Chapter 24 - "Berakhir"
Semua orang keluar dari rumah tua itu begitu sirine polisi terdengar semakin jelas di indra pendengaran mereka. Larut wajah tak percaya mereka tercetak jelas disana, beberapa diantara mereka yang tersadar segera membujuk anak-anak untuk masuk kembali ke dalam rumah. Semuanya terjadi sangat cepat, kepungan, formasi, tangisan anak-anak yang terdengar dari dalam, dan semua hal yang dilakukan untuk melumpuhkan Kanata yang tengah menyandra Yuichi.
Seorang polisi berhasil menjauhkan senjatanya dari tangannya, polisi yang lain membekap dan memborgol kedua tangannya di belakang badannya. Pisaunya kini tergeletak di atas tanah. Kanata masih saja meronta liar meski kini belasan polisi telah mengepungi rumah itu.
"Sialan! Lepaskan aku! Dia pembohong!"
Yume menghampiri ayahnya yang kini dikerubungi oleh semua keluarga kami yang keluar, mereka mengobati luka di leher Yuichi setelah menyadari luka di sana. Yume tak sengaja mencium bau besi yang sebenarnya telah disadarinya sejak beberapa waktu yang lalu. Lebih tepatnya setelah Ibunya Kanata melemparkan vas keramik itu ke punggung Kanata.
Yume melangkah mendekati polisi-polisi yang sudah berhasil melumpuhkan Kanata.
"Yume, apa yang kau lakukan? Jangan mendekati dia!" Ibunya Kanata menjerit dengan sisa suaranya yang ada.
Lagi, Yume bisa melihat tatapannya yang terlihat amat terluka. Yume hanya bisa menarik nafas panjang.
"Pak, di kantor nanti, tolong obati luka di punggungnya, ya."
Polisi yang mencekal tangannya, mengiyakan tanpa mengecek dahulu apa yang tersembunyi di balik jas hitamnya. Mereka masuk ke dalam mobil polisi dan jeritan Kanata yang sedaritadi terdengar tersiksa dengan keadaannya saat ini.
Tiga mobil polisi itu bergerak menjauh, meninggalkan suara sirine yang makin lama terdengar semakin samar, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya. Yume tak punya pilihan lain selain berbalik dan tersenyum menatap Yuichi dan Merumi bergantian, keduanya juga membalas senyuman Putrinya dengan tatapan bangga. Yume mendongakkan kepalanya sambil mengangkat tangannya yang memegang perekam suara tadi tinggi-tinggi.
"Aku mendapatkannya, kau lega?"
Yuki yang berada di atasnya tersenyum tipis yang bahagia. Hal yang sering dilihatnya, namun terlihat begitu berbeda. "Ya, terima kasih, Yume."
*
Dengan langkah ragu-ragu, Yume memasuki kamar inap Yuki setelah mengetuk pintu beberapa kali. Dia telah menduganya, bahwa orangtua Yuki akan datang di hari ini. Berita soal Kanata memang belum diumumkan di publik, berhubung karena Kanata saat ini masih diperiksa.
Yume duduk di samping Ibunya Yuki, lalu menyerahkan kotak yang dibungkusnya rapi ke arahnya. "Ini, Tante. Selamat Natal."
Rasanya Yume ingin merutuk dirinya sendiri karena hanya bisa mengucapkan beberapa kata. Yuki di atasnya melemparkan senyuman tipis dan menunggu reaksi Ibunya saat menerima benda itu. Ayahnya ikut memperhatikan, tapi tak berkata apapun disana.
Yume melirik kembali Yuki yang tengah berbaring, masih dengan beberapa perangkat medis disana. Kulitnya yang pucat dan matanya yang masih terpejam itu membuat Yume menghela nafasnya sekali lagi.
...Cara yang diberikan Kakek..., bisa berhasil tidak ya?
Kakeknya bahkan sudah tak terlihat lagi sejak tadi siang, beliau sudah merasa tenang, katanya. Yume pun tak bisa mengatakan apapun pada Akato dan Momo yang melambai-lambaikan tangan mereka penuh semangat ke langit, menyampaikan 'sampai jumpa kembali'. Kenyataannya, Kakek mereka tidak akan pernah terlihat lagi setelah ini.
Chizuko, Ayahnya Kanata, dan beberapa arwah lainnya pun sama, keduanya mengikuti Kakeknya ke alam baka. Yume tidak tahu bahwa keterpurukan seseorang bisa membuat arwah-arwah tenang di sana. Yume tak tahu Kanata sudah membunuh berapa orang sedaritadi, sebab ada beberapa arwah yang masih mengikuti Kanata meski keterpurukannya telah terjadi.
"Ini...?" Suara Ibunya Yuki membuat Yume tersadar dari semua pikirannya tadi. Yume memperhatikan perekam suara yang ada di tangan wanita itu sambil tersenyum tipis mengiyakan.
Ayah dan Ibu Yuki mendengar dengan seksama, memejamkan mata mereka dengan penuh kekecewaan sebelum akhirnya membuka matanya kembali dan menatap Yume lekat-lekat.
"...Jadi benar, kalian bisa melihat...itu?"
Yume menganggukan kepalanya, saat mendengar pertanyaan dari Ibu Yuki.
"J-Jadi Yuki...."
Ibunya mulai memperhatikan sekeliling ruangan itu, tak menyadari sedaritadi Putra-nya itu berdiri di depannya. Yume menunduk dalam, menyedihkan memang, disaat seperti ini Yume tidak bisa melakukan apapun untuk menolong mereka. Mereka pasti sangat merindukan putra mereka.
Ayahnya angkat suara begitu melihat Istrinya menangis lantaran makin terpukul dengan situasi ini, Istrinya memang sudah hampir selalu menangisi kejadian yang menimpa putra tunggalnya itu.
"Dimana Kanata sekarang?"
Yume menjawab dengan sedikit tergagap, "di kantor polisi."
"Akan kubunuh dia!" Ayahnya bangkit, Yume mengerjapkan matanya, sementara Istrinya buru-buru menahan suaminya sambil terisak.
"...Jangan, jangan lakukan itu. Jangan. Yuki sedang melihat kita."
Yume terdiam, melirik Yuki yang kini menunduk dalam menatap dirinya yang berbaring di atas ranjang. Dirinya juga menatap ke Yume, namun dengan senyuman tipis yang amat dipaksakan.
"Yume, ayo pulang."
Yume menunduk dalam, "kau tidak mau bertemu orangtuamu? Setidaknya, ambil alih dulu tubuhku sebentar untuk memeluk mereka?"
"Ya, mungkin kau benar," Yuki tersenyum lalu menjulurkan tangannya ke kening Yume. "Hanya semenit sebelum aku akan memental keluar dari tubuhmu."
"Ya," jawab Yume. "Tentu saja."
Apakah hanya Yume yang terluka dengan semua ini? Pasti tidak. Yuki pun pastinya amat terluka dengan hal yang menimpanya. Kalau saja Yume sudah merasakan perasaan sesakit ini, lalu apa sebenarnya yang dirasakan oleh Yuki? Lebih dalam dari ini? Kalau Yume bisa membantu, dia sangat ingin membantunya memulihkan sedikit lukanya.
...Dia ingin sekali.
"Otou-San, Okaa-San..."
Yume--yang kini tubuhnya diambil alih sejenak oleh Yuki--memanggil sambil menunduk dalam.
...kalau aku tidak kembali nanti malam, mungkin aku-
"Aku usahakan kembali hari ini, kalau bisa. Jadi...." Yume mengangkat kepalanya. "...tolong tunggu aku di sini."
Ibu Yuki menghampiri Yume dan memeluknya erat, "ya, kami akan menunggumu. Cepat kembali, Yuki."
*
"Kau tahu ini beresiko, tapi kau masih akan melakukannya?"
Yuki menatap Yume dengan senyuman tipis, "ini keharusan, kalau tidak sekarang, kapan lagi aku harus melakukannya?"
"Tapi kalau kau gagal...,"
Mereka sudah berada di depan pintu rumah Yume, semua arwah yang mengintip di jendela menoleh bersamaan ke arah mereka tanpa takut mendekat, namun langsung hilang begitu berada dua meter di dekat mereka.
"Aku tidak akan gagal," ucap Yuki dengan yakin. "Karena, kau juga tidak percaya diri untuk menolongku saat pertama kali aku muncul di depanmu, kan? Tapi lihat, kau berhasil."
Yume menunduk memperhatikan sepatunya, setengah wajahnya sudah disembunyikannya di syalnya. Ya, Yume juga tidak percaya ini. Dia mungkin tak akan bisa melakukannya sendiri, tanpa Ayahnya, tanpa Ibunya dan tanpa Yuki, dia tak akan bisa menyelesaikannya.
"Semoga berhasil," gumam Yume. "Kau pasti bisa."
Yuki mengangguk perlahan, sambil tersenyum. Yuki baru ingin menyuruh Yume masuk ke dalam rumahnya sebelum dia pergi, tapi tak sempat karena dari atas langit, turun butiran-butiran dingin yang membuat Yume reflek tersenyum.
"Wah, turun Salju! Tahun ini akan menjadi natal putih, padahal kemarin-kemarin acara ramalan cuaca memprediksikan tidak ada turun salju tahun ini," gumam Yume sambil mendongak memperhatikan butiran lembut dan rapuh itu. "Ah, Aka dan Momo pasti senang sekali!" ucap Yume antusias saat mengingat kedua adik kembarnya itu terus-terusan menatap salju setiap pagi sejak awal musim dingin.
Yuki hanya tersenyum, mengiyakan dalam hati. "Kau suka salju?"
"Ya, aku suka. Bagaimana denganmu?" Yume telah kehabisan topik sampai-sampai baru menyadari dirinya yang konyol. Tidak mungkin Yuki tak menyukai salju, arti namanya saja....
"Aku juga," balasnya dengan senyuman tipis. "Aku juga menyukaimu."
Angin musim dingin, bulan setengah purnama di atas sana, dan semua butiran salju yang turun saat itu, menjadi penontonnya. Yume tentu saja langsung mengerti maksudnya, tapi..., itu serius?
"...Aku akan kembali," gumam Yuki cepat. "Kita masuk di sekolah tepat di hari ulangtahunmu, kan? Pastikan kau tidak keluar dari rumahmu."
Yume mengiyakan dengan canggung.
"Lalu, kau boleh menjawabku setelah aku-" Yuki berdeham pelan. "...Aku akan menunggumu."
"O-oke."
Yuki mempersilahkan Yume masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu, sempat memperhatikan Yume yang memperhatikannya dari dalam jendela dan mengabaikan ratusan arwah buruk rupa yang menempel di kaca jendelanya.
Yuki melambaikan tangannya, lalu terbang meninggalkan rumah Yume.
***TBC***
30 Desember 2016, Jumat.
a/n
Faktanya, author menertawakan confession scene yang baru saja terjadi :v
Kemudian author bertanya dalam hati, mengapa hari ini bisa sekebetulan ini?
TOMORROW : Last Chapter on DN.
Tell me ur opinion about this chapter ><
CINDYANA
👻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro