Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

Selamat datang di chapter 5

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (hobi yang susah dihilangkan sebagai kodrat kesalaham human)

Thanks

Btw, jangan lupa siapin kresek buat jaga-jaga muntah. Soalnya ini sepanjang 2300 lebih

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Benakku mulai meraba-raba
Apakah Horizon sangat sakit hati oleh sikapku sehingga ingin menghindar dengan menemui temannya untuk meluapkan rasa sakit hatinya?

Skylar Betelgeuse
_______________________________________________

Abu Dabi, 8 Juni
21.35 p.m.

Gedung-gedung pencakar langit yang berjajar di sepanjang kiri dan kanan jalan raya serta gemerlap lampu-lampu kota Abu Dhabi mampu mengalihkan rasa mengganjal yang menjejali diriku akibat kalimat-kalimat yang baru saja dikatakan Horizon.

Oh, ayolah. Pria itu pasti bercanda sewaktu membicarakan soal pernikahan denganku. Mana ada seorang pria yang menawarkan rumah tangga pada seorang wanita di dalam mobil, tanpa cincin sebagai tanda letak keseriusannya ingin menuju ke jenjang yang lebih tingggi, dan dengan omongan acuh tak acuh seperti itu? Horizon pasti mengatakannya sambil lalu.

Dalam keadaan lalu lintas lancar, dibutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk menempuh perjalanan dari bandara internasional Abu Dhabi menuju Royal M Hotel dan Resort, tempat ayahku menginap selama syuting. Setibanya di lobi hotel, aku tidak membuang waktu untuk menelepon beliau.

“Ya, aku sudah sampai, Dad,” ucapku sebagai kalimat pembuka pada nada dering pertama yang sudah diangkat.

Johnson membukakan pintu belakang untukku. Usai mengucapkan terima kasih, sambil menjepit ponsel di antara kepala dan pundak kiri, aku menyambar ransel—yang ngotot kupangku, tidak ingin dimasukkan bagasi mobil supaya lebih mudah dan praktis—lalu mengenakannya.

Daddy dan Mommy menggumu di sofa depan resepsionis.” Suara ayah dari sambungan telepon mengalihkan perhatianku dari ransel ke sekitar. Dinding kaca hotel segera menjadi sasaran pengelihatanku untuk mencari mereka. Kepalaku yang bergerak-gerak menoleh berhenti sesudah lima detik menemukan sosok-sosok yang kucari.

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Tiba-tiba klakson mobil yang berbunyi sedikit kencang membuat tubuhku terjingkat, sampai-sampai ponsel dalam genggamanku hampir terlempar. Dengan cepat Horizon menarik lenganku dan merapatkan tubuhku yang ngos-ngosan pada dada bidangnya.

Dalam rengkuhannya, dia menyeretku ke tepi. Lalu tidak sampai satu detik, pria itu melepasku untuk menurunkan pandangan menembus mataku. Dari kerutan kedua alisnya, dia mengomel, “Ck, whach your step, Sky!”

“Yes, thanks sudah mengingatkan dan menyelamatkanku,” jawabku ringkas. Terdengar lebih sinis dari yang kuduga. Pasti karena perasaanku yang terasa diaduk-aduk, antara lega sebab terselamatkan dari mobil yang hampir menyerempetku dan kesal karena raut wajah geram Horizon begitu mencemooh, seolah-olah aku adalah anak kecil yang tidak becus berjalan.

Pria yang bertugas di depan pintu hotel menyambut kami dengan bahasa Inggris beraksen Arab. Setelah berterima kasih dan melempar senyuman formalitas, diikuti Horizon, kedua kaki yang menyangga tubuhku berpindah menuju sofa abu-abu terang di antara pilar-pilar balok marmer kombinasi keemasaan dan cokelat cerah depan meja resepsionis yang ditempati ayah dan momster.

Berhubung aku dan Horizon berencana ikut menginap di hotel ini, segala keperluan seperti check in dan lain-lain, Johnson-lah yang mengurusnya. Sedangkan pria bersetelan kerja yang terkena semburan busa pasta gigiku tadi pagi kini menyamakan langkah di sampingku.

Melihatku dan Horizon yang mencapai beberapa langkah dari beliau, ayah bangkit. Selayaknya seorang anak yang sudah lama tidak berjumpa dengan ayahnya, aku tidak bisa menahan kedua kakiku untuk berlari dan memeluk pria paro baya itu.

“Lingit-ku ... akhirnya kau datang juga. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” ucap ayah. Aku tersenyum, memejam sekejap mata dan juga menepuk-nepuk punggung yang berbalut kaos hitam berkerah tersebut secara sayang.

“Aku merindukan Daddy. Yah, kesibukan menahan kita bertemu,” balasku diiringi uraian tangan-tanganku.

Dalam balutan pakaian modis warna merah muda menyala selutut serta perhiasan sederhana tetapi elegan, senyum mengiringi langkah momster menuju arah kami dan menyapa Horizon dengan pelukan singkat.

Di saat Horizon menyapa ayah, ganti aku yang memeluk momster sebagai basa-basi, agar sedap dipandang oleh sekitar. Padahal, dalam hatiku sangat kesal perihal konser dadakan dan ingin meneriakkan serta menegoisiasikan itu secepat kilat lalu kembali ke New York.

“Syukurlah, kalian sampai dengan selamat,” pungkas momster, bernada rendah dan bersuara agak pelan.

Perlu kau ketahui bahwa, bukan kelakuan barbar atau sikap tukang marah-marah nan main pecat seenak jidat seperti kebanyakan seorang pimpinan yang memperlalukan karyawan tidak kompeten yang membuat semua personil The Black Skull takut pada momster. Melainkan gaya bicara wanita itu yang selalu bernada rendah dan bersuara pelan dilengkapi senyum yang tak sampai ke mata, serta kata-katanya yang halus tetapi mengandung ancaman.

Secara keseleuruhan aura wanita itu suram, persis bin mirip yang dikatakan salah satu personil The Black Skull. Rasanya bagai menuntunmu ke arah kematian ketika berbicara dengan momster secara face to face. Namun, aku mencoba mengebalkan diri soal ini.

Sering kali sikap protes kami ditanggapi momster dengan baik. Wanita itu memberikan senyum setelah kami mengutarakan pendapat. Anggukan samar menambah keyakikan kami bahwa ide yang kami usulkan disetujui meski wanita bergincu senada dengan pakaiannya itu tidak memberi komentar.

Namun, tiba-tiba ada saja suatu kejadian yang tidak sesuai kehendak kami ataupun normalitas musisi sesuai usulan. Contoh nyatanya, dulu kami meminta libur tiga bulan setelah konser kemarin lusa sebelum tur ke Asia dan rasa-rasanya momster menyetujui, lalu tiba-tiba ada konser dadakan bulan depan. Licik bukan?

Singkat cerita, Revina alias momster ini bagai seekor ular berbisa tinggi. Pembawaannya tenang tetapi tegas, setegas struktur rahang tirusnya yang disuntik botox sehingga kerutan-kerutan tanda usia telah sirna. Apabila ada yang mengusik barang sedikit saja, wanita berambut perak itu akan mengeluarkan bisanya yang mematikan dengan sekali gigitan.

“Ya, alam sedang berbaik hati padaku,” balasku dengan senyum yang tak kalah tak tulus juga.

Cukup berbasa-basi, setelah Johnson memberi kartu kunci kamarku dan Horizon, kami memutuskan makan malam di restoran hotel.

Restoran itu sendiri sebagian berdinding kaca. Pemandangan malam harinya sangat cantik. Laut dan langit bertaburan bintang menjadi suguhan pemanjaan mata. Kami pun memilih tempat duduk di dekat dinding agar bisa menikmati semua itu.

Ayah dan momster tidak makan malam sebab sudah makan. Mereka hanya menemaniku dan Horizon dengan sebotol anggur merah sebagai minuman pembuka. Sedangkan Johnson beristirahat—aku menduga pria Spanyol itu makan malam di kamar atau pergi makan keluar dari hotel ini—sebelum akhirnya bekerja bersama Horizon besok pagi.

Pramusaji menghamipiri dan memberikan menu. Sewaktu aku menginginkan daging panggang, momster mengambil alih makanan yang akan kupesan. “Daging panggang batal. Ganti boga bahari tanpa minyak dan air mineral. Terima kasih,” ucap wanita itu. Selayakmya momster, bernada rendah dengan senyum tak tulus pada pramusaji.

Monster mendengarku menghela napas berat. Pasrah. “Aku melakukannya untuk menjaga tenggorokanmu, Sayang.”

Untuk menjaga tenggorokanku atau asetnya agar tetap utuh dan terus menghasilkan uang?

Kuberikan senyum paksa sebab ayah dan Horizon melihat kami. “Tentu saja. Moms, yang terbaik,” sindirku.

“Ya, kau akan konser bulan depan. Sudah seharusnya aku melakukan hal terbaik dengan mengingatkanmu menjaga pita suara. Bukankah begitu?” Wanita bak burung gagak ini mencari pembelaan dari ayah yang tersenyum dan Horizon yang tampaknya mencoba mencerna keadaan.

Aku kembali tersenyum. Rambut pirangku yang terurai kugelengkan supaya turun ke punggung seluruhnya. “Nah, sebenarnya itulah yang ingin kubicarakan, Moms.” Ter, aku melanjutkan dalam hati.

“Ada apa dengan itu, Sayang? Bukankah semuanya sudah dijelaskan Mr. Reece?”

“Stop ... stop ... stop ...,” cegah ayah. “Langit dan Hirizon baru datang, jangan ada percakapan tentang pekerjaan. Aku pusing mendengarnya,” terang beliau sambil mengacungkan gelas gitar Spanyol yang terisi cairan merah keunguan yang tinggal sedikit. Sebelum meneguk minuman itu, ayah mengatakan, “Ceritakan saja tentang hubungan kalian.”

Aku sontak memelolot dan tersenyum culas. “H-hubungan apa, Dad?” tanyaku gugup, berusaha membuatnya terdengar seringanan mungkin tetapi rupanya tidak seperti harapanku.

Kulirik Horizon yang juga menyesap minuman pembuka. Sedangkan momster hanya menunduk dan menekuri minuman. Entah apa yang wanita pikirkan.

“Kalian ke sini berdua. Belakangan ini kalian juga sering bersama. Ayolah, jangan sungkan mengungkapkan hubungan kalian padaku. Aku tidak akan marah. Aku berjiwa muda,” tukas ayah dengan tangan terbuka.

“Berdua apanya? Johnson ikut bersama kami. Jadi, kami bertiga, Dad.”

“Sebenarnya kami baru saja menyinggung soal pernikah—”

“Ya Tuhan! Sepertinya itu bintang jatuh!” tunjukku pada luar jendela. Ayah mengikuti arah tanganku dengan putaran bola mata malas, sedangkan Horizon menurunkan pandangan. Sambil tersenyum tipis, dia menggeleng dan kembali menyesap minumannya, sama seperti momster.

“Kau pikir aku anak kecil yang bisa kaukelabuhi? Tapi, bukan itu masalahnya sekarang.” Dariku, ayah memutar kepala untuk menatap Horizon dengan senyum cerah. “Jadi, kalian berencan akan menikah?”

Horizon membuka mulut, tetapi aku segera mendahului pria itu menjawab, “Ya Tuhan, Dad. Coba tanya Moms, jadwal konserku mengantre sampai akhir tahun. Jadi, menikah belum masuk daftar antreanku tahun ini. Iya kan, Moms?” Kalau momster bisa memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadi, maka, aku juga harus bisa memanfaatkan wanita itu untuk kepentinganku juga.

Dengan senyum tanpa kerutan di wajah hasil botox, momster mengangguk. “Itu benar, Honey. Jadwal Skylar lumayan padat tahun ini.”

Pramusaji yang membawa senampan makanan datang menyelamatkanku. Aku makan dengan cepat. Walau boga bahari yang disajikan segar di atas bongkahan-bongkahan es batu bukan minatku malam ini, setidaknya pilihan momster tidaklah buruk. Dan setiap kali ayah menyinggung soal pernikahan lalu Hirizon membuka mulut hendak menjawab, aku selalu membelokkan topik. Juga diam-diam mengutuk pria itu!

Tidak lama setelahnya, ayah dan momster membiarkan kami istirahat. Kami menaiki elevator dan turun di lantai yang sama sebab kamar kami selantai. Orangtuaku berpamitan dan masuk kamar lebih dulu.

Ketika berjalan di koridor bersama Horizon, aku mengambil kesempatan itu untuk mencercanya. “Hebat sekali kau, Horry. Bagaimana kau bisa membawa-bawa percakapan absurb-mu di mobil tadi pada ayahku? Lihat sekarang. Ayahku jadi berharap lebih pada kita!”

“Skylar ...,” panggil Horizon bernada rendah. “Kau pikir aku sedang bercanda soal pernikahan?”

Aku memelotot. “Tidakkah?”

“Sama sekali tidak. Memangnya apa yang membuatmu berpikir aku tidak serius ingin menikahimu?”

Jantungku bertalu dua kali lebih cepat dari irama normal. Kami tiba di depan pintu kamar masing-masing. Lalu dengan tawa sumbang, aku menjawab, “K-kau tidak menyodoriku cincin untuk membuktikan keseriusanmu.”

Tiba-tiba Horizon memasukkan satu tangan ke saku celana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru merah tua. Jantungku kembali memukuli dadaku lebih kencang ketika pria beraroma leather itu membuka kotak tersebut dan tampaklah sebuah cincin bertahta berlian sederhana tetapi elegan.

“J-jadi k-kau ..., sejak kapan kau?” Aku tidak bisa merangkai kalimat yang berslieweran dalam benakku sehingga tidak rampung. Tidak tahu kenapa juga malah gelagapan.

“Kau mengataiku tidak serius karena mempermasalahkan cincin. Sekarang aku menyidorimu cincin ini. Lalu, menurutmu?”

“T-tapi kenapa kau ingin menikah denganku?”

Pria itu menghela napas lelah. “Haruskah aku menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”

Mulutku yang ternganga mengatup rapat. Buru-buru kukeluarkan kunci kartu dan kutempelkan pada gagang pintu. “Ekhm. K-kalau begitu simpan cincinmu kembali dan selamat istirahat, Horry.”

Sesudah menolak, aku kabur begitu saja. Padahal ingin sekali menyodorkan tanganku tepat di depan wajahnya supaya dia berbicara dengan tanganku saja. Namun, entah kenapa kali ini keinginanku tertahan. Mungkin sikapku terkesan sebagai penghinaan bagi pria tersebut. Namun, aku sama sekali tidak bisa melakukan apa pun atau menjawab selain itu karena terlalu bingung, syok, dan gejala kekagetan lain.


Abu Dhabi, 9 Juni
07.04 a.m.

Pagi ini Horizon tidak menampakkan batang hidungnya di restoran untuk sarapan. Ayah dan momster bertanya padaku tetapi dengan sangat menyesal aku mengedikkan bahu tanda tidak tahu.

“Bukankah kalian sekamar?” tanya ayah.

Hampir saja aku menyemburkan susu segar yang baru saja kuminum. Aku menelannya dengan cepat. “Tidak. Kami di kamar yang terpisah.”

“Syukurlah. Aku sudah khawatir kalian sekamar dan semalam aku lupa mengingatkan kalian agar pakai pengaman.”

“Uhuk .., uhuk .... ” Aku resmi tersedak penekuk yang dilumuri sirup maple pilihan momster. Cepat-cepat kurain tisu untuk mengelap mulut.

“Hati-hati tenggorokanmu, Sayang. Minumlah air mineral hangat ini,” titah momster sembari menyodorkan segelas air menaral hangat yang beliau pilihkan juga sebagai sarapanku.

“Thanks, moms.”

Sebelum obrolan berlanjut, Johnson melintas. Suatu kebetulan itu kugunakan untuk bertanya pada pria itu, agar terlepas dari topik Horizon. Johnson yang telah menyapa orangtuaku menjawab bila Horizon pergi ke Al Manhal untuk menyelesaikan beberapa urusan.

“Kau tidak ikut?” tanyaku. Menurutku sangat aneh bila seorang asisten sekaligus sekretaris tidak ikut ke mana bosnya berada di waktu kerja.

“Tidak. Sebenarnya Mr. Horizon sedang bersama temannya. Jadi aku tidak ingin mengganggu,” jawab Johnson yang tampak bingung, tetapi aku mengacuhkan kebingungan itu sebab benakku mulai meraba-raba. Apakah Horizon sangat sakit hati oleh sikapku semalam sehingga ingin menghindar dengan menemui temannya untuk meluapkan rasa sakit hatinya?

Rampung sarapan, orangtuaku kembali ke kamar lebih dulu sebab ayah akan pergi ke lokasi syuting. Johnson yang kulihat mengambil sarapan yang lain mendekatiku dan berbisik, “Jangan khawatir Miss, kata Mr. Horizon nanti siang akan menamanimu menemui Mrs. Revina Betelgeuse untuk bernegosiasi.”

Bukannya senang sekaligus lega sebab dalam keadaan sakit hati dia masih peduli padaku, aku malah merasakan kecanggungan luar biasa. Bagaimana bisa aku menatap mata Horizon nanti?

Senyum kurakit untuk Johnson. Aku pamit lebih dulu untuk turun ke lantai kamar. Kala melewati kamar ayah dan momster yang rupanya pintunya tidak tertutup sempurna, suara percakapan mereka membuat kakiku berhenti.

“Apa omonganku semalam terlalu menyunggung dan menuntut Horizon? Karena itu dia menghindar? Tapi, jujur saja, aku ingin Langit-ku segera menikah dengan Horizon,” ungkap ayah.

Aku mengintip. Meskipun pandanganku terbatas, aku bisa melihat ayah sedang mengemasi beberapa perlengkapan yang kelihatannya untuk keperluan syuting. Sayang sekali aku tidak bisa melihat momster.

“Jadwal Skylar sudah penuh akhir ini, Honey,” jawab momster, “mereka masih muda, biarkan mendalami hubungan dulu. Tidak perlu tergesa-gesa. Kalau kau mengkhawatirkan soal aset mendiang ibu Skylar tidak bisa Skylar kelola tanpa Horizon, aku bersedia membantu.”

Jantungku menghentak-hentak, memeloti gerakan ayah yang sontak berhenti. Senyum melekuk di wajah beliau. “Kau memang baik hati, Honey. Terima kasih. Aku akan melihat dulu perkembangan hubungan mereka.”

“Tapi katanya kau ingin pensiun dengan tenang tanpa memikirkan aset-aset itu?”

Sekali lagi gelombang kejut mendera benak dan batinku. Ayah akan pensiun? Kenapa tidak bilang padaku?

“Itulah masalahnya. Semakin cepat Sylar menikah dengan Horizon, semakin cepat aku menyerahkan aset-aset itu pada mereka. Aku tidak percaya pada pria lain yang berencan dengan Langit. Horizon jelas calon menantu yang baik dan tentunya bisa mengelola aset-aset itu. Lalu enam bulan lagi aku akan pensiun dengan tenang.”

Momster sontak menyela, masih dengan nada rendah. “Honey, apa kau tidak merasa mereka masih belum siap? Biarkan saja mereka yang memutuskan kapan ingin menikah. Sudah kukatakan, tidak perlu cemas soal warisan Skylar. Aku akan mengurusnya.”

Aku memilih pergi. Tidak bisa berlama-lama mendengar percakapan mereka atau rencana terselubung monster.

Bagaimana ini? Aset a.k.a warisan dari ibuku merupakan satu-satunya peninggalan beliau. Lalu sekarang, sesudah memonopoli ayah, momster ingin memonopili warisan ibuku? Tidak akan kubiarkan!

Namun, bagaimana ini? Haruskan aku menikah dengan Horizon di waktu kurang dari enam bulan sebelum ayah pensiun? Tidak adakah jalan lain untuk menyelamatkan warisan mendiang ibuku tanpa menikahi Horizon?

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus fotonya :

Horizon Devoss

Skylar Betelgeuse

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Senin, 19 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro