Bab.8
Rasa bersalah menghantuiku dan Rika, karena menolong kami Dito telah membahayakan dirinya sendiri. Mbah Uti mengatakan pada kami bahwa sekarang dia terbaring lemah di kamarnya.
"Tubuhnya mulai transparan." Mbah Uti menatap ranjang kosong di hadapan kami. Apa maksud mbah Uti berkata seperti itu?
"Maksudnya apa mbah?" Aku bertanya kuatir.
"Bila terus menerus begini, dia akan menghilang disertai rasa sakit yang luar biasa." Kata-kata mbah Uti nyaris membuat jantungku copot. Apa? Separah itukah?
"Apa kita nggak bisa melakukan sesuatu mbah? Untuk menyembuhkannya?" Aku bertanya dengan suara pelan. Menatap ranjang kosonh seakan ada orang lain di sana.
"Kamu ingin membantunya Mya?" Mbah Uti menolehkan wajahnya kearahku.
"Iya mbah, jika bisa." Aku menjawab mantap.
"Baiklah, ada satu cara sebenarnya. Untuk memulihkan dia. Dan Mbah Uti rasa Den Mas sendiri juga ingin sembuh." Mbah Uti berjalan menuju lemari dan mengambil satu cawan kecil yang terbuat dari perak asli sepertinya. Dan menyerahkannya padaku. Kecil, mungil namun terasa berbobot di tangan.
"Besok adalah malam purnama, kamu temani Den Mas duduk bermandikan cahaya bulan di halaman belakang. Dan tugasmu saat fajar mulai menjelang, akan banyak embun di daun pisang. Kamu ambilah embun-embun itu, taruh di dalam cawan. Kurang lebih sepulus tetes dan berikan pada Den Mas. Maka dia akan sembuh."
"Saya paham mbah, tapi bagaimana jika besok malam hujan?" Aku menyuarakan kekuatiranku.
"Sore mbah akan panggil mbah Kanji, pawang hujan. Dia akan membantu kita." Aku mengangguk paham.
"Eyang, bukannya di belakang ada kunti?" Rika bertanya takut-takut.
"Iya, tapi dia tidak berani mengganggu kalian. Malam ini kalian tidurlah, Den Mas akan beristirahat di sini." Kami berdua mengangguk dan bergegas untuk kebelakang.
Setelah membersihkan diri, aku berusaha memejamkan mata. Namun susah sekali untuk segera terlelap. Kuperhatikan tanganku, yang sore tadi di genggam Dito. "Dia bisa memegangku, tapi aku nggak bisa melihatnya." Memikirkan Dito membuat pikiranku melayang-layang sampai pagi. Menjelang matahari keluar, aku baru bisa memejamkan mata.
"Kata eyang, setelah Isya lo dan Den Mas baru ke belakang." Rika berbisik padaku saat kami sedang makan siang, karena tidur menjelang pagi aku bangun telat sekali dan melewatkan sarapan.
"Bagaimana keadaan dia?"
"Kata Eyang, mendingan tapi masih mengkuatirkan. Heran ya, hantu bisa sakit juga."
"Aduuh! Ngapain lo jitak gue?" Aku menjitak Rika karena mulutnya yang terlalu ceplas ceplos.
"Sopan dikit kalau ngomong."
"What? Elo baru beberapa hari di mari, lebih belain hantu daripada gue?" Rika mengusap kepalanya, wajahnya cemberut.
"Hantu atau bukan dia pemilik rumah ini dan majikan eyang lo."
"Iyee, gue paham. Jiih, move on dari Rendra pacaran sama hantu."
"Apa lo bilang?"
"Kagak ada. Dan berarti malam ini lu jaga rumah, sore gue ama Eyang mau ke rumah Santi. Resepsi pernikahan mereka dilakukan sore ini. Kami akan menginap disana." Rika meninggalkanku sendirian menikmati makan siang yang sederhana namun nikmat. Sayur asem, ikan asin, tempe goreng dan sambal terasi. Sajian makan yang luar biasa.****
Sore hari rumah menjadi sepi, mbah Uti dan Rika pergi ke acara resepsi Santi. Hanya tersisa aku di rumah dan Dito. Mbah Kanji si pawang hujan datang dengan sapu lidi kecil di tangannya. Dia berjalan di sekeliling rumah, menabur garam, mengayunkan sapu dan membaca do'a. Setelah selesai dia pamit meninggalkan kami. Entah bagaimana aku melihat awan sangat cerah hari ini. Jam delapan tepat aku menghampiri kamar Dito, mengetuk sebentar dan langsung merasa konyol, "Ngapain juga ngetuk pintu?"
"Dito, sudah waktunya. Ayo kesana sekarang." Aku berkata dari ambang pintu yang terbuka. Tidak ada sahutan namun kurasakan desir angin di sampingku."Dia disini."
Aku duduk di bangku panjang di teras belakang, kutengadahkan wajah menatap rembulan yang bersinar sangat terang. Bulan purnama penuh.
"Syukurlah malam ini purnama bersinar sempurna, kamu nikmati cahayanya. Biar cepat sehat ya?" Aku berkata pada udara kosong, tidak mengerti entah Dito duduk atau berdiri. Aku menghela napas, merenung sebentar dan mulai berbicara lirih.
"Ini aneh Dito, aku nggak bisa lihat kamu tapi entah bagaimana aku ngarasi kamu ada. Kemarin saat kamu menyentuhku atau seperti saat ini merasa kamu ada di dekatku."
Tidak ada jawaban, hanya desir angin malam. Aku menatap pohon besar di hadapanku dan menduga-duga mungkinkah kuntilanak yang di maksud sama mbah Uti sedang mendengarkan aku bicara. "Iiih." Aku merasa bulu kudukku merinding.
"Sebenarnya aku kesini untuk melupakan masalah, aku patah hati." Aku mendesah, merasakan hujaman rasa nyeri di dada. Mengingat tentang satu sosok yang telah menemaniku bertahun-tahun.
"Kami teman dari SMA, waktu di bangku kuliah kami putuskan untuk menjalin hubungan. Dia laki-laki yang baik meski anak orang kaya. Aku kuliah sambil bekerja, dan selama masa itu kami saling mencintai." Dalam jedaku bicara, angin berhembus lebih kencang. Bulan purnama masih bersinar dengan angkuhnya.
"Dua tahun aku bekerja, dia mulai berubah. Lebih jarang menghubungiku, tidak ada lagi kencan di hari libur dan sampai akhirnya benar-benar menghilang. Aku bingung, stress dan akhirnya nekad mencarinya. Datang ke rumah megah yang selama enam tahun kami bersama tidak sekalipun aku kunjungi." Aku tertawa getir jika mengingat masa-masa itu.
"Dan wanita cantik yang mengaku sebagai Mamanya menerimaku, mengatakan dengan bahagia bahwa anaknya'pacarku itu' akan bertunangan minggu depan."
"Hahahaha...aku dibodohi, dikhianati, ditinggal begitu saja tanpa kejelasan." Suaraku mulai serak, tenggorokanku sakit dan hatiku juga sakit. Kurasakan sentuhan hangat di pundakku melalui angin malam."Ah, dia memelukku."
Dan aku mulai menangis, ketegaran yang kupaksakan nyaris enam bulan ini, jebol juga akhirnya. Aku menangis dan menangis, hingga air mataku kering dengan sendirinya.
'Terima kasih sudah mendengarku bicara Dito,
Ketika cahaya bulan di langit mulai meredup, aku tahu fajar sebentar lagi merekah. Kuambil cawan yang kuletakkan di atas meja kecil dan melangkah ke pekarangan. Satu per satu kuhampiri pohon pisang dan melihat dengan seksama embun pagi yang menempel di sana. Dengan pelan dan hati-hati aku mengumpulkan tetesan embun dari setiap pohon. Saat kulihat sudah lumayan banyak, aku kembali ke teras dan menaruh cawan di kursi.
"Ini minumlah, aku akan berlari pagi sebentar. Mumpung udara sangat segar." Tanpa memperhatikan entah bagaiamana Dito meminumnya, aku berlari ke arah hamparan sawah dan berlari kecil di pinggirannya. Berusaha membuat otakku kembali terang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro