Chapter 33
Selamat datang di chapter 33
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen biar saya semangat ya teman-teman
Tandai juga kalau ada typo ygy
Thanks
Happy weekend everyone
Selamat membaca, semoga suka
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Kenapa nyaliku jadi ciut seperti tikus yang terpojok sedang ditodong laras panjang?
—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________
Akhir musim panas
California, 13 Agustus
Pukul 23.01
Hubunganku dengan Horizon bergerak maju selangkah dan makin dekat. Karena itulah aku berusaha untuk membuatnya bahagia dan nyaman bersamaku agar dia tidak menceraikanku. Salah satunya dengan apa yang akan kulakukan sekarang.
Ini gila. Aku tahu ini gila bin sinting bin edan bin tidak waras dan bin, bin lainnya. Namun, dengan segenap kenekatan yang membabi buta dalam aliran darahku yang berubah deras memacu adrenalin, aku tetap akan melakukannya demi Horizon Devoss. Serta meyakini seribu persen dia akan menyukai apa yang hendak kulakukan serta kuberikan padanya.
Aku bermonolog, “This is insane. But, here I’m. So, let’s do it, Sky.”
Pertama-tama, aku melempar ponsel ke kasur kemudian menekan saklar lampu kamar agar seluruhnya padam. Bukan berarti gelap gulita. Pancaran sinar rembulan kekuningan menerobos pintu ganda kaca geser bertirai transparan yang mengarah ke balkon dan menghadap laut—best view ever. Sehingga menjadikan ruangan yang terletak di lantai dua ini remang-remang.
Aku menggeser pintu ganda itu dan berjalan keluar sampai ke pagar pembatas balkon. Kepalaku celingukan untuk memastikan tidak ada seorang pun di bawah yang bermain-main di pantai depan. Merasa aman dan sendirian, kuambil kursi tunggal berpunggung tanpa lengan lalu kupindahkan membelakangi pintu balkon. Aku membongkar tas guna mengeluarkan tiang penyangga kaki tiga dan menatanya supaya ponselku bisa berdiri di sana, mengarah ke kursi itu.
Setelah mengatur posisi serta pencahayaan di ponsel, aku melepas pakaianku dan hanya menyisakan celana dalam hitam polos. Kupakai pentyhose hitam jaring-jaring berbentuk celana panjang. Lalu aku mengenakan sepatu hak tinggi hitam dengan bantalan karet merah properti syuting hari ini yang terbawa olehku. Rambutku yang semula terkucir menyerupai ekor kuda sengaja kuurai dan agak kuacak-acak. Kata Horizon aku seksi dengan rambut seperti itu. Jadi, kenapa tidak?
Berikutnya aku menyetel waktu potret di ponsel sebelum duduk menghadap balkon. Posisi kaki-kakiku membuka, sedangkan kedua tanganku saling bertautan ke atas seolah-olah seseorang sedang mengikat dan menggantungnya. Kepalaku agak meneleng ke kiri, menyebabkan seluruh rambutku jatuh ke arah yang sama. Berlawanan dengan tubuhku yang agak menyamping ke kanan, sehingga dalam siluet itu tampaklah lekukan tubuhku yang menonjol.
Untuk menyempurnakan pose tersebut, aku mendongak sambil memejamkan mata. Bibirku yang bergincu merah mentereng terbuka sedikit, membayangkan Horizon sedang mencengkram rahangku dan menciumku sangat liar hingga aku kehabisan napas.
Aku melakukan berbagai macam gaya bourdoir paling profokatif sebisaku. Beberapa kali aku juga memotret diriku menggunakan kilatan cahaya yang hanya fokus padaku. Sayangnya, hasilnya tak sebagus pose pertama yang membelakangi kamera.
Disunting dengan nuansa cahaya merah pasti lebih profokatif, tetapi aku kehabisan waktu. Janjiku hanya lima menit, tidak lebih. Oleh sebab itulah dengan segera aku mengirim foto tersebut ke ponsel Horizon. Sedetik pesanku dibaca olehnya, detik berikutnya dia menelepon—padahal aku berharap dia melakukan panggilan video karena kupikir dia ingin melihatku mandi dan foto itu semacam menjadi pemanasan untuknya.
Selepas meninggalkan sepatu-sepatu terkutuk itu di karpet, dengan semangat aku berjalan menuju kamar mandi. Senyumku yang semula masih mengembang dengan sendirinya kontan padam sepenuhnya saat mendengar kalimat yang pertama keluar dari mulut Horizon.
“Ini tidak lucu sama sekali! Apa-apaan foto itu? Kau mau pamer dada?” makinya.
“Kau tak menyukainya?” tanyaku dengan alis hampir bertautan. Aku berhenti melangkah. Pantulan cermin wastafel memperlihatkan wajah murungku. Aku pun refleks menutup bagian atas tubuhku yang telanjang karena tiba-tiba merasa sangat malu.
Horizon kembali memaki, “Menyukainya? Apa kau sudah gila? Aku lebih suka melihatmu mengenakan jaket tebal bertudung daripada melihat foto setengah telanjangmu di vila orang yang menghadap balkon!”
Sumpah, ini jauh dari prediksiku. Terutama saat menyadari respons mataku yang mulai berkaca-kaca atas makian itu. Memang, Horizon tak harus tahu bahwa pertama kali ini aku melakukan sesuatu yang sangat berbeda. Sesuatu yang kontras dengan kepribadianku untuk menyenangkan dia. Namun, alih-alih memujiku, tak pernah kusangka makiannyalah yang kudapat.
Aku ingin memaki balik, tetapi tenagaku terburu terserap habis oleh nyeri di hatiku. Menjadikanku hanya bisa membantah dengan nada lemah. “Tapi aku sudah memastikan tidak ada orang yang melihatnya.”
“Itu siluet! Setiap orang bisa melihat bayangan tubuhmu bahkan dari tempat jauh sekalipun! Aku tak percaya kau melakukan ini dan berharap aku menyukainya!”
Mood-ku yang tadinya dilambungkan oleh keinginan sleep call Horizon—yang mana itu tindakan 180 derajat berbanding terbalik dengan kondisi ketika dia di Shanghai—kini terjun bebas hingga ke dasar jurang.
“Maafkan aku,” ucapku lirih. Lebih memilih mengalah. Sebab aku tak ingin memulai pertengkaran jenis apa pun yang melelahkan lagi.
Sayangnya harapanku tidak terkabul. Meminta maaf rupanya tak mengubah apa pun. Horizon kepalang marah dan makiannya masih terus dilontarkan kepadaku.
“Behave, Sky! Dewasalah! Jangan melakukan hal sembarangan di luar rumah! Terutama saat aku tidak sedang bersamamu!” nasihatnya dengan nada sama sekali tak ramah.
“Maafkan aku,” kataku sekali lagi. Mirip karyawan yang dimarahi bosnya karena tak becus bekerja.
Masih tak mengubah apa pun. Jelas sekali menurut Horizon ini bukan persoalan kecil. Sampai-sampai dia berkata, “Renungkan tingkahmu! Dan jangan harap ada sleep call malam ini!”
Telepon diputus sepihak sebelum aku sempat melontarkan kata maaf—tak berguna—lagi. Aku berusaha menelpon, tetapi ditolak. Sekali kali kucoba untuk meneleponnya, tetapi ponselnya malah dimatikan.
Aku menyiuk dan menelan gumpalan pahit dalam tenggorokanku. Tubuhku terperenyak sampai jongkok. Sebelah tanganku yang memegangi ponsel lurus ke depan sementara daguku kuletakkan di sana mirip orang kelelahan.
Aku berusaha menarik garis bibir untuk mendoktrin diri sendiri dengan tindakan itu. Sayangnya tak sampai sedetik garis bibirku melengkung ke atas membentuk senyum masam, bibirku terburu melengkung ke bawah membentuk kemurungan.
Di titik ini aku menyadari suatu perbedaan. Dahulu apabila Horizon memakiku, aku akan memakinya balik dan perasaan yang ditinggalkan oleh makian itu hanyalah sebuah kekesalan, tak sampai pada tahap kesedihan. Sekarang jelas berbeda. Perasaanku yang berkembang telah membuatnya menjadi lebih buruk. Dimaki orang yang amat kucintai rupanya bisa membuat lubang dalam hatiku.
Aku tak semangat mandi. Hanya sekadarnya untuk membasuh keringat. Buru-buru karena ingin mencoba menelepon Horizon lagi. Tak seberuntung itu, semalaman ponsel Horizon mati. Aku bagai mengulang mimpi buruk yang beberapa waktu lalu telah kulewati. Akibatnya, nyaris semalaman aku tak bisa tidur karena mataku yang mengantuk tidak berkompromi dengan pikiranku yang hidup.
“Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku janji,” ucapku pada kotak suara nomor ponsel Horizon. Entah sudah yang ke-berapa.
Alhasil, aku hanya tidur dua jam sebelum keesokan paginya harus bersiap-siap pulang ke New York.
Sejenak aku merasa ragu. Apakah aku harus pulang ke penthouse? Bagaimana aku harus menghadapi kemurkaan Horizon nanti? Apakah aku sanggup? Apakah aku bisa menahan diri untuk tidak meluncurkan kata-kata kasar kepadanya? Apakah sepak terjangku yang ingin menyenangkannya tadi malam benar-benar keterlaluan? Kenapa nyaliku jadi ciut seperti tikus yang terpojok sedang ditodong laras panjang? Apakah ini akibat dari terlalu mencintai seseorang sehingga menjadikanku bodoh?
Aku mengencangkan sabuk pengaman ketika jet pribadi sewaan para kru lepas landas. Turbulensi sedikit terjadi. Beberapa saat berlalu hingga peringatan boleh melepas sabuk pengaman dikumandangkan. Aku melepasnya lalu mengamati ke luar jendela.
“Tadi malam kau sangat ceria. Tapi pagi ini kau terlihat sangat murung,” komentar Alton yang ternyata telah menggantikan tempat duduk Katerine di sebelahku.
Aku kaget dan refleks celingukan mencari Katerine. Ada dua tipe tempat duduk di jet pribadi ini. Ada dua sofa tunggal berjajar dan berderet. Ada juga satu set sofa melingkar yang di tengahnya terdapat meja rendah. Bersama Elijah, Katerine duduk di sofa tunggal yang tadinya ditempati Alton. Sedangkan yang lainnya, yang masih kelihatan teler gara-gara mabuk semalam, duduk di sofa bermalas-malasan. Bahkan kulihat beberapa personel dua kelompok musik sedang tidur.
“Aku baru tidur dua jam,” kilahku pada Alton. “Jadi, agak kurang semangat,” imbuhku yang berusaha merakit senyum. Semoga tidak sekaku yang kupikirkan.
“Apa semuanya baik-baik saja? Terkahir kali tidur dua jam itu saat Devoss sakit yang akhirnya membuatmu berakhir sakit juga, Sky.” Alton khawatir.
Aku pun segera menenangkan. “Tidak, semuanya baik-baik saja.”
Pria itu membalas perkataaku dengan senyuman. Bukan jenis senyum ramah, melainkan senyum miring seolah-olah baru menyadari sesuatu. “Sleep call, eh?
“Begitulah.”
Aku memutar bola mata dan berakhir melirik ke luar jendela, berusaha mengabaikannya. Ingin kuambil Air Pods yang dibelikan Horizon dalam ransel hitam kecilku sebagai penunjang kepura-puraanku; menyumpal telingaku agar tidak diganggu. Sayangnya, aku tak ingin terang-terangan tidak ingin bicara dengannya.
Meski demikian, aku berharap Alton tidak mengejarku. Aku tidak mau terpancing omongannya yang berpotensi akan menarik semua fakta dalam diriku. Dia amat ahli melakukannya. Sama persis ketika semua percakapanku bersama Katerine mengenai kontrak pernikahanku diketahui olehnya. Beruntungnya Alton menyetujui ajakan kerja sama kami untuk merahasiakannya tanpa syarat. Kalau tidak, aku mungkin bisa berakhir gila.
Mengirim foto profokatif eksklusif pada Horizon saja sudah membuatnya marah sampai seperti ini. Bagaimana jika seandainya suamiku tahu rahasia kami diketahui Alton yang notabene mantan kekasihku a.k.a orang yang paling dicemburuinya? Mungkin Horizon akan menghancurkan bumi dan menghilangkan orang-orang—termasuk Alton Mason—seperti Thanos di film Marvel.
Telingaku dibelai lagi oleh suara Alton. “Lalu kenapa kau tidak melandaikan kursimu dan tidur?” usulnya.
Mau tak mau, atensiku kembali pada Alton dan tentu saja aku beralasan, “Tidak nyaman tidur di sini.”
Senyum di bibir Alton makin lebar. Kali ini bukan tampak mengejek, melainkan geli. “Sky, Sky. Kau tak pandai berbohong. Apa kalian bertengkar?”
“Alton, bisakah kau tidak menggunakan jurus mengeruk isi pikiran dan hatiku?”
“Aku tak pernah melakukan hal semacam itu.”
“Lalu apa sebutan yang cocok dari kata-kata yang baru saja kau lontarkan? Wawancara eksklusif?”
Pria berkaus hitam pendek itu tertawa. Rambut pirang gondrongnya dia sugar. “Baiklah .... Aku hanya tak senang kau melakukan sesuatu yang membuatmu menderita. Aku peduli padamu, Sky. Bisa dibilang aku berada di posisimu dulu, saat kita masih berpacaran.”
Aku tidak setuju. “Jelas berbeda, Alton. Kita satu perasaan waktu itu, hanya saja yah, kau tahulah. Sedangkan ini tidak. Aku masih bertanya-tanya apakah dia mencintaiku?”
“Tolol kalau sampai kau berpikiran semacam itu. Bukankah sudah kukatakan dia mencintaimu?”
“Kadang aku berpikir dia hanya menganggapku sebagai objek yang bisa dikendalikan. Salah sedikit saja dia akan memarahiku seperti aku melakukan kesalahan besar,” akuku lirih.
Alton mengangguk-angguk. “Memangnya apa yang kau lakukan sampai membuatnya marah?”
Menyadari telah banyak mengeluarkan fakta dari kejadianku, aku memelotot dan menepuk pundaknya cukup keras sampai dia mengaduh. “Apa yang yang baru saja kau lakukan padaku sampai bisa-bisanya aku mengakuinya padamu?”
“Aku tak melakukan apa pun!” bantah Alton sembari menjauhkan tubuhnya dariku, gestur defensif.
“Pergilah ke tempat dudukmu tadi, Alton! Jangan di sini! Kau akan membuatku mengakui semuanya!”
“Kau lihat Kate dan Elijah? Mana bisa aku ke sana?”
Aku mengitip kursi Katerine dan Elijah yang terletak di depan kami dan mendapati mereka berciuman seperti tadi malam.
“Hell! Dasar lovebird!” umpatku.
“Jadi, apa yang kau lakukan? Apa berkaitan denganku?” kejar Alton.
“Really? Kau mengejarku dengan pertanyaan itu? Sebentar, apa kita mornal seperti ini? Kita dulu ada hubungan.”
“Kita teman sekarang. Apa masalahnya teman bercerita ke sesama temannya?”
“Masalahanya, Horizon tidak akan menyukainya. Duduk denganmu saja aku sudah waswas, takut dia tahu. Apa lagi sampai aku menceritakan sesuatu padamu. Tapi kau bisa tenang, karena bukan kaulah penyebabnya,” biskku lirih dan memandang ke luar jendela lagi. “Aku harap kau mengerti, Alton. Aku sedang berusaha mengambil hati suamiku. Kau tahu misiku. Aku tidak ingin dia salah paham.”
Aku tahu diriku seperti tidak memiliki rasa terima kasih pada Alton yang telah berbaik hati turut merahasiakan kontrak pernikahan dan misiku. Namun, sebaiknya aku memang membatasi hubunganku dengannya. Sekarang, Horizon-lah yang menjadi prioritasku.
Syukurlah, meski tersenyum masam yang kuyakini amat melukai hatinya, pria itu mengerti. Alton berdiri lalu mengusir Katerine dan Elijah. “Hei, Lovebird, pindah ke kamar sana!”
Setelahnya, aku kembali ke rencana awal. Yakni mengambil Air Pods dan menyumpal kedua telingaku dengan benda itu. Lagu-lagu The Black Skull dan Lupara pun mulai berputar. Rupanya cara itu efektif membuatku tidur sampai tiba di tujuan enam jam kemudian. Badanku lumayan segar.
Sewaktu teman-teman sudah mulai menuruni jet pribadi, aku mencoba menelepon Horizon. Lagi-lagi aku harus kecewa dengan ponselnya yang masih mati. Aku ingin menelepon Ralph, tetapi takut ditanya-tanya alasannya. Jadi, aku berencana pulang ke penthouse saja untuk istirahat dan berdoa Horizon sedang keluar rumah di hari Minggu ini.
Kemudian betapa kagetnya saat aku keluar bandara dan mendapati tanganku tiba-tiba ditarik seseorang. Mulanya aku sudah hendak berteriak, tetapi mendapati orang tersebut ialah Horizon, aku tidak jadi melakukannya.
“Bae? Kupikir kau tidak jadi menjemputku,” pungkasku heran. Devar jantungku kontan meningkat drastis.
Kacamata hitam menyembunyikan ekspresi suamiku. Dia tidak menjawab. Hanya mengambil alih koperku, lalu menarikku masuk ke mobil kesayangannya. Hatiku nyeri lagi sebab sepanjang perjalanan dia tidak berbicara. Aku pun tak berani mengeluarkan suara. Takut dia akan memakiku lagi. Dijemput seperti ini saja sudah sangat membuatku bersyukur. Setidaknya Horizon masih peduli.
Namun, sewaktu kepalaku menoleh ke luar jendela dan menyadari tidak berada pada jalur ke penthouse, aku kembali terkejut. Lalu cepat-cepat bertanya, “I-ini bukan ke arah penthouse. Kita akan ke mana?”
Aku gelagapan. Gelombang gamang cepat mengisiku. Aku takut sekali Horizon akan memulangkanku ke apartemen atau ke rumah orang tauaku lantaran tidak bisa menoleransi kesalahanku tadi malam.
Horizon tidak menjawab. Dia tetap mengemudikan mobil dengan tenang. Tidak lama kemudian, ketika mobil ini memasuki daerah North Salem Stable, kelegaan sedikit demi sedikit mulai membaluri tubuhku.
“Turun,” titahnya yang sudah tidak berkacamata hitam. Tampaklah matanya yang menatap tajam diriku sembari membimbingku.
Tertatih-tatih, aku berusaha mengikuti langkah lebar Horizon yang mengarah ke istal. Di sana aku melihat kuda kesayangannya sudah disiapkan pengurus kuda.
Horizon kembali memberi titah, “Naik.”
“Tapi—”
“Naik,” potongnya dengan nada agak berang hingga mengecilkan nyaliku yang sudah ciut sejak semalam.
Lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut? Jadi, aku meniti pijakan yang sudah disediakan pengurus kuda lalu naik Achilles. Yang tak kusangka-sangka, Horizon ikut naik di belakangku. Ini bukan kebiasannya. Horizon tidak pernah menaiki kuda kesayangannya tanpa mengganti pakaiannya dengan pakaian berkuda serta bot. Bukan pakaian dan sepatu kasual seperti ini.
Kaki Horizon menendang pelan perut Archiles selaras dengan tangannya yang menarik tali kakang. Kuda itu berjalan pelan keluar dari istal menuju jalan setapak. Setelah melewati pedok, Horizon kembali menendang perut kuda agak kencang. Tarikannya pada tali kekangnya juga agak kencang. Laju Achilles makin kencang.
Jantungku kobat-kabit. Takut sekali. Ke mana kira-kira dia akan membawaku dan apa yang akan dilakukannya terhadapku? Apakah aku akan dibunuh? Horizon masih waras, kan? Dia tidak akan sekejam itu, kan?
Kami melewati jalan setapak lagi yang masih termasuk daerah North Salem Stable. Aku tahu peternakan ini sangat luas. Namun, tak menyangka akan berhektar-hektar luasnya.
Tak lama kemudian, setelah terus-menerus mendengar deru angin, sayup-sayup aku mendengar suara gemericik air. Horizon memelankan sembari membelokkan Achilles ke kanan. Pemandangan berikutnya sejenak dapat membuatku lupa akan ketakutanku.
Aku tak pernah menyangka di sini ada air terjun alami yang tidak seberapa tinggi. Tempatnya memang agak terpencil dikerubungi pohon maple rindang yang tidak seberapa dekat jarak antar pohonnya. Sangat memanjakan pengelihatan.
Aku masih mengagumi keindahan alamnya saat laju Achilles tahu-tahu berhenti total. Horizon melompat turun, lalu membinginku turun.
Horizon menali kekang Achilles ke sebuah pohon. Kuda itu pun makan rumput hijau di bawahnya. Selanjutnya Horizon menarik tanganku. Aku baru akan bertanya tujuannya, tetapi berikutnya yang dia lakukan kepadaku membuatku terkaget-kaget sampai pening.
Horizon mencium bibirku secara tergesa-gesa sampai aku kewalahan. Secara bersamaan, dia menarik kaus hitamku.
“Tunggu, Bae," cegahku yang berusaha menutup kausku lagi, “apa yang kau—hmp!”
Horizon tidak membiarkanku bicara. Dia membungkam mulutku menggunakan mulutnya yang sensual. Tanganku dicengkeramnya amat keras sampai sakit. Tangan yang satunya digunakan untuk menarik kausku sampai lepas dan membuangnya ke rumput asal-asalan. Setelahnya, dia memerintah, “Berbaring.”
“Tunggu, apa yang kau lakukan?” tuntutku cepat-cepat sembari berusaha menutupi tubuhku.
Horizon tersenyum miring bagai iblis dalam tubuh malaikat dan berbalik tanya, “Tidakkah kau bisa menebak? Aku ingin menyenggamaimu di sini.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah ninggalin jejak vote dan komen
It’s mean a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 12 Maret 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro