Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.4

Kami berdua ketakutan terus terang, Ya Tuhan! Nenek itu matanya seperti menyala. Dengan sedikit keberanian dan mengabaikan Rika yang gemetaran hebat disamping, aku melihat kakinya. Fix, aman ! Menginjak tanah ternyata, hatiku merasa lega.

Si Nenek menatap kami tajam lalu berkata dengan suara serak."Rika, jangan membuat mbah Uti malu! Masuk!"

Rika tersentak dengan perintah dari nenek itu, buru-buru menegakkan tubuh dan menajamkan pandangan.

"Mbah Uti?" tanyanya ragu-ragu.

"Iya, kamu pikir siapa? Hantu! Dari dulu sifat penakutmu tidak berubah." Nenek tua yang disebut Mbah Uti menggerutu dengan suaranya yang berat dan parau.

"Waktu kalian datang mbah Uti sedang tidur, makanya perlu waktu lama untuk bangun dan rambut masih acak-acakan." Mbah Uti membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan kami masuk.

Di ruang tamu yang luas dengan kursi dari kayu jati, membuatku takjub. Rumah ini meski rumah tua namun indah sekali. Terdapat banyak ukiran kayu menghiasi setiap sudut ruangan. Kami berdua duduk di kursi setelah mencium tangan mbah Uti.

" Mbah, sudah lama tidak bertemu. Terakhir sepuluh tahun lalu." Rika memandang mbah Uti malu.

"Mbah Uti ini nenek buyutku Mya, kami jarang bertemu. Biasanya setiap ketemu dirumah Paman bukan disini." Rika menjelaskan pelan padaku.

Terdengar dengkusan dari Mbah Uti."Dari dulu aku sudah tinggal disini, hanya kadang saja pergi ke rumah pamanmu. Rumah Santi terletak agak jauh dari sini. Sengaja kalian menginap di sini karena di sana penuh dengan tamu-tamu."

"Iya Mbah, maaf Rika lupa." Rika maju dan memeluk mbah Uti dengan manja.

Aku tersenyum melihat keakraban itu. Ditebak dari penampilannya, sepertinya usia Mbah Uti sudah lebih dari delapan puluh tahun. Tapi masih bisa berjalan dan tampak sehat.

"Rika, di pohon asem itu tidak ada kuntilanak. Dia lebih suka ada di pohon nangka yang tumbuh lebat di belakang rumah," ucap Mbah Uti tiba-tiba.

"Mbah Utiii."Rika merengek ketakutan.

Aku terdiam heran, bagaimana dia mendengar percakapan kami di depan sana? Bukankah tadi beliau bilang sedang tidur? Belum hilang rasa heranku, Mbah Uti menoleh dan memandangku lurus-lurus.

"Mya, namamu bukan?"

"Iya mbah." Aku menjawab pelan.

Mbak Uti mengangguk. "Pantas saja Den Mas Dito menyukaimu, ternyata kau benar mirip sama beliau." Aku bingung dengan ucapan mbah Uti.

"Siapa Den Mas Dito Mbah?" tanya Rika bingung. Pertanyaanya mewakili rasa penasaranku.

Mbah Uti melepaskan pelukan Rika, berdiri menatap aku yang masih duduk tidak bergerak.

"Pemilik rumah ini, sekarang dia berdiri di belakangmu."

"Mbah Utiii." Rika merengek ketakutan dan sekali lagi memeluk nenek tua di hadapan kami.

"Hush, kau tidak perlu takut. Den Mas Dito tidak menyukaimu, dia suka dengan Mya," kata Mbah Uti sambil menunjuk padaku.

Dengan perasaan takut aku menolehkan kepala ke belakang, kosong. Tidak ada siapapun berdiri di sana.

Tak lama terdengar gelak tawa dari Mbah Uti dan mengagetkan kami. "Hahaha ... kamu pemberani juga. Kamu tidak akan bisa melihatnya Mya, tapi bisa merasakan kehadirannya. Dia mengucapkan selamat datang untukmu."

Oh My, apa aku harus bergaul dengan hal-hal mistis di luar logika selama tiggal di sini? Aku type orang yang berpikir menggunakan akal. Nggak mau percaya dengan hantu sebangsanya.

"Ayo, kalian berdua. Aku tunjukkan kamar kalian," ajak Mbah Uti memecahkan kebisuan.

Aku bangkit mengikutinya, Rika menggandeng sang buyut dengan erat.

"Rika, yang di pohon asem itu gondoruwo. Jauh-jauh dari sana saat malam ya."

"Aduuh mbah Uti, cukup sudah. Rika takut ini."

" Hahaha." Suara tawa mbah Uti terdengar riang.

Kami berjalan melewati lorong agak gelap menuju kamar, makin banyak hiasan kayu jati yang antik terpajang di setiap dinding. Aroma wangi dari kayu menguar di udara. Kami berhenti di depan kamar yang dengan pintu berhias ukiran burung merak yang anggun. Mbah Uti membuka pintu, suara berderit menandakan betapa lama usia pintu ini. Terbentang di hadapan kami, ranjang kayu dengan kasur di atasnya. Terdapat kelambu untuk pengusir nyamuk terpasang rapi di setiap tiang ranjang.

" Itu Den Mas Dito, Mya." Mbah Uti menunjuk pada lukisan yang tergantung di di sebelah kanan dinding. Aku melangkah lebih dekat mengamatinya, lukisan seorang anak laki-laki berumur 17 tahunan memakai beskap dan blangkon. Dari baju yang dikenakan nampak aura orang penting, aku menatap matanya yang sayu dan entah kenapa mata itu seperti membiusku. Mata itu seakan berbicara lirih. "Senang bertemu denganmu Mya."
Aku merasakan udara dingin bergerak di sampingku.

"Dia di sini." itu pikiran pertama yang terlintas dan aku tidak mengerti bagaimana aku bisa mengatakan itu.

"Ini adalah kamarnya dulu dan Mya kau benar, dia di sampingmu. Tersenyum dan mengatakan kau cantik sekali," ucap Mbah Uti.
Adakah yang lebih indah dari dipuji cantik oleh hantu, jin atau apapun itu? Aku tersenyum menguatkan diri. Rasanya seminggu waktu di rumah ini akan sangat menyenangkan. Aku melihat bibir dan wajah Rika memucat.
Tak sadar aku menatap tajam pada lukisan, Den Mas Dito sang pemilik rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro