Chapter 5 - "Rencana yang Tak Terduga"
Yume bergidik ngeri saat melihat arwah-arwah yang menempelkan wajah mereka ke jendela ruang tamunya. Jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Wajah-wajah mereka pun beragam, ada yang berbentuk, tak berbentuk, hancur dan bahkan bersimbah darah. Ada yang organ tubuhnya masih lengkap dan ada yang tidak lengkap. Semuanya membisikan hal-hal yang sama dari luar. Berkat pendengaran tajamnya, dia dapat mendengar apa yang mereka katakan.
"Keluarlah, gadis manis. Aku janji tidak akan menyakitimu."
Mereka terus mengucapkannya, bahkan saat Yume mencoba mengingat kejadian yang menimpanya hari ini dan menceritakannya kepada Ibunya. Dia mencoba konsentrasi agar tak terkecok dengan suara-suara itu.
"Mereka bisa menyentuhmu?!" tanya Merumi-Ibu Yume dengan tak percaya.
Yume menganggukan kepalanya dan berusaha mengendalikan debaran jantungnya saat ini. Belum lagi karena dia berlari menarik tangan kedua adiknya secepat mungkin. Tangannya masih menggigil karena ketakutan dan dinginnya udara pergantian musim dingin. Yume ingat persis bagaimana mereka memanggilnya di setiap langkahnya di perjalanan pulang.
"Mereka mendorongku kemarin pagi-erm, jujur aku tidak menyadarinya sampai tadi. Lalu tadi pagi ada seorang arwah yang memegang tanganku dan meminta bantuan dariku." Yume menjelaskan dengan sedikit gemetaran saat mengingat kejadian yang tak mengenakkan itu.
"Mungkin itu bukan arwah, Yume? Mungkin saja itu temanmu yang jahil?"
"Ta-tapi tidak ada yang tahu tentang ini." dan aku sama sekali tidak punya teman, tambah Yume dalam hati. Yume nampak histeris, beberapa saat kemudian dia menangis. Merumi langsung buru-buru menenangkan putrinya.
"Hari ini Okaa-San akan menyuruh Otou-San pulang, oke? Kalau kita belum menemukan solusi, kamu di rumah saja dulu, ya?"
Yume menganggukan kepalanya pelan, lalu buru-buru menghapus airmatanya sebelum Akato dan Momo mendatangi mereka.
"Aneh, padahal dari dulu kalian tidak bisa menyentuhnya kan?" Merumi mengerutkan keningnya dan menepuk punggung Yume pelan, mencoba menenangkannya.
.
.
.
"Tadaima."
Yuichi-Ayahnya Yume sudah pulang, Momo dan Akato langsung berlari memeluknya. Padahal Yuichi tidak jarang pulang atau jarang menemui keluarga kecilnya. Dia sering menghabiskan waktunya bersama keluarganya, tetapi hari ini dia baru saja mengunjungi temannya yang sakit.
"Otou-San! Okaerinasai!" seru Akato dan Momo yang langsung membuat Yuichi memeluk gemas mereka, umur mereka masih empat tahun dan mereka juga bisa melihat makhluk-makhluk itu.
Akato dan Momo langsung menarik Ayahnya ke ruang makan. Kebetulan Merumi sudah selesai memasak lauk dan Yume sudah menyiapkan alat-alat makan di atas meja. Keluarga kecil itu pun makan bersama, di bumbui oleh topik-topik anak kembar mereka.
"Otou-San! Tadi aku mendapatkan teman baru!" seru Momo berceloteh dengan gembira. Tampaknya Momo akan bercerita tentang apa yang terjadi hari ini.
Merumi memandang suaminya itu dengan wajah cemas dan gugup sekali, yang membuat Yuichi langsung mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. "Oh ya?"
"Iya!" Momo mengangguk riang, sambil menyuapi nasi ke mulutnya. "Dia baik sekali."
"Siapa namanya?"
"Hanako-Chan! Dia ada di kamar mandi sekolah," ujar Momo dengan riang, yang membuat Yume hampir saja tersedak oleh minumannya. Yume memincingkan matanya menatap Momo yang polos dan masih asik bercerita. "Hanako-Chan baik sekali!"
[Note : Hanako adalah sosok hantu terkenal yang berada di WC perempuan di bilik nomor empat. Lebih lengkapnya silahkan cek google.]
Yuichi hanya bisa tersenyum sambil mengelus kepala Momo, "bagus, Momo anak yang baik."
"Momo tidak membiarkanku masuk! Padahal aku juga ingin kenal dengannya," sahut Akato cemberut.
"Itu wajar karena Aka itu laki-laki!" balas Momo tak mau kalah.
Sementara Yume, tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk menceritakan hal itu ke Ayahnya. Ayahnya saat ini tengah tertawa bahagia melihat aksi lucu adik kembarnya. Dia sungguh tidak ingin merusak senyuman Ayahnya dengan kekhawatiran untuknya nanti. Tapi Yume takut.
Bagaimanapun juga, belum pernah ada sekalipun keluarga Ootonashi yang pernah bersentuhan dengan hantu. Belum pernah ada.
Sampai malam hari pun, Yume belum bercerita kepada Ayahnya. Momo dan Akato telah terlelap, tapi Yume masih di kasurnya menatap langit-langit. Tak lama kemudian pintu terbuka menampakan sosok Ayahnya dengan larut wajah cemas.
"Yume, ayo keluar. Ada yang perlu kita bicarakan."
Yume merasa bersalah. Dipikirannya saat itu hanya terbesit bahwa Ibunya telah menceritakan masalah itu kepada Ayahnya. Dia tidak tahu harus menghela nafas lega atau tidak.
"Yume...." Saat ini mereka bertiga duduk di meja pemanas. Ayahnya menatap Yume, lalu membuka suara. "Coba ceritakan kronologisnya, secara lengkap tanpa ada yang terlewatkan."
"Uhm, J-Jadi saat itu Yume ada di gudang sekolah. Terus ada arwah perempuan yang mengajakku berbicara. Err, lalu ...," Yume meratapi tangannya. "Dia memegang tangan Yume dan meminta tolong. Sebelumnya Yume sempat di dorong oleh para arwah kemarin pagi, tapi Yume nggak sadar sampai hari ini."
"Lalu kau membantu arwah itu?" tanya Ayahnya.
Yume menggeleng. "Tidak. Jadi tiba-tiba ada yang datang, terus arwahnya menghilang."
"Siapa yang datang?"
"T-teman sekelas Yume." Agak risih juga menyebut Akihito Yuki sebagai temannya. Yume tahu dan bahkan mengerti dia dan Akihito Yuki sangat jauh. Sangat berbeda. Sangat tidak pantas.
"Siapa dia?"
Yume menahan nafas tanpa disadarinya. "A-Akihito Yuki."
Yuichi bangkit dari duduknya saat ponselnya berbunyi keras. Dia memberi kode pada dua orang itu bahwa Kakek Yume telah meneleponnya, dia akan membicarakannya di luar.
Beberapa saat kemudian, Yuichi kembali dengan wajah murung. Yume dan Merumi langsung tahu bahwa itu bukanlah berita yang bagus.
"Kau adalah keturunan perempuan pertama tanpa 'pelindung' dalam keluarga Ootonashi yang mempunyai Indra ke-6." Yuichi menerangkan dengan sedikit berat. Tadinya dia ragu dengan argumennya, namun rupanya jawaban itu benar-seperti yang dipikirkannya. "Kau akan bisa disentuh, dirasuki, dan bahkan tubuhmu bisa diambil alih sampai usiamu yang keenambelas."
"L-lalu apa yang harus Yume lakukan?" Yume bertanya dengan sedikit cemas. Yume khawatir sekali. Ulangtahun ke enam belasnya baru akan datang saat lima Januari mendatang. Masih ada sebulan. Dan selama sebulan itu, tidak mungkin Yume berdiam diri di rumahnya.
"Minta temanmu tadi mengawalmu, Yume. Dia pelindungmu!"
*
Yuki berencana meminta maaf pada Yume hari ini.
Kemarin pagi, sepertinya-dia berbuat salah terhadap gadis itu, sampai-sampai sepanjang pelajaran kemarin, gadis itu bergerak tidak nyaman. Atau saat bel pulang berbunyi, Yuki yang baru saja hendak menghampirinya langsung kehilangan jejaknya. Yume berlari cepat keluar kelas, membuat semua orang bertanda tanya.
Mungkin memang perasaannya saja-Ootonashi Yume tidak suka padanya.
Bel sudah berbunyi, namun Yume belum juga datang ke kelas, membuat Yuki menerka-nerka bahwa gadis itu mungkin akan sedikit terlambat.
Semuanya terjawab saat wali kelas mereka masuk ke kelas dan menuliskan nama lengkap Yume di papan tulis di sudut kanan bawah
音無し 夢; Ootonashi Yume
[Note: Di Jepang, itu artinya orang itu tidak akan masuk hari ini, entah dengan izin atau tidak.]
Mungkin sepertinya, Yuki akan meminta maaf padanya senin nanti.
"Aku pindah di sini yah, hari ini," ujar Rika dengan cepat, membuat semua gadis-gadis yang tadinya berpikir tentang hal yang sama langsung berdebat dengannya.
"Aku baru saja mau pindah ke sana!"
Wali kelas yang masih berada di depan pun memincingkan matanya, menatap mereka semua dengan tatapan tajam. "Kembali ke tempat duduk kalian masing-masing! Tempat duduk Ootonashi akan tetap dikosongkan."
Huft, syukur, batin Yuki menghela nafas lega.
Anugerah bagi Yuki untuk duduk disebelah Yume. Alasannya simple. Gadis itu tidak seperti gadis kebanyakan yang akan menganggunya atau mengajaknya mengobrol di tengah pelajaran. Tapi Yume mungkin beranggapan lain. Tempat duduk di sebelahnya selalu padat jika bukan jam pelajaran, Yume pastilah risih dengan tumpukan orang itu.
Jam istirahat telah tiba, mungkin jam yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan siswa. Yuki mungkin bukan satu-satunya siswa yang menunggu itu. Biasanya Yuki akan ke kantin, di temani teman-temannya, lalu kembali ke kelas dan makan bersama mereka yang menggabungkan meja mereka di tempatnya.
Ah, lengkaplah sudah kata 'sempurna' untuk lelaki ini.
Ramah, baik, tidak memilih teman, kaya dan pandai. Siapapun akan bersedia berteman dengan Yuki-kecuali Yume yang tahu diri tentunya. Dia terlalu baik.
"Yuki-Kun, hari ini kita piket bareng, kan?" Hana menyenggol lengan Yuki. "Hari ini aku harus pulang cepat. Bisakah kau mengerjakan tugasku?"
Dan-banyak juga yang memanfaatkan kebaikan hatinya.
Yuki ingat persis bagaimana Hana dengan 'percaya dirinya' memintanya menaktrir dirinya ketika di D'Precius kemarin lusa. Yuki tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia memanfaatkannya. Tapi bagi Yuki itu bukan hal yang harus dipersoalkan. Lagipula, tidak akan ada yang memarahinya jika dia pulang sedikit terlambat. Dan Yuki juga ..., malas pulang ke rumahnya.
"Oh-oke," balasnya seadanya.
Betul kan, kata Yume?
'Dasar orang baik'.
*
Senja di musim dingin sama sekali tidak terasa hangat. Sudah pukul enam sore, tapi Yuki masih berada di taman. Ah-Dia benar-benar tidak ingin pulang.
Setiap hari, lelaki itu dengan sengaja mengulur waktu. Yuki tahu bahwa kedua orangtuanya pun tahu jam pulang sekolah putra tunggalnya itu adalah jam empat sore. Sudah dua jam berlalu dan Yuki benar-benar berharap mereka akan mencarinya. Atau setidaknya menanyakan kabar.
Tapi-lelaki itu tidak pernah sekalipun dicari.
Lelaki itu merasa bahwa, kedua orangtuanya tidak akan pernah khawatir dengannya.
Tanggal tigapuluh satu Desember nanti, ulangtahunnya yang ke enambelas. Yuki ragu bahwa kedua orangtuanya akan mengingatnya. Jika mereka mempertanyakan apa yang diinginkan lelaki itu,
Kehangatan keluarga.
Dia akan menjawab itu.
Lama berdiam diri di taman dan tahu bahwa dia akan mendapat akhir yang sama seperti biasanya-tidak dicari oleh orangtuanya-maka Yuki memutuskan untuk bangkit dari ayunan, membuat ayunan itu mengeluarkan suara besi-besi yang bergesekan.
Yuki memasukan tangannya di saku, mengeluarkan sebungkus permen dan memasukan permen itu ke mulutnya. Setelah itu dia menaikan syalnya sampai sebatas hidung. Kedua tangannya dimasukannya kembali ke sakunya.
Sebelum menyeberangi jalan menuju kompleknya, lelaki itu terlebih dahulu meratapi rambu lalu lintas. Biru untuk pengguna jalan. Setelah itu Yuki baru memberanikan dirinya untuk melangkah.
Seharusnya, dia bisa sampai di ujung trotoar lain dengan selamat.
Tapi jalan ceritanya tidaklah begitu. Sebuah mobil melaju cepat ke arahnya. Sebelum mobil sedan itu mengenai tubuhnya, Yuki sempat melihat pengemudi mobil itu.
Dan matanya membesar.
BRAAKKK!
Sesuatu yang kuat mengenai perut Yuki, membuatnya memuntahkan darah. Tubuhnya terhempas jauh. Kepalanya terasa sakit dan ada luka yang menganga di sana. Wajah sebelah kirinya tergesek aspal, membuat pipinya lecet. Darah segar mulai keluar dari kepalanya, mengenangi aspal.
Pandangannya mengabur. Yuki terbaring di aspal dalam posisi miring. Diperhatikannya sekeliling jalan itu dan tidak mendapati seorangpun disana.
Terdengar suara pintu mobil terbuka, diikuti dengan suara langkah kaki yang melangkah mendekat.
"Ck, ck, ck." Orang itu berdecak angkuh. "Apa rasanya sakit? Akihito Yuki?"
Yuki bisa melihat sepatunya, sepatu lelaki dengan kaki ukuran orang dewasa. Matanya tidak bisa melihat wajah orang itu, meskipun Yuki sudah tahu siapa yang dengan sengaja melakukannya. Jika ia bisa melihat wajah orang itu sekali lagi, dia akan dengan senang hati meludahi wajahnya.
"Tatapanmu tajam sekali, Yuki." Orang itu mengelilingi tubuhnya dan menendang pinggangnya, memaksanya untuk berbaring. "Bukankah kedua orangtuamu tidak pernah mengajarkan itu?"
Mata Yuki bergerak liar. Matanya menatap ke arah tiang rambu lalu lintas. Pemerintah Jepang membuat sebuah kebijakan untuk memasang CCTV di setiap tempatnya. Yuki menemukan satu, tapi tidak ada titik merah yang menandakan bahwa CCTV itu aktif.
"Aku lebih pintar darimu, Yuki. Matilah, dan buatlah aku senang melihat penderitaan keluargamu!" Orang itu tertawa, lalu terdengar suara langkah kaki menjauh, suara pintu mobil yang tertutup dan mesin mobil yang menjauh.
Yuki meratapi darah yang mengenang di aspal, mungkin sudah mengenangi seluruh bagian tubuhnya. Tangannya yang mulai melemah mencoba menjangkau tasnya yang berisi ponsel di sana.
Dia harus meminta bantuan, atau orang itu akan menang melihatnya mati sekarang.
Hingga akhirnya tangannya terasa mati rasa, begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Dia sudah mencoba untuk mengerakan tubuhnya satu persatu, tapi hasilnya nihil. Hanya lidahnya yang kini masih merasakan manis karena permen itu melebur perlahan dalam mulutnya.
Jika dia mati sekarang, dia tidak bisa memperingatkan kedua orangtuanya. Jika dia mati, dia tidak akan pernah merasakan kehangatan dalam keluarganya. Jika dia mati, dia tidak bisa meminta maaf pada semua orang yang pernah tersinggung karenanya. Jika dia mati-maka ..., semuanya selesai.
Lelaki itu akhirnya memejamkan mata, menyerah.
Kalaupun dia mati sekarang, dia harus mengalah. Dia tidak yakin kematiannya akan berdampak besar. Dan lagipula, tidak buruk juga mati dalam keadaan mencicipi permen kesukaannya.
Permen-peach.
Setelah berpikir demikian, kesadarannya perlahan menghilang.
***TBC***
28 April 2016, Kamis.
a/n
Hai, apa kalian membaca ini saat malam Jumat? Kalau iya, nggak apa-apa ya, toh nggak ada yang nyeremin disini.
Apa sudah ada gambaran tentang Next Chapter?
Dan PENGUMUMAN kecil, semua. Rupanya saya mengedit masalahnya sampai 'parah' banget hancurnya. Tapi nggak papa, DN nggak bakal sepanjang LMP, hahaha. Suer, di word yang hari itu kuketik, masalahnya bejibun, kek LMP.
Bahkan setelah chapter 1-4 kuhapus dari word, di document Microsoft word masih bersisa 65 halaman, dengan 19.009 kata. WOW.
Itu belum di edit, narasinya belum di panjangin, dialognya belum dibenerin, kurang satu moment penting dan aduh, adek bingung hahaha.
DN update dua kali dalam seminggu (tiga kali kalau aku nda malas). Jadwal tetapnya cuman Kamis, satu/dua hari lainnya random.
Salam, Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro