Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai kalau ada typo

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will enjoy and love this story as well

❤️❤️❤

____________________________________________________

Aku tidak boleh jatuh cinta pada pria itu.
Terutama bila kami merencanakan perceraian di akhir tahun.

—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________

Musim panas
New York, 16 Juli
18.40 p.m.

Horizon Devoss mengingkari janji. Pria itu kembali tidak memberiku kabar selama hampir seminggu selama dia di Shanghai. Sebagai seorang istri yang hanya berpura-pura mencintainya, seharusnya aku tidak merasa kesal. Maksudku, apa pun yang Horizon lakukan di luar sana, aku tidak harus peduli. Itu bukan urusanku. Bagian paling penting, selama semua rencanaku berjalan lancar, aku seharusnya tidak peduli. Sungguh! Aku benar-benar tidak harus peduli!

Namun, kenapa aku justru merasa ragu dengan kata-kata yang kusuntikkan kepada diri sendiri sebagai doktrin itu?

Mulanya, aku tiba di New York dan entah kenapa merasa penthouse kami kosong melompong. Maksudku, ini seharusnya tidak terjadi padaku. Toh, beberapa tahun belakangan ini aku tinggal sendirian sebelum pindah kemari.

Hatiku lantas bertanya-tanya: apakah karena setiap hari aku terbiasa melihat Horizon berada di sekelilingku?

Sewaktu bangun pagi, aku melihat pria berbadan tegap itu terlelap di sisiku, memelukku. Hangat napasnya yang berembus dan membelai tengkukku membuatku merasa nyaman dan aman. Saat memasak sarapan, aku sering kali mengintipnya berlari di treadmill sambil berharap tubuh kekar mengilat penuh keringat Horizon tidak membuat liurku menetes ke lantai. Hingga hendak memejamkan mata di malam hari menjelang tidur, dialah orang yang terkahir kali kulihat.

Singkatnya, Horizon Devoss ialah orang pertama dan terakhir yang kulihat setiap hari. Apakah karena itu aku jadi merasa kesepian di penthouse sendirian? Lalu bagaimana dengan rencana perceraian kami di akhir tahun? Sanggupkah aku kembali ke apartemen lamaku ditemani sungai Hudson yang beku dan patung Liberti yang berselimut salju?

Dulu aku bisa melewati hari-hariku dengan baik pasca-terpaksa putus dari Alton Mason yang begitu kucintai. Prestasi terbaiknya, berkat campur tangan Momster kami bisa menjadi partner. Maka, bukankah semestinya aku juga akan bisa melewati perceraianku dengan Horizon nanti? Lebih-lebih bila aku tidak memiliki perasaan cinta kepadanya, bukan?

No, this is too early to think about it, Sky. Your priority is your mom’s resort.” Aku bermonolog sambil memperhatikan cincin pernikahanku. Selanjutnya pandanganku bergeser ke gelang hitam couple-ku dengan Horizon yang kami beli di Bangkok. Kini gelengan menyertai tanganku saat mengusap pelan gelang itu.

Setelah berhasil mengembalikan pikiranku ke jalur yang tepat, aku memutuskan menata oleh-oleh yang kubeli di Bangkok. Pajangan-pajangan itu sebagian besar kuletakkan di lemari pajangan sebelah kasur kamar kami agar suasananya lebih hidup. Tidak seperti saat awal aku menginap di sini; kamar luas modern dan bernuansa monokrom, tetapi terkesan dingin seperti Horizon.

Beberapa hari berikutnya, aku pergi bekerja dengan mengendarai mobil Horizon. Beberapa hari itu pula Horizon masih tidak menghubungiku. Dan, sewaktu malam ini semua personel serta manajer The Black Skull dan Lupara makan malam, aku sama sekali tidak ingin melewatinya.

“Hideyoshi ..., Hiro ..., kami membawa pasukan baru,” teriak Rigel begitu masuk restoran. Kami lantss duduk.

Sejujurnya, ide mengirimkan fotoku bersama mereka—yang mana ada Alton Mason juga—ke Horizon sangat menggoda akal dan pikiranku. Aku membayangkan suamiku itu akan kebakaran jenggot dan langsung terbang dari Shanghai ke New York untuk memarahiku yang lancang makan malam bersama mantan kekasih. Namun, aku juga sangsi Horizon akan melakukanya demi diriku.

Jadi, kuputuskan untuk tidak menunggunya. Aku pun tidak ingin mengirimkan fotoku dengan pose mengundang untuk menggoda Horizon. Kubiarkan diriku seperti Skylar Betelgeuse yang dulu; bebas, tanpa suami. Bukankah itulah yang sedang kuidam-idamkan? Kenapa di saat dihadapkan dengan harapan yang terwujud ini rasanya tidak sesuai ekspektasiku?

Di Sushi Yasuda aku hanya duduk, berusaha takzim memakan makanan pesananku seraya mendengarkan manajer Lupara memarahi Alton.

“Hei, Alton! Kau dan Skylar akan rekaman besok lusa!” omel pria berperawakan kurus itu yang telah menangkis botol bir Sapporo dari genggaman Alton. Lalu dia meminta, “Berikan bir itu padaku!”

“Ah! Tidak asyik! Padahal aku hanya ingin minum satu teguk untuk self reward! gerutu vokalis Lupara tersebut yang tampak tidak ikhlas menyerahkan botol birnya kepada manajernya.

“Dasar kau ini! Setelah konser kau baru boleh minum!”

Satu decakan keluar dari mulut Alton. Dia memutar bola mata malas dan mencomot sebutir takoyaki. Sebelum menyuapkannya ke mulut, dia melanjutkan, “What a piece of shit! Itu masih beberapa bulan lagi."”

Suara pria yang duduk di seberangku itu memang pelan. Namun, aku yakin bisa didengar oleh semua orang di meja kami. Kalau tidak, mana mungkin semuanya tertawa—kecuali aku—dan manajer Lupara menukikkan alis seperti itu serta menggertak, “Turuti saja kata-kataku, Alton! Ini demi kebaikanmu dan semua orang!”

“Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi demi neraka .... Aku hanya berniat membasahi tenggorokanku dengan seteguk minuman. Dia sudah secerewet ini. Bagaiamana seandainya aku minum segelas atau sebotol? Aku yakin dia pasti akan kesurupan.” Alton mengeluh lagi sambil mengunyah makanannya.

Obrolan mereka disela oleh kedatangan Hideyoshi di meja kami. “Ini dia sushi yang kalian pesan,” katanya. Setelah meletakkan menu menggiurkan itu di meja, dia berkacak pinggang dan melihatku. “Suamimu belum pulang dari Shanghai, Sky?”

Kedua alisku pun terangkat. “Dari mana kau tahu Horizon di Shanghai?” tanyaku heran.

“Semua orang di meja ini membicarakan alasanmu sangat pendiam malam ini,” jawab Hideyoshi tak kalah heran. “Padahal kami tahu kau pembuat onar sejati kalau sudah di sini. Makan sushi buatanku atau buatan Hiro sambil bernyanyi layaknya konser.”

“Astaga, kau selalu menyebutku pembuat onar. Padahal aku merasa tidak melakukannya,” cibirku.

“Nah, coba kalian lihat sendiri. Sesuai dugaanku, bukan? Dia merindukan suaminya. What a new couple of love bird. Hahaha ...,” ledek drummer The Black Skull itu yang sudah berdiri. Lalu memeluk diri sendiri seperti memperagakan suami istri sedang berpelukan.

Demi Neptunus! Ingin sekali kutimpuk kepala botaknya lalu kugosok sampai kinclong. Berani-beraninya Strom membaca isi hatiku yang berupaya kusangkal mati-matian!

Tunggu sebentar! Apa aku baru saja mengakui bahwa aku merindukan Horizon?

Gawat!

“Memangnya apa salahnya seorang istri merindukan suaminya?” bela Alton yang membuatku dan semua orang terkejut.

Pikiranku pun terhenti. Selaras dengan tawa meledak mereka yang mendadak sirna digantikan deham. Beberapa di antaranya buru-buru makan sushi dan minum bir.

Kecuali Hideyoshi. Koki sushi itu malah menimpali omongan Alton. “Kau benar. Apa salahnya Skylar merindukan suaminya? Ah, aku jadi ingat beberapa waktu lalu sebelum Sky menikah dengan Horizon—”

“Ck! Hentikan, Hideyoshi!” cegahku. Hideyoshi memang tidak boleh dibiarkan lama-lama di sini. “Lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku tahu kau sibuk,” usirku secara tidak langsung.

Sayangnya, pria keturunan Jepang yang fasih berbahasa Inggris itu tidak menggubrisku dan malah meneruskan terocosannya. “Mereka bertemu Hiro. Dan apa kalian tahu? Horizon Devoss cemburu pada Hiro-san. Hahaha ....”

Dasar Hideyoshi! Seharusnya aku tidak ikut makan di sini karena mulut orang satu ini terlalu blak-blakan. Suka bergosip. Bila bila disandingkan dengan Storm, mereka memang cocok.

Hal yang paling menyebalkan, sepertinya mereka belum puas menertawaiku yang hampir mendidih ini. Karena berikutnya, tanpa kuduga Alton juga mengatakan, “Dia juga pernah cemburu padaku sebelum mereka menikah.”

Bukannya berhenti. Rigel malah membocorkan informasi penting kepada Hideyoshi yang belum sempat kucegah. “Itu wajar karena kau mantan kekasih Skylar, Alton. Pria mana yang tidak cemburu melihat calon istrinya bekerja dengan mantan kekasihnya? Aku pun pasti akan begitu. Iya, kan, teman-teman?” Setelah semua pria di meja kami mengangguk setuju, dia melanjutkan, “Yang tidak wajar itu, sebelum mereka menikah, suatu pagi Horizon pergi ke penthouse-ku dan menanyakan keberadaan Skylar. Apa dia pikir aku menyembunyikan Skylar di rumahku? Hahaha ....”

Stop your hell mouth, Storm!” Aku meletakkan sumpit sangat keras di meja. Lalu berdiri sambil berteriak, “Kenapa kalian seperti mengolok-olok suamiku? Dia pria normal yang bisa cemburu! Kenapa? Kalian iri padanya?”

“Sky, bersabarlah. Kau tentu tahu mereka hanya bercanda,” bujuk Lea yang duduk di sebelah kananku sambil menarik-narik tanganku, memintaku agar duduk kembali.

“Iya. Kenapa kau emosi begitu?” tanya Katerine heran.

Jangankan Katerine. Aku sendiri juga heran. Kenapa aku malah membela Horizon? Tidak terima suamiku itu dibuat bahan bercandaan?

Ohohoho .... Look at her face, Guys. Red ..., red ..., red .... She's blushing. Hahaha ...,” ledek Storm lagi. Kata-katanya bernada. Jujur saja, suaranya sumbang. Membuatku ingin sekali membungkam mulutnya itu menggunakan serbet di meja.

“Maaf, Sky. Aku tidak bermaksud mengolok-olok suamimu.” Perkataan Alton yang sungguh-sungguh membuyarkan imajinasiku mengikat Rigel di tiang panggung dansa penari striptis dengan mulut tersumpal serbet.

“Aku juga,” sahut Storm cepat yang sepertinya berubah jadi tidak enak.

Hideyoshi pun mengikuti jejak kedua pria itu. “Maaf, aku juga tidak bermaksud mengolok-olok Horizon. Aku hanya ingin menggodamu, Sky. Omong-omong, sebaiknya aku kembali bekerja atau Hiro akan memecatku.”

Dasar kalian semua!

Musim panas
New York, 20 Juli
16.52 p.m.

Sabtu ini aku mengajak Katerine ke Gardenia. Yakni toko lumayan besar yang menjual berbagai bunga dan bibit tanaman. Sebenarnya aku juga mengajak Lea. Sayang sekali gitaris The Black Skull itu harus ke rumah kakaknya.

“Memangnya untuk apa kau membeli tanaman seperti ini?” tanya Katerine. Wanita berkaus kedodoran putih dan ber-hot pant biru pudar itu ikut menyentuh salah daun monstera besar yang kusentuh.

“Karena penthouse kami terasa dingin,” jawabku jujur.

Katerine sontak memelototiku dengan tangan terangkat di depan dada sehingga membuatku sedikit terhenyak. “Wow, wow, wow .... Tunggu sebentar. Apa aku tidak salah dengar, Sky? Kau menggunakan kata ‘kami’ untuk mendeskripsikan dirimu dan Horizon?”

“Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu, Kate?”

Katerine menyipitkan mata dan menuduh, “Apa kau jatuh cinta pada Horizon Devoss?”

Degup jantungku berdetak lebih cepat akibat mendengar itu. “Mana mungkin aku begitu? Jangan konyol, Kate!” sangkalku sembari berpindah ke rak sebelah dan melihat-lihat spider plant di pot agak besar.

Sky, I'm serious. Kemarin waktu makan malam di Sushi Yasuda kau juga marah karena Alton, Storm dan Hideyoshi membicarakan Horizon. Sepertinya kau memang jatuh cinta pada Horizon.” Lagi-lagi Katerine berspekulasi dan mengikutiku menyentuh spider plant.

Jujur saja, kemarin sewaktu hatiku tidak sengaja mengakui merindukan Horizon, di malam harinya aku berpikir ulang betapa berbahayanya itu. Apalagi sekarang Katerine dengan lancangnya menyimpulkan aku jatuh cinta pada Horizon. Ini mengerikan. Benar-benar bencana besar. Aku tidak boleh jatuh cinta pada pria itu. Terutama bila kami merencanakan perceraian di akhir tahun. Aku tidak ingin sakit hati. Lagi pula, resor ibu yang paling penting sekarang.

Jadi, aku kembali berdalih, “Astaga, aku hanya berakting membela suamiku. Itu normalnya tugas seorang istri.”

“Begitukah?”

“Tentu saja. Kau tahu sendiri bagaimana perjanjian itu, bukan?”

“Kau benar. Yah, aku hanya tidak menyangka kau pandai berakting.”

Dikarenakan kebanyakan mengobrol di luar topik tentang tanaman, aku jadi asal beli bibit pohon maple. Katerine pulang lebih dulu sebab ada urusan. Jadi, aku menanam pohon itu sendirian di pot besar di balkon ruang tengah sesuai arahan penjual.

Salah satu karyawan toko itu memang menawarkan bantuan menanam bibit tersebut. Namun, aku menolak. Meski baru pertama kali melakukannya, setidaknya aku memiliki kegiatan. Bukan menganggur yang pastinya akan membuatku memikirkan Horizon Devoss. Lalu berujung kesal karena pria itu tidak menghubungiku.

Only love make lovers hurt. The world is really big if you look more deep. Keep smiling and sing with us. Na ... na ... na ....” Aku menyanyikan lagu kolaborasi The Black Skull dan Lupara. Kugunakan sekrup sebagai mikrofon. Aku pun berjoget ala rock seperti konser.

Setelah menyelesaikan pekerjaan ini, aku mandi dan konser lagi di kamar mandi. Nah, pada saat itulah aku kembali merasa kesepian. Jadi, kuputuskan untuk menonton Netflix karena malas makan malam.

Where is the remote? Dum! Dududum! Where is the remote? Dum! Dududum! Huo ....” Aku mencari remote sambil bersenandung dan menemukannya di laci nakas paling dalam.

“Kenapa remote ini agak retak? Apakah terjatuh? Masih bisa digunakan tidak, ya?” Aku bermonolog, membolak-balik benda itu. Lalu mengedikkan bahu dan segera memposisikan diri rebahan di kasur. “Apa boleh buat. Biar kucoba saja.”

Kala menekan tombol untuk menyalakan TV, betapa kagetnya aku saat mendengar lemari pajangan di sebelah kasur bergeser seperti pintu kamuflase yang mengarah ke suatu ruangan. Anehnya, TV tersebut tetap mati.

What the hell?” gumamku yang sontak bangkit.

Berhubung penasaran, aku mencoba menekan tombol remote itu. Lemari pajangan kembali bergeser seperti pintu yang ditutup. Tidak yakin dengan apa yang kulihat, aku mencobanya sekali lagi. Lemarinya pun kembali bergeser seperti pintu yang dibuka.

Ruangan apa ini?

Dengan perasaan waswas, aku perlahan mengambil ponsel dan mencoba menerangi ruangan gelap itu. Lemari pajangan kaca yang menempel di dinding segera menjadi sasaran pengelitahanku. Kala baru melangkahkan kaki masuk, lampu tiba-tiba menyala. Kelihatannya itu lampu otomatis. Membuat seluruh ruangan kontan terang-benderang meski hanya lampu kuning yang terkesan hangat.

Ruang ini luasnya kira-kira seperempat dari luas kamar. Dindingnya tampak didesain kedap suara. Aku melihat beberapa pajangan tertata rapi di lemari kaca di kanan dan kiriku—seperti menyambut orang yang akan masuk ruangan ini.

Salah satu pajangan dapat kukenali; tapal kuda bertanda tanganku. Ingatanku pun kembali ke konser The Black Skull dua tahun lalu di mana River dan Horizon meminta tanda tanganku di acara fan signing. Aku juga ingat betul kalau tapal kuda itu milik Horizon.

Tidak hanya itu. Di sebelah-sebelahnya, banyak juga benda bertanda tanganku yang dipajang di sana.

Apakah ini sebuah museum khusus tanda tanganku?

Garis bibirku melengkung membentuk senyuman. Namun, ketika aku melangkah lebih jauh, senyum itu sirna digantikan jantungku yang nyaris tergelincir di lantai karpet lantaran melihat banyak sekali lukisan cat minyak seorang wanita berambut pirang serta bermata cokelat yang memenuhi dinding dengan berbagai pose. Sebagian besar close up.

Siapa wanita itu? Kenapa ada di ruang ini?

Atensiku beralih ke meja kerja di bawah dinding itu. Ada laptop dan benda-benda lain di atasnya. Lagi-lagi akibat penasaran, aku pun ke sana, meletakkan ponsel dan memungut sebuah kotak cincin berbentuk hati warna merah. Menilik tidak ada satu butir debu pun yang menempel di telapak tanganku, kuasumsikan benda ini belum lama ditinggalkan.

Aku membukanya dan cincin bertahta berlian indah segera tertangkap mataku.

Cincin siapa ini? Dan ruangan apa ini sebenarnya?

“Astaga!”

Ponselku yang bergetar dan berdering tanpa aba-aba membuatku terkejut. Kotak cincin dalam genggamanku terlepas dan jatuh mengenai papan ketik laptop. Layarnya otomatis menyala. Memamerkan jeda video seorang wanita bergaun biru pucat elegan yang berdiri di tengah-tengah kelopak mawar berbentuk hati. Wanita itu bentuk nyata dari semua lukisan di dinding. Beberapa orang yang mengelilinginya termasuk Ralph Brachii, masing-masing memegangi balon huruf. Dan bila huruf-huruf itu digabung terbaca: “Will you marry me?

Dengan jantung bertabuh kencang, aku menekan enter. Video berputar. Wanita itu menutupi mulut menggunakan kedua tangannya saat Horizon Devoss yang berpakaian formal mendekatinya, lalu berjongkok di depannya.

Horizon Devoss, pekik wanita itu dan aku merasa atmosfer dalam ruangan ini menjadikan napasku tersengal. Sekujur tubuhku pun mendadak dingin, tetapi mataku tiba-tiba memanas.

Horizon mengulurkan kontak cincin berbentuk hati—kotak cincin yang sama persis di atas papan ketik laptop saat ini. Dengan wajah ceria, pria itu bertutur lembut. “Will you marry me, Ginny Lauren?”

Aku menelan gumpalan pahit di tenggorokanku saat melihat wanita itu terharu, begitu pula dengan semua orang yang menyoraki mereka supaya menerima lamaran Horizon. Dan tanpa ragu sedikitpun, Ginny Lauren mengangguk. Aku bersumpah melihat betapa bahagianya Horizon sewaktu menyematkan cincin itu ke jari manis Ginny.

Aku lantas memejamkan mata setelah melihat mereka berpelukan dan berciuman.

Jujur saja. Selama mengenal Horizon, aku tak pernah sekalipun melihat wajahnya berseri-seri seperti itu. Aku juga tidak pernah mendengarnya bertutur kata lembut padaku seperti caranya berbicara pada Ginny. Seolah-olah Ginny merupakan pusat hidupnya, kebahagiaannya, dunianya.

Tidak sekalipun. Tanpa terkecuali saat dia melamarku dua kali.

Aku merasa linglung saat mendengar tepuk tangan orang-orang di video itu berhenti digantikan dering ponselku. Ingin kubanting ponsel itu karena suaranya sangat berisik. Siapa pun yang menelepon pastilah benar-benar tahu cara membuatku kesal.

Aku membaca sederet nomor asing lalu menggeser layar untuk menerima panggilan itu. Aku baru hendak memaki si penelepon, tetapi urung saat mendengar suara panik seorang pria di seberang. “Oh, Tuhan ..., akhirnya Anda mengangkat telepon dari nomor baruku ini. Mrs. Horizon.”

“Johnson? Ada apa?” tanyaku cepat-cepat, jantungku lebih membanting-banting di balik dadaku.

Apa Anda bisa ke New Jersey sesegera mungkin? Mr. Horizon kolik[3] dan harus segera operasi.

_______________

[3] Rasa nyeri yang amat sangat yang hilang timbul di daerah usus atau sekitarnya.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto:

Horizon Devoss dan Ginny Lauren

Skylar Betelgeuse

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Minggu, 1 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro