Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19

Selamat datang di chapter 19

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Terima kasih

Well, happy reading everybody

Hope you enjoy and love this story as well

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Kenapa air mataku malah mengancam tumpah yang kuyakini tersulut dari emosiku terhadap ketidakpeduliannya?

—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________

Musim panas
Seoul, 15 Juni
17.00 p.m.

Rasakan kau Horizon Devoss!

Hahaha! Akhirnya setelah seminggu lebih Horizon tidak membalas satu pun pesanku atau mengangkat panggilan teleponku, dia sedang berulang kali mengetik dan menghapus di ruang obrolan kami sekarang.

Rasa penasaran menyelinap ke dalam benakku tanpa malu-malu. Bagaimana kira-kira Horizon membalas pesanku? Apakah dengan amarah diliputi gairah yang berhasil kupancing dengan mengiriminya foto genital string hitam berenda sangat minim kesukaannya yang teronggok dan mengumpul di bawah kedua kakiku saat duduk di closed dalam toilet?

Pesan yang mengisyaratkan aku sudah tidak kedatangan tamu bulanan. Dia sangat cerdas, jelas bisa menangkap sinyal yang kuberikan untuk menggodanya. Namun, senyum di bibirku pun memudar hingga membentuk garis cembung saat menyadari apakah tindakanku ini terlalu berlebihan?

Sejak kapan aku menggoda seorang pria, meski notabene itu suamiku? Seumur hidup, aku tak pernah melakukannya. Fakta baru ini sungguh mengejutkanku.

Lalu aku membayangkan, bagaimana kalau—hanya—amarah Horizon yang akan kuterima karena mengganggunya bekerja?

Aku memang tidak peduli komentar momster pekan lalu tentang Horizon yang katanya tidak seperti perkiraanku. Namun, dengan tidak adanya respons atau sambutan hangat Horizon selama seminggu ini, entah kenapa mau tak mau pikiranku tersangkut pada perkataan tersebut. Usaha yang kulakukan untuk jadi istri yang baik bagi Horizon seakan sia-sia belaka. Menguap bagai kabut di pagi hari yang keberadaannya akan hilang digantikan cahaya matahari.

Sebelum aku melaksanakan niat menghapus foto serta pesan itu, bel pintu kamar hotelku berdentang beberapa kali dan Katerine yang melakukannya.

“Kata momster kita harus gladi bersih sebentar lagi.”

“Oke, beri aku lima menit untuk berdandan, Kate,” balasku lantas melakukannya dengan cepat.

Omong-omong, seluruh staf The Black Skull sekarang sudah di Seoul, Korea Selatan. Kami diberi waktu istirahat dua hari sebelum konser di hari lusa. Dan seperti yang sudah dikatakan Katerine, hari ini merupakan jadwal gladi bersih. Jadi, setelah mengenakan pakaian kasual dan rambut palsu hitam serta riasan tebal nuansa rock, aku bergabung dengan semua staf serta personil.

Tempat konser memang masih belum seratus persen rampung. Banyak staf berlalu-lalang mengerjakan bagian masing-masing untuk menyelesaikan apa saja yang kurang. Meski demikian, The Black Skull sudah bisa naik ke panggung yang sudah hampir jadi untuk gladi bersih.

Gladi bersih itu sendiri memakan waktu lebih lama daripada yang kusangka. Dalam waktu beberapa kali istirahat, aku menyempatkan diri mengintip ponsel. Pertama, untuk menghapus pesan serta foto yang kukirim pada Horizon. Kedua, aku kembali dirundung kegamangan karena ternyata dia tidak membalas pesanku.

Sedang apa Horizon sebenarnya? Pertanyaan itu tak henti-hentinya menyelinap ke pikiranku. Menjadikan tanganku gatal sampai pada tahap tidak bisa mengendalikan diri sehingga memutuskan mengirimi Johnson pesan untuk menanyakan kegiatan Horizon. Aku menunggu selama kurang lebih sepuluh menit, barulah asisten Horizon itu membalasnya.

Johnson Guido:
Mr. Horizon baru saja selesai rapat. Kurasa dia sedang istirahat.

Ketika baru akan membalas pesan Johnson, suara momster menginterupsi kegiatanku.

“Ada apa, Sayang? Kuperhatikan, kau terus mengecek ponselmu dari tadi,” ucapnya ketika kami selesai mendapat pengarahan singkat untuk konser besok malam di ruang rapat yang tersedia khusus untuk tim kami.

Segera kususupkan gawaiku ke saku celana jins hitam sobekku. “Tidak ada,” jawabku sambil mengamati sekitar. Menyasarkan pandangan ke Katerine yang sedang berbicara dengan Mr. Reece, Lea sedang mengobrol dengan Storm dan personil lain yang juga mengobrol sambil mengemasi peralatan musik mereka. Bahkan ada beberapa yang sudah keluar ruang rapat.

“Belum memberimu kabar?” Tebakan momster melesak bagai anak panah runcing yang menumbuk ulu hatiku. Namun, aku berusaha keras agar itu tidak mempengaruhiku.

Kami sudah sampai pada tahap tur Asia dan di sinilah kami berada. Meski sulit, aku harus mengesampingkan segala emosional yang kumiliki dari ranah pribadi. Aku harus bersikap profesional. Dengan adanya balasan dari Johnson, sedikit-banyak melegakan hatiku.

“Aku hanya mengecek tempat-tempat destinasi di sini yang barang kali sempat kita kunjungi setelah konser,” jawabku asal, yang sebagian merupakan keinginanku juga. Kuharap sangat meyakinkan sehingga dapat menembus dan merusak lapisan kecurigaan momster.

Yah, aku tahu, wanita burung gagak itu pasti mengkhawatirkan kesuksesan konser ini. Namun ..., halo ... semua staf juga mengkhawatirkannya. Korea Selatan sangat identik dengan K-Pop dan bukannya musik rock seperti aliran kami. Kendati demikian, aku yakin dan percaya, pendukung sejati alias orang-orang yang berminat di genre ini pasti ada. Itu terbukti dari penjualan tiket yang sangat bagus. Sekarang yang perlu dipikirkan hanyalah keberhasilan konser ini.

Momster menjawab, “Aku khawatir kalian tidak sempat jalan-jalan, Sayang. Kalau kau tidak lupa, sehari setelah konser, kita langsung berangkat ke Filipina pagi-pagi.”

Argh! Apa pula ini?

Namun, jangan sebut aku Skylar kalau tidak membantah kata momster. “Di dekat hotel pasti banyak jajanan Korea—”

“Sayang, tolong jaga tenggorokanmu melalui apa yang kau makan sampai kita selesai tur di Thailand. Kau penyanyi rock. Tenggorokanmu sangat perlu diperhatikan secara khusus lebih dari penyanyi genre lain. Selama itu, aku tidak mengizinkamu berkeliaran mencicipi menu street food Korea yang identik dengan pedas,” potong momster.

Sungguh, ingin kulempar gitarku ke wajah momster!

Jadi, selama hampir dua minggu keliling Asia, aku seperti tahanan kota dan berada di bawah pengawasan momster. Wanita tua itu selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi dan dengan tidak tahu malunya selalu mengobrol dengan ayah. Yang mau tak mau membuatku iri setengah mati.

Bagaimana tidak? Selama total hampir tiga minggu penuh—entah apa masalahnya—di saat Horizon sama sekali tidak merespons pesan atau teleponku, ayah dan momster selalu memberi kabar satu sama lain. Meski tidak ingin mengakui, tetapi harus kukatakan mereka merupakan pasangan suami istri hubungan jarak jauh terideal yang pernah kulihat.

Saat banyaknya sulur dalam pikiranku mengenai apa yang dilakukan Horizon, aku juga dituntut untuk profesional dengan konser-konser yang menyiksa. Padahal aku dulu sangat suka melakukannya. Dan setelah bagai hidup di neraka dunia nyataku ini usai, termasuk konser terakhir di Thailand, aku masih harus puasa bicara sampai beberapa hari ke depan.

Hampir dini hari, personil The Black Skull baru diizinkan kembali ke kamar masing-masing pasca jumpa penggemar. Setiap kali melakukan kegiatan itu, anehnya setiap kali itu pula aku membayangkan Horizon tiba-tiba datang lalu membeli seluruh waktuku untuk itu. Seperti yang dilakukannya selama ini, yang pada kenyataannya terbukti tidak pernah terjadi dan membuat dadaku nyeri.

Kenapa bisa seperti ini?

Aku ingin menghubungi Johnson, tetapi urung. Seperti zonk. Lalu aku memutuskan berendam air hangat di jacuzzi kamar hotelku untuk merilekskan otot-otot yang kaku sebelum bercengkrama dengan kasur. Berhubung sudah sangat mengantuk dan tidak ingin ketiduran, kuputuskan menyudahi kegiatan ini.

Dengan malas, aku mengambil jubah mandi dan memakainya. Tidak lupa melilitkan handuk di rambutku yang basah, aku pun sudah tidak sabar mengeringkannya lalu tidur.

Ketika pintu kamar mandi kubuka, mataku membelalak lebar dengan jantung nyaris copot. Bagaimana mungkin dia ada di sini?

Horizon Devoss duduk di kursi samping ranjang. Punggung lebarnya menempel pada sandarannya. Dia masih terbungkus kemeja putih berdasi hitam dan vest hitam yang lengannya digulung sampai siku. Satu kakinya ditekuk serta diletakkan di kakinya yang lain. Kupikir itu hanya bentukan imajinasiku belaka sampai dia berkata, “Aku menunggumu keluar.”

Entah kenapa aku meneguk ludah dengan susah payah. Segala emosi rasanya campur aduk menjadi satu. Selain terkejut, aku juga merasa ingin marah karena dia mengabaikanku selama tiga minggu ini. Namun, aneh sekali ada perasaan lega yang terselip dalam diriku karena keberadaannya di dekatku sekarang.

“Bagaimana bisa kau ada di sini? Kupikir kau masih di Shanghai. Kupikir, kau masih sibuk dan tidak ada waktu membalas pesan atau mengangkat teleponku!” cercaku, mengejutkan diriku sendiri. Seharusnya aku tidak bicara padanya. Ingat! Aku sedang puasa bicara pasca konser.

“Begitukah caramu menyambut suamimu yang baru datang? Tidak ada pelukan hangat atau semacamnya? Tidakkah kau merindukanku? Pesan atau voice note-mu selalu berkata begitu.”

Aku merapatkan jubah mandiku dan beridekap. Tidak paham untuk alasan apa air mataku menggenang. Kuyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku hanya akting mencintai Horizon. Tidak lebih. Namun, kenapa air mataku malah mengancam tumpah yang kuyakini tersulut dari emosiku terhadap ketidakpeduliannya? Lalu, tiba-tiba dia ada di sini.

Seharusnya aku menyambutnya penuh suka cita, dengan pelukan hangat, misalnya. Tidak seperti ini. Tidak dengan wajah yang kuyakini sekacau hatiku. Sayangnya, aku tidak terlalu bisa mengendalikan diri. Dan Horizon malah semakin memperparahnya.

“Jangan kekanakan. Aku sibuk, jadi tidak menghubungimu,” katanya lagi.

Mendengar nada serak Horizon, mood-ku menggilincir ke dasar bumi. “Ya, sangat sibuk. Aku yakin itu. Seolah aku ini pengangguran.” Segera kualihkan pandangan ke sisi lain.

“Ck! Ambil sisi baiknya. Aku sudah di sini dan aku menginginkanmu. So, come here, Bae.”

Aku memperingatkan diri sendiri untuk tidak mudah dibujuk. Sayang sekali. Perkataan Horizon bukanlah sesuatu yang perlu dijawab. Itu merupakan sebuah pernyataan yang mengandung perintah mutlak. Dan apabila suamiku sudah berkehendak demikian, maka aku sama sekali tidak boleh melawan.

Namun, bukan itu yang kini membuatku mood-ku bagai dilambungkan. Cara Horizon memanggilkulah yang membuatku merasa istimewa. Sehingga dengan suka rela, anggota gerakku mendekatinya secara perlahan. Kala sudah tiba di depannya, Horizon menurunkan satu kakinya lalu menepuk salah satu paha. Sebuah perintah lain supaya aku duduk di pangkuannya.

Lagi-lagi, aku mematuhi perintah suamiku. Kekacauan hatiku berganti menjadi rasa gugup yang menyerangku tidak kira-kira ketika tangan Horizon meraih ujung handuk yang menutupi rambut basahku. Dia menarik lalu membuangnya ke lantai. Ujung rambutku menjadi sasaran tangan Horizon selanjutnya. Kemudian, dia mengarahkannya ke hidung untuk dia hidu sambil memejam. “Wangi, aku suka.”

“Te-terima kasih.” Oh! Astaga! Ingin kugigit lidahku karena gelagapan.

Senyum tipis yang tampak cerdas dengan tatapan mata penuh intimidasi pria itu menghujamiku. Secara perlahan, dia meraih daguku lalu memajukan wajah untuk meletakkan bibirnya yang lembut pada bibirku yang gemetar.

“Gugup rupanya,” komentarnya.

“Ke-kenapa? Kau tidak suka?”

“Pertanyaan macam apa itu?”

Garis bibirku tertarik ke atas membentuk senyum. Perasaanku membaik. Aku tidak pernah mengira kontak fisik dengan suamiku bisa sedikit mengobati rinduku dan memperbaiki mood-ku. Namun, rasanya, ini saja tidak cukup. Dan tidak perlu ahli pembaca pikiran bagi Horizon untuk mengetahui apa yang kuinginkan. Horizon memprediksinya dengan sangat tepat. Sapuan bibirnya kembali terasa di bibirku. Tangannya yang satu merangkak naik ke leherku. Dengan sedikit tekanan dari jari-jarinya, aku semakin berdebar. Sungguh aneh karena aku menyukai cara dia sedikit mencekikku. Apakah itu pertanda dia juga merindukanku sampai tahap tersiksa dan gemas?

Aku mengundang indra pengecap Horizon. Pria itu tanpa sungkan menyelinap dan menjelajah tanpa rasa takut tersesat. Seolah sudah hafal setiap sudutnya. Dan ketika dia melepaskan diri, ada perasaan tidak rela, tetapi lega dalam waktu bersamaan. Karena aku jelas butuh oksigen untuk bernapas, yang selama beberapa saat tidak kudapatkan.

“Apa kau keberatan untuk menemani suamimu mandi?” bisiknya tepat di depan wajahku sementara ibu jarinya mengusap sudut bibirku yang basah.

“Sama sekali tidak,” jawabku dengan napas memburu. Aku tidak tahu mana yang lebih memperberat napasku: tatapan kedua iris hitam Horizon atau ciumannya yang memabukan barusan. Yang kuyakini pasti karena kedua alasan itu.

Mendapat persetujuan dariku, Horizon menggendongku kembali ke kamar mandi. Dia menarik tali jubah mandiku secara perlahan, tetapi fokus matanya masih tersita di mataku.

Setelah menyelesaikan urusan dengan semua kain yang menutupi tubuhku, giliran Horizon menyingkirkan seluruh kain yang menutupi tubuhnya. Aku pun kembali mereguk ludah dengan susah payah saat melihatnya. Dia sudah sangat siap.

“Suka dengan apa yang kaulihat, Bae?” tanyanya.

Teruntuk yang satu ini, aku tidak bisa menjawab sebab malu.

“Sayang sekali, aku harus menutup matamu.”

Aku membelalak bingung melihat Horizon mengambil dasinya yang teronggok di lantai, lalu melilitkannya melewati mata dan melingkari kepalaku.

Aku semakin berdebar ketika Hotizon meraih kedua tanganku dan mengikatnya menggunakan ikat pinggang lalu membawanya ke atas kepalaku.

“Ini, hukuman yang harus kau terima karena menggodaku di tengah rapat.”

“Oh! Aku ... aku—”

“Kau sangat merindukanku, kan?” potongannya.

Jantungku semakin berpacu karena entah sudah terbiasa mengatakan merindukannya lewat pesan atau voice note, atau karena alasan lain, kini, aku seolah jujur mengatakannya. “Ya aku merindukanmu. Sangat ....”

“Make sense. Well, do you trust me?” bisik Horizon tepat di permukaan kulit daun telingaku. Hangat napasnya yang membelai membangkitkan gelayar di sekujur tubuhku. Aku takut tubuhku meleleh.

“Yes,” bisikku ringkas, setelah berhasil mendorong suaraku keluar dari mulut dengan susah payah.

“Then, don’t hesitate to show me your desire.”

Tepat setelah kata-kata itu selesai diucapkan, aku merasakan bibir Horizon di bibirku. Dia menggodaku penuh kelembutan sekaligus penekanan. Bibirnya menuntut supaya aku membalas. Aku membalasnya dengan mengundangnya, indra perasanya pun kembali menjelajahiku. Kali ini lebih kuat dan liar. Aku juga merasakan satu tangan Horizon di leherku, lalu turun menekuri dadaku yang sangat kuyakini puncak-puncaknya sudah menantang pria itu.

Desahan keluar dari bibirku begitu dia menyecapi leherku. Padahal, tidak seharusnya aku mendesah atau bercinta setelah konser. Takut membahayakan tenggorokanku. Namun, aku sama sekali tidak bisa menolak kenikmatan itu.

Louder, Bae,” titah Horizon.

Sedikit jeda kugunakan untuk mengambil napas. Namun, baru saja embusannya menyatu di udara, aku dikejutkan oleh Horizon yang mencoba menaklukkan puncak-puncak dadaku yang menegang. Gigi-giginya saling beradu dan desahanku semakin keras. Memenuhi gema kamar mandi.

Aku mendekatkan diri padanya, tetapi dia mencabut mulutnya dari sana dan membentangkan jarak kami. “Great, perfect, and gorgeous, my Wife,” bisiknya lalu menurunkan tanganku.

Aku yang terengah kembali penasaran apa yang akan dilakukan suamiku berikutnya. Tidak butuh waktu lama rasa penasaranku dijawab oleh rintik-rintik air shower yang mulai mengguyur tubuhku.

Horizon kembali menaikkan tanganku. Kakinya memberi isyarat kaki-kakiku untuk membuka, sedangkan tangannya yang lain menyusuri pahaku, terus merangkak naik ke inti lipatan tubuhku. Aku mendongak oleh lesakan jarinya yang bergerak seduktif bersamaan dengan ciuman Horizon di leherku. Keahlian jarinya semakin lama semakin cepat, sehingga aku tidak sanggup lagi menampung ledakan yang ditimbulkannya.

“Horizon ... Horizon ....” Aku menjerit sekaligus berbisik memanggil namanya.

“Yes, that’s right. You supposed to be call my name.”

Dengan mata masih terlilit dasi, aku pun terengah menikmati sisa-sisa ledakan itu. Sementara Horizon mengalungkan lenganku yang terikat ikat pinggang pada lehernya. Salah satu kakiku dia angkat di pundaknya dan aku mengerung keras saat Horizon mengisi tubuhku secara perlahan. Pada detik yang lain mengosongkannya kembali. Siklus itu terus berulang sehingga menjadi gerakan selaras. Menciptakan nada-nada erotis di antara suara gemericik air shower yang menjatuhi kami. Suara-suara yang memantul dinding-dinding kamar mandi.

Tidak kusangka, aku akan sangat menikmati ini. Apakah karena luapan rinduku?

“Horizon ...,” bisikku disertai desahan. Di setiap dia mengisi dan mengosongkannya kembali, aku tidak tahan untuk tidak memanggilnya. Dan kupikir itu bagian terampuh untuk membuat Horizon meledak dalam diriku, bersamaku.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto:

Skylar Betelgeuse

Horizon Devoss

Well, see next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Senin, 25 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro