Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 1

Lagu lawas dokter cinta yang didendangkan oleh Evie Tamala mengalun keras dari warung kopi milik salah seorang warga. Aku yang sedang berada di kantor desa bersama Attar ikut menggerakkan badan mengikuti irama tabuhan gendang dari lagu tersebut. Warga yang sedang berkumpul melihat kami sambil geleng-geleng kepala.

Dokter cintaku ....
Kau sembuh sakitku
Dengan resep cintamu
Rasa kecewa yang dulu
Tiada terasa lagi

Dokter cintaku......
Kelembutan sikapmu
Mengobati lukaku
Rasa kecewa yang dulu
Tiada terasa lagi

Aku juga mengikuti lirik lagu tersebut. Pas sekali, sekarang pun kami sedang menunggu kedatangan dokter baru yang akan bertugas di puskesmas desa kami.

Beberapa saat berselang, suasana menjadi sedikit riuh. Suara bisik-bisik memenuhi berdengung bagai nyanyian ribuan nyamuk di telinga. Kemudian semua mata tertuju pada sesosok lelaki tampan yang sedang berjalan memasuki balai desa, termasuk aku.

"Alamak oi! Ganteng kali, bah!"

Sepertinya teriakanku mengganggu sekeliling. Buktinya semua mata tertuju ke tempatku duduk. Para mamak-mamak, opung-opung* serta dua orang bapak-bapak itu menatapku dengan berbagai macam ekspresi. Pandangan mereka ada yang tersenyum geli, ada juga yang sinis tak suka. Apalah yang mereka herankan? Sudah biasa aku bertingkah begini. Tidak bisa aku membuat diri menjadi kalem seperti gadis-gadis lain. Dan kalian tahu? Aku gadis Singkil, bicara itu, ya, teriak. Kalau tidak teriak bukan bicara namanya. Aiih! Sebentar! Itu dokternya juga ikutan kaget mendengar ocehanku. Sampai geleng-geleng kepala begitu. Pandangannya begitu memesona, membuat aku melorot dari kursi ke lantai. Tak bisa kusangkal, selain tatapannya nan syahdu, senyumannya pun mengandung candu.

Siang ini kami sedang berkumpul di aula desa. Ada acara penerimaan dokter baru yang akan bertugas di desa untuk beberapa waktu ke depan. Makjang! Itu dokter sebelum datang pun, kabar tentang kegantengannya telah tersebar ke seantero tempat tinggalku. Jadi mana mungkin aku tidak ikut hadir? Rugi kali kurasa kalau sampai aku tidak ikut menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan dan akan terpampang di depan mata.

"Dira, kampong kali ko! Macam gak pernah tengokmu aja orang ganteng." Temanku Attar selalu memprotes setiap kali aku mengungkapkan kekaguman terhadap sang dokter.

"Cemburu ko, ya?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya. Pandanganku tidak boleh lepas dari dokter tampan nan manis rupawan. Duh, duh! Mata ini! Kenapa ini? Seperti dipakaikan lem setan. Tidak bisa berkedip menatap ketampanan yang ada di atas mimbar sana.

"Ko lihat itu we, matanya, dagunya, jambangnya, senyumnya, alamak! Mati aku!" Tanpa malu kembali kuutarakan kekaguman yang luar biasa meledak meletup ini kepada sahabatku satu-satunya.

Tak bisa dimungkiri, dokter itu memang menawan. Rupanya khas sekali wajah orang Aceh perpaduan Timur Tengah. Hidungnya itu tegak berdiri, bukan seperti hidung Attar yang seolah enggan menampakkan diri.

"Udahlah woi! Janganlah ko pandang-pandang kali. Ketahuan kali kalau di kampung kita lakiknya gak ada yang pas mukaknya. Asimetris semua!"

Aku tidak sanggup menahan tawa. Sepertinya Attar sudah tahu diri jika wajahnya kalah jauh dari wajah sang dokter. Bagai malam dan siang, satu cerah, eh, satunya lagi kelam! Meskipun begitu, dia adalah sahabat yang selalu ada dan setia untukku dalam segala kondisi. Dia adalah pahlawan jika aku berada dalam kesengitan. Di mana ada Attar di situ ada aku, begitu juga sebaliknya. Kami tidak bisa dipisahkan.

"Perkenalkan bapak ibu semua. Nama saya Teuku Adam Iskandar. Biasa dipanggil Adam. Saya ucapkan terima kasih atas sambutan ...,"

Aku tidak lagi mendengarkan isi kata-kata sambutan yang dokter tersebut sampaikan. Pikiranku melayang entah ke mana. Antara kantuk dan khayalan tidak jauh berbeda, aku sudah terperangkap di dalamnya. Tidak sopan! Berani-beraninya aku membayangkan jika Dokter Adam dan aku sedang menari-nari mengelilingi sebatang pohon beringin besar di depan aula. Angin sepoi-sepoi manja membuat selendangku diterbangkan ke kiri dan ke kanan. Lalu Adam, sang lelaki impian datang sambil mengejutkan dari belakang. Dia menarik selendangku perlahan, akan tetapi sontak aku juga membalas tarikannya. Kami saling tarik menarik selendang, hingga aku jatuh terguling di atas rumput dengan tanah yang sedikit becek akibat rintik hujan yang tiba-tiba saja turun. Apa tidak aneh? Padahal tadi suasana sungguhlah cerah, secerah wajahku ketika menatap Dokter Adam.

Saat sedang berguling-guling, kulihat Adam juga menjatuhkan diri dan ikut berguling di sampingku. Baju putihnya telah berubah warna menjadi cokelat tua akibat tanah becek yang lengket di kemeja. Kami berguling tak bisa berhenti, sambil menyanyikan lagu dari tanah Hindustani.

"Dira. Woi! Bangun woi! Tak tau tempat nya ko. Di mana-mana bisa ko tidur. Mau sambil jongkok, nungging bisa-bisa aja ko ngorok, Wak!"

"Hajab kali kutengok ko. Rusak mimpi awak sama dokter ganteng. Capek aku beguling-guling sampe belumpur mukakku ni. Belum pun sempat dia apa-apakannya aku, ko bangunin pulak. Kan rusak kali, wee!" Aku merasa sangat kesal terhadap Attar. Dia memang pengganggu sialan! Ahh!

Attar terheran-heran melihatku. Satu telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Dengan ekspresi jijik ia memegang ujung bibirnya kemudian kembali mengarahkan telunjuk ke arahku mulutku.

"Apa? Gak jelas juga kutengok ni anak," sungutku masih dengan perasaan kesal yang berkecamuk.

"Itu, jigongmu. Alamak. Jorok kali kutengok. Mana pulak dokter itu mau samamu. Kecuali di dunia ini udah gak ada lagi cewek lain. Barulah ko pilihan terakhir. Itu pun terpaksa kurasa." Attar tak henti tertawa setelah mengataiku. Sampai-sampai matanya yang sipit serta hidungnya yang minimalis itu tidak lagi terlihat.

" Mampus lah kau!

Aku menendang salah satu kaki Attar. Dia malah cekikikan.

"Lah! Hilang ke mana pulak orang semua? Kok cuma kita bedua yang tinggal? Mana dokter ganteng tadi?" Sibuk aku celingukan mencari semua orang. Namun, yang tersisa hanya bangku-bangku kosong. Begitu juga Dokter Adam, Pak Lurah serta Pak RT. Semuanya hilang.

"Mereka itu gak hilang, Bodat! Ko nya tidur tak tau tempat. Lagi dengar ceramah pun bisa ngorok. Malu kali awak sebagai kawanmu. Hilang pamor awak, Dir!" Attar menggerutu kesal. Ia menjitak kepalaku berkali-kali. Berkali-kali juga kubalas jitakannya dengan tonjokan. Tepat di bibir memblenya. Kapok!

"Aw! Kira-kira lah, Dir, kalau mau balas." Eh, dia malah protes.

"Dower, ko! Dower! Biar tambah maju bibirmu itu." Aku sengaja memajukan bibir bawah agar terlihat memble seperti bibirnya Attar.

"Gila nya kau kurasa! Bibirku ini pembawa hoki. Banyak gadis lengket sama aku."

"Hoki kali pun. Banyak kali pun. Lalat yang lengket! Taik dikiranya kau!"

Attar semakin menjadi-jadi. Dia tidak mau kalah saing dengan sang dokter. Sebenarnya temanku bermain dari kecil ini tidak lah terlalu buruk wajahnya. Hanya saja karena aku sudah berteman dengannya sejak kecil, sudah bosan pula kutengok. Ke jamban umum jumpa dia, di kios sayur selalu jumpa dia, ke pajak dia lagi dia lagi, di mana-mana jumpa dia. Bahkan dia sering numpang makan di rumahku. Sungguh menyebalkan! Dan bibirnya itu sebenarnya sesekali terlihat seksi juga, tapi aku lebih suka mengejeknya. Aku senang melihat dia kesal. Semakin dia kesal semakin kumajukan pula bibirku.

Aitah! Kenapa pula pembahasan lari ke Attar. Malah bahas bibir dia segala.

"Jadi ke mana dokter itu tadi pergi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ke mana lagi kalau bukan pergi lihat puskesmas. Dia kan mau jadi kepala puskesmas di sini."

Wah! Alangkah indahnya jika di saat sakit dirawat oleh Dokter Adam. Melihatnya saja bisa lari semua penyakit, apalagi mendengar ia berbicara, kemudian diperiksa sambil berpegangan tangan. Pasti aku akan hangus terbakar akibat sengatan sentuhannya. Tidak bisa membayangkan? Cobalah lihat kartun spongebob, di sana ada penampakan saat ubur-ubur di kota Bikini Buttom menyengat spongebob dan kawan-kawannya. Begitulah kira-kira.

***

Aku dan Attar keluar dari aula yang kembali sepi. Tidak ingin menghabiskan kesempatan, dengan tergesa kutarik Attar menuju puskesmas yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat pertemuan tadi.

"Ke mana lagi?" tanya Attar dengan suara beratnya.

"Puskesmas lah."

Setengah berlari aku menuju puskesmas. Sudah terlihat kerumunan orang di sana. Memanglah orang kampungku, pantang melihat yang segar-segar.

"Attar, cepatlah!" Aku berteriak sambil melihat ke belakang. Attar hanya melambaikan tangannya. Dia terlihat seperti tidak semangat. Kenapa pula kawan satu itu?

Semakin dekat dengan puskesmas, aku menambah kecepatan berlari. Ingin menerobos orang-orang yang berdiri di depan pintu.

"Minggir, dikit-dikit. Air panas mau lewat!"

Tak peduli mereka minggir atau tidak, aku terus menggasak ke dalam. Wajah Dokter Adam terus terbayang. Aduh, Inang! Tubuh-tubuh yang ada di depan kudorong paksa. Kadang sesekali aku meludah agar mereka memberikan jalan. Siapa pula yang mau terkena ludah, kan? Aku meludah kiri-kanan. Mereka mengumpatku habis-habisan.

Akhirnya aku berhasil masuk ke dalam puskesmas. Ternyata Dokter Adam tidak ada di sana. Kuputar mata ke sekeliling. Hanya beberapa orang yang duduk di kursi. Mereka sedang menertawaiku. Tidak lama, terdengar kericuhan di belakang. Aku memutar badan dan ingin melihat apa yang terjadi. Ternyata dokterku ada di sana. Dia sedang mengelap lengannya menggunakan tisu sambil menatapku dengan kesal. Tidak ada senyum. Lengkungan indah di bibirnya raib entah ke mana.

"O, Indira. Kenapa pulak kau ludah Dokter Adam? Ke mana kau letak matamu?" tanya seorang bapak yang berdiri tepat di samping sang dokter.

Alamakjang! Aku menepuk jidat.

***

Bersambung

Note:

Opung-opung = Nenek-nenek

***

Bantu like dan komen kelen we, cerita ini bukan apa-apa tanpa kehadiran kelenlah.

Aku semangat posting kalau kelen singgah di sini minum-minum kopi.

😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro