sang dokter takut jika harus terkena air hujan. Baiklah.
Setelah membuka pintu pagar, aku berlari ke teras rumah. Bibirku bergetar menahan dingin. Aku menebak sepertinya warna dasar bibir telah berubah menjadi ungu kebiru-biruan.
"Hei! Tutup kembali pintu pagarnya," perintah Dokter Adam dingin.
"Apa? Aku udah dingin kali ini. Mana sanggup main hujan lagi." Aku menolak dan mengajukan protes.
"Yang suruh kamu main hujan siapa? Aku bilang gembok lagi pintu pagar itu." Setelah memberi perintah, lelaki aneh itu masuk ke rumah. Aku ditinggal begitu saja tanpa basa-basi sama sekali. Menyesal pula aku datang ke sini, bukannya dihargai, malah ia sama sekali tidak peduli.
Aku kembali berhujan-hujanan untuk mengunci pintu pagar. Tidakkah kau lihat wahai dokter tampan, betapa aku selalu mengikuti perintahmu. Maka siapkan gaji milikku untuk bulan ini! Setelah mengembok pintu pagar, aku kembali ke teras dan melihat pecahan kaca yang bertebaran di mana-mana. Aduhai, benar-benar akan heboh ini.
Kuberanikan diri untuk masuk. Rumah sang dokter terlihat cukup besar jika hanya ditempati seorang diri. Makanya cepatlah cari calon istri, wahai dokter. Aku siap untuk diperistri. Ahai! Senyum-senyum sendiri pula aku membayangkannya. Bersanding dengan dokter ganteng, bagaimanakah nanti saat malam pertamanya? Ah! Mulai ... jiwa nakalku meronta-ronta. Eit, tunggu dulu, memangnya ada apa dengan malam pertama? Aku cuma mau dimasakkan mie instan, kok. Pasti jika aku menikah dengan Dokter Adam, berita tentang kami akan lebih viral dibandingkan pernikahan siapa itu? Artis muda itu, oh iya, Rey dan Dinda. Juga akan menjadi hari potek* hati se Singkil, mengalahkan ketenaran Muzzammil dengan Sonia. Ah! Menghayallah, Woi, karena menghayal itu gratis.
"Asisten!" Suara Dokter Adam merubuhkan istana khayalan yang tengah kubangun. Sial!
Aku bergegas ke arah suara tersebut.
"Ya, Dok." Kulihat ia sedang berbaring di sofa tepat di depan televisi yang sedang menayangkan acara makan-makan. Oh, cacing di dalam perut. Tolong jangan sekarang kalian mengadakan demonstrasi.
"Pecahan kaca itu bersihkan sebersih-bersihnya. Jangan ada sisa secuil pun. Juga air yang menitik di lantai itu kamu pel segera." Omongannya terasa menyebalkan. Ingin rasanya aku segera pergi, jika mengingat hujan telah reda. Namun, kebalikannya, hujan bertambah lebat, diiringi petir sambung menyambung serta angin kencang. Suasana di luar begitu gelap.
"Dok, apa bisa aku bisa ganti baju dulu. Dingin kali kurasa. Jemariku sampai menciut begini."
"Ganti baju? Kamu pikir dari mana aku bisa punya baju perempuan di rumah?"
"Ya, taunya aku. Baju dokter aja kalau nggak."
Dia bangun dan melihat ke arahku dengan ujung mata. Sadis bah! Aku macam pengemis saja dibuat. Kemudian ia berlalu di depanku sambil mengencangkan ikatan kain sarung. Ingin rasanya tertawa melihat penampilannya saat ini. Kali ini dia terlihat berbeda. Tidak seperti di teras tadi. Meski hanya pakai sarung, tapi gantengmu awet, Dok. Sumpah!
"Nah, pakai ini." Dokter tersebut melemparkan sesuatu di depanku. Kubuka satu persatu, Maak! Ini daster batik dan kain sarung. Apa aku harus pakai ini? Mana juga keromantisan seperti di film-film itu, Inang.
Aku melihat tak yakin ke arahnya, masih mengharapkan kepastian, digantung itu sakit. Eh!
"Aku pakek ini? Cam betol ajalah we!"
"Terserah. Mau pakai silakan, kalau nggak mau, ya, tetap pakai baju basah itu."
"Tapi, Dok. Ada yang kurang. Cammana ni?" Aku merasa ragu untuk mengungkapkan. Malu lebih tepatnya.
"Apa lagi?"
"Itu, Dok. Apanya itu. Emh ...." Aku menundukkan kepala. Tak pernah-pernah aku begini.
"Ngomong yang jelas. Jangan ini-itu-ini-itu!"
"Aduh, sempak* sama itu, Dok. Masak harus kujelaskan lagi. Makjaang. Mati aku," sungutku sambil menunjukkan ke bagian dada. Parah kalilah dokter ini. Tingkat kepekaannya nol besar. Sungguh tidak mungkin memakai daster tanpa memakai dalaman. Bagaimana bentuknya? Takut untuk kubayangkan.
"Apa?"
Sang dokter langsung terdiam. Aku pun masih berdiri kaku. Tolong aku, Inang.
***
Bersambung
Note:
Potek: Patah
Sempak: Celana dalam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro