PART 10
Puas rasanya!
Membuat dokter itu terdiam adalah tujuanku. Dia pikir aku tidak berani, dukun kampung yang bisa ilmu dunia* saja kulawan, apalagi dia hanya seorang dokter. Walau begitu, dia tetap memesona. Setiap melihat matanya hatiku selalu cenat-cenut tak karuan. Terkadang detakannya melebihi batas normal. Kenangan naik motor berdua tidak akan kulupa, meski ujung-ujungnya aku ditinggal begitu saja.
Kejadian kemarin telah sampai ke telinga Attar. Aku telah menceritakan semuanya. Dia merasa kesal karena aku diperlakukan begitu oleh Dokter Adam. Attar memintaku berhenti. Menurutnya apa yang kurasa ini bukanlah cinta, melainkan rasa suka yang hanya bertahan beberapa waktu dan akan hilang dengan sendirinya. Sambil memainkan gemericik air di pinggir sungai, aku dan Attar menghabiskan sore bersama. Biasanya kami akan menanti senja, sekadar untuk melihat langit berubah warna dari biru ke jingga. Attar menasehatiku habis-habisan. Dia tampak sangat serius kali ini.
"Nggak usahnya ko kejar dokter tu. Kita nggak selevel sama dia."
"Memangnya harus selevel?"
"Ya pasti lah we. Dia ganteng, pasangannya pasti yang cantik. Dia kaya, harus juga sama-sama kaya. Dia pintar, setidaknya pasangannya harus sekelas."
"Sekelas? Bah! Sekelas waktu di mana? SD, SMP atau SMA?"
Kulihat Attar menepuk jidat. Dia mengerutkan kening serta menautkan ke dua alis. Kebiasaan yang kerap ia lakukan jika heran akan sesuatu. Terus, apanya yang salah?
"Bukan sekelas waktu sekolah, Bodat."*
"Jadi, apanya?"
"Kopikir ajalah sendiri."
Lelaki keriting itu membuang wajahnya. Sesekali kulihat ia melemparkan kerikil ke sungai. Riak-riak kecil pun bermunculan. Aku mencoba mengintip wajahnya. Attar seperti menghindar, ia memalingkan wajah ke arah berbeda denganku.
"Maaflah, Woi! Bodoh kali aku pun, ya. Sekelas aja nggak tau. Sekarang udahnya aku paham we," ujarku berpura-pura. Apa mungkin Attar kesal karena itu? Selama kami berteman, dia tidak pernah sekali pun bersikap seperti ini. Dia mengabaikanku untuk pertama kalinya.
"Aku pulang. Udah tak enak pulak kurasa. Nggak biasa-biasanya ko gini, Tar."
Aku bangun dan memakai sandal yang tadi kujadikan sebagai alas duduk. Sudah tak enak kurasa. Mungkin saja Attar lelah menjadi sahabatku. Sejak dulu ia mengenalku, aku memang sudah seperti ini. Hanya menggenggam ijazah SMA dan tidak lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda dengan Attar, ia sempat menduduki bangku perkuliahan di kota. Ada titel yang disandingkan dengan namanya. Kurasa mungkin dia malu. Malu yang belakangan ini baru ia sadari. Malu karena telah menjadi sahabatku.
Perasaan sedih tak bisa kubendung. Attar telah berubah. Bagaimana aku akan melalui hari-hari? Terasa berat pastinya hidup tanpa Attar. Hanya dia yang selalu ada untuk menghiburku. Lelaki itu telah kuanggap layaknya keluargaku sendiri.
Mataku mengabut. Lelaki itu: orang yang selalu mengubah tangisku menjadi senyuman, tapi hari ini sebaliknya. Dia telah memberikan kesedihan begitu mendalam untukku. Attar yang selama ini pantang melihatku bersedih, sekarang dia menjadi penyebabku menangis.
Aku berlalu meninggalkan Attar. Enggan untuk berpamitan, aku pun meninggalkannya sendirian. Jangankan bertanya, melihatku pergi pun ia tak sudi. Kumandang adzan Magrib telah terdengar. Aku menyeret langkah yang terasa semakin berat.
"Dira. Ke mana?"
Suara Attar menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang. Kulihat ia berlari mendekatiku.
"Lah, pergi nggak pamitan. Kau tinggal pulak aku sendirian magrib-magrib gini. Kalau aku dibawa jin sungai tadi gimana?"
Aku semakin tersedu saat melihat Attar merepetiku. Dia tidak terlihat seperti orang yang sedang emosi. Jadi tadii kenapa tingkahnya begitu?
"Woi, Dira. Napa ko? Yah, menangis pulak. Masih juga rupanya kau ingat Dokter Adam tu?"
Apa? Dokter Adam katanya. Apa dia tidak sadar jika penyebab aku menangis adalah karena tingkahnya barusan.
"Alamak. Magrib-magrib gini jangan nangis, nanti dipikir kuntilanak sesat kau ini kawannya. Cup cup cup, diam, ya."
Attar berusaha mengelus rambutku. Aku mendorong tubuhnya. Mudah sekali ia mempermainkan emosi seseorang.
"Kenapa tadi kamu nggak jawab aku?"
"Kapan?"
"Tadi waktu kita bahas tentang "sekelas."
"Masak iya?" Dia berlagak seperti tidak ada sesuatu yang terjadi.
"Ya!" seruku tegas.
"Salah pahamnya kau itu. Aku menghayal tadi, Wak. Membayangkan duduk di sini tadi dengan pacarku. Bukan denganmu. Coba kau bayangkan, Dir. Hari-hari aku samamu aja. Baru aku sadar sekarang, kapan juga aku punya pacar, ya, kan? Betul apa betul, Dir?"
Masa iya dia menghayal hingga tidak sadar aku pergi. Aku pula mau ditokohkan?*
"Cak* ko piker, kau aja yang kayak gini udah lirik-lirik laki-laki. Masak aku yang kayak gitu masih sendiri aja. Mana mau aku kalah saing samamu, Dir!" Attar menyambung kalimatnya.
"Bohongnya kau!"
"Bohong cemmana* pulak? Cak ko piker lagi, aku selalu disampingmu sejak ko masih anak-anak. Masak terus-terusan kukawanin sampe ko punya anak. Makjang!"
Aku tertawa mendengar ucapan Attar. Lelaki itu selalu punya cara membuatku senang. Ah, Attar!
"Ketawa aja ko. Macam kuntilanak kutengok. Pulang, pulang. Nggak ko sembahyang?"
"Sibuknya ko sama kuntilanak. Minta lamar dia nanti baru ko tau rasa!"
Aku menyikut pinggangnya. Attar mengaduh kesakitan. Kami berlari bagaikan anak-anak meninggalkan tepian sungai. Aku salah paham dan terlalu sensitif. Membayankan hal yang tidak-tidak. Sungguh memalukan.
"Dira, hati-hati ko sama Dokter Adam tu. Capek ko berenang dari mulut buaya air, masuk pula ke mulut buaya darat. Orang ganteng jarang yang setia, selain aku. Ko ingat itu, Dir."
Sempat-sempatnya dia berpikir begitu. Bukannya bergegas ke masjid.
"Ganteng kali pun macam tiang listrik diselimutin sarang burung."
***
Esok harinya aku kembali bekerja seperti biasa. Dan juga aku harus terbiasa dengan sikap Dokter Adam. Mana tahu aku bisa masuk daftar menjadi salah satu calon wanita idamannya. Meski banyak poin yang tidak kumiliki, tidak salah jika terlebih dahulu bermimpi bukan?
Pintu ruang Dokter Adam sedikit terbuka. Kuintip sedikit ke dalam, mana tahu ada sesuatu yang indah untuk dipandang. Hmm, sepertinya aku sudah mulai nakal, hilang akal karena dia. Tak kudapati wajah tampan itu di sana. Hanya seorang perawat yang sedang membereskan meja sang Dokter. Ia sedang mengumpulkan berkas ke dalam satu map.
"Woi, mana dokter ganteng?" tegurku dari pintu.
"Is kau ni lah. Bikin aku kaget aja."
"Kaget rupanya kau? Biasanya kalau orang salah niat yang suka terkaget-kaget kayak ayam sawan."
"Aku gak salah niat we. Dokter Adam suruh aku tarok berkas-berkas ini ke mejanya."
"Kenapa kau pulak yang disuruh. Siapa rupanya asistennya? Kau atau awak?"
"Mana kutau, dia suruh, ya, kukerjakan. Dia sakit. Nggak masuk kerja."
Apa, dokter incaran sakit? Sakit apa? Aduh, bisa pening ini kalau sehari saja tidak melihat wajahnya. Ibarat minum kopi, jika diminum perut masuk angin, tak diminum sakit kepala. Begitu juga dengan dokter itu, jumpa dengannya, pasti ada saja masalah, tak jumpa aku yang bermasalah. Mak oi!
Sudah dua jam di puskesmas. Seperti biasa, tidak ada pekerjaan yang kulakukan. Hanya menghabiskan waktu sambil duduk-duduk memperhatikan orang yang datang berobat. Berbagai macam bentuk orang berobat, ada yang sakit perut, ada pula yang sakit kepala, apalagi sakit gigi, sudah tidak terhitung berapa banyaknya. Menurutku obatnya hanya satu, tempelkan saja uang ratusan ribu di kening mereka, pasti langsung sembuh. Itu sakit karena pikiran, uang datang, senyum terkembang.
"Indira, Dokter Adam suruh kamu ke rumahnya. Sekarang!" seru seorang perawat dari balik meja piket.
"Hah? Ke rumahnya? Ngapain?"
"Mana kutau. Lekaslah kau pergi. Kalau kau tak mau, aku rela gantikan posisimu." Perawat itu tersenyum sinis ke arahku. Mana mungkin kesempatan langka ini kuberikan untuk orang lain. Tapi, kenapa dia menyuruhku datang? Apa dia ... rindu? Ah! Pening kali awak.
Aku bersiap-siap menuju rumah Dokter Adam. Setiba di gerbang puskesmas, aku teringat sesuatu dan kembali lagi ke dalam menjumpai perawat yang tadi menyuruhku pergi.
"Kak, mau tanya, rumah dokter ganteng di mana?"
O, Inang. Perawat itu menarik napas panjang.
***
Bersambung
Note:
Ilmu dunia: Ilmu hitam
Bodat: Monyet
Tokoh: Tipu
Cak: Coba
Cemmana: Bagaimana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro