Bab. 6
Siang ini kami ada rencana berkunjung ke rumah Santi, pernikahan akan dilakukan tiga hari lagi. Santi sedang menjalani masa pingit untuk pengantin jadi tidak boleh keluar rumah.
"Sudah siap kalian berdua? Itu Pak Mahdi akan mengantar kalian dengan becak." Mbah Uti membantu kami memesan becak.
Seorang laki-laki pendek berbadan gempal dengan becaknya, menunggu kami di halaman depan.
"Asyik, naik becak." Rika terlonjak gembira seperti anak kecil.
"Oh! Tidak bisa Den mas, terlalu berbahaya untukmu." Mendadak Mbah Uti berbicara sendiri yang sepertinya dengan seseorang di sampingku. Wajahnya yang keriput terlihat kuatir.
"Kenapa mbah?" tanyaku hati-hati. Si Mbah menggelengkan kepalanya.
"Den Mas ingin ikut kalian. Katanya mau menjagamu Mya."
Ucapan Mbah Uti membuatku kaget. Aku berpandangan dengan Rika yang sama-sama melongo. "Apa? Bisakah dia terkena cahaya matahari?" Tiba-tiba aku teringat adegan film bahwa hantu takut matahari. Mendadak angin berdesir di sampingku, aku tahu dia begitu dekat.
"Matahari tidak akan memusnahkannya, hanya membuat lemah." Mbah Uti masih diam menatap ruang kosong di sampingnya dan sepertinya dia mulai pasrah.
Aku menoleh ke samping. Tempat yang kurasakan ada Dito di sana dan mulai bicara. "Jangan itu bahaya."Aku berusaha melarang tapi sepertinya sia-sia.
Terlihat Mbah Uti dengan sikap pasrah berkata pelan. "Baiklah, Den Mas. Tunggu sebentar." Entah perkataannya ditujukan untuk siapa. Kami diam di tempat saat Mbah Uti berjalan pelan meninggalkan kami menuju kamar belakang.
Rika menatap wajahku tidak mengerti. "Apa hantu itu ingin ikut kita?" Rika berbisik di telingaku.
"Namanya Dito, dan percuma lo bisik-bisik tetap aja dia denger."
Rika berjengit kaget. "Gue tahu lo sekarang pacaran ama dia tapi jangan sok juga kali." Kata-kata Rika membuatku memutar bola mata, pacaran ama hantu? Stres dia. Lagi pula, kami baru saling mengenal, mana ada orang pacaran tanpa bisa melihat wujudnya? Oke, ini aku yang ngayal kejauhan kayaknya.
Mbah Uti keluar dengan membawa payung kuno yang terbuat dari kain batik. Gagang payung terbuat dari kayu jati yang kelihatan kokoh. Berukuran mungil seperti payung mainan untuk anak-anak. Dia memberikan payung itu padaku.
"Kamu pegang ini Mya, selama berlindung di balik payung ini Den Mas akan baik-baik saja."
Aku mengangguk. "Jadi, dia tetap ngotot ikut, Mbah?"
Mbah Uti mengangguk. "Biar saja, sesekali lepas dari kukungan rumah ini. Dan aku percaya kalian akan bisa saling menjaga."
Kurentangkan payung dan berkata pelan pada udara kosong. "Dito, ayo jalan sekarang!"
Mendadak lengan kananku terasa dingin. Rika berjalan di sisi kiriku, kami menuju becak yang sudah menunggu di ujung jalan. Sepanjang jalan Rika berceloteh gembira. Aku tidak mengerti bagaimana Dito duduk dengan kami. Becak yang kecil tidak mungkin untuk bertiga tapi aku tetap merentangkan payungku.
'Coba aku bisa melihatnya.' Kadang itu tersirat di pikiranku tapi segera kutepiskan jauh-jauh, karena aku tahu, tidak ada untungnya buat kita manusia bisa melihat mereka.
Akhirnya kami tiba di rumah Santi yang sudah ramai oleh para kerabat. Kedua orang tuanya sangat ramah, dan melihat payung yang aku pegang sepertinya mereka paham karena menunduk dengan sangat hormat seakan ada orang di sampingku. Santi gadis yang ceria, sangat senang menerima kami berkunjung.
"Kamu tahu Mya, saat aku lihat fotomu di facebook Rika dan ngasih lihat mbah Uti. Dia langsung menyuruhku mengundangmu. Sepertinya mbah Uti sudah menyukaimu." Santi berkata berseri-seri padaku. Kami bertiga bicara di teras samping rumah Santi yang lebih sepi.
"Benarkah?"tanyaku heran.
"Iya, Mya harus datang kata Mbah Uti. Makanya aku maksa Rika agar bawa kamu kemari."
Rika mengangguk heboh. Menyomot jajanan kecil di atas meja. "Pasti kerjaan si Den Mas," ucapnya dengan mulut penuh makanan.
Aku tersenyum, meninggalkan Santi dan Rika untuk mengobrol berdua. Kulangkahkan kaki menuju halaman belakang yang menampakkan pemandangan sawah dengan tanaman padi yang hijau. Aku berdiri di bawah pohon bunga tanjung, kuletakan payung di tanah. Yakin pohon ini akan melindungi Dito. Hamparan hijau di depanku benar-benar membuatku bahagia. Angin semilir membuat tubuhku segar.
"Dito? Aku tahu kamu di sini, seandainya bisa aku ingin melihatmu." Aku berbicara lirih, yakin dia akan mendengar.
" Aku sedang patah hati sekarang, tapi aku senang menjadi temanmu meski nggak bisa menyentuhmu." Tak ada jawaban atau gerakan apa pun.
Aku merenggangkan tubuh, menghirup udara dalam-dalam dan mengulurkan tangan untuk mengambil payung. Sudah saatnya masuk kembali ke rumah. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berbeda terjadi. Entah dari mana asalnya angin berpusar kencang di sekelilingku membuat pohon bunga tanjung bergoyang kencang dan merontokkan semua bunga kecil putih yang wangi. Aku terkesima, bunga-bunga itu seperti jatuh khusus untukku. Indah, wangi dan angin sekali lagi menerbangkan daun-daun berputar mengelilingiku. Aku merentangkan tangan menari.
"Terima kasih Dito, indah sekali!" teriakku di antara bunga dan daun yang menghujani tubuh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro