Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.38

Aku Dito....

Apa kalian tahu rasanya menjadi berbeda? Berada di antara dua dunia, memilih menyendiri karena tidak ingin mengganggu keseimbangan alam. Aku seperti itu. Tidak ingin berada di dunia, tapi tidak mengerti bagaimana caranya untuk naik. Seperti ada tali yang mengikatku untuk tetap berada di tempatku sekarang. Tak peduli waktu berlalu, hari berganti, dan jaman yang berubah.

Aku tetap tinggal di rumah besar milik keluarga. Setiap hari hanya mengenang masa kecil yang abadi dalam ingatan. Tentang aroma bunga dari tubuh kanjeng ibu. Serbuk kayu dari pekarangan rumah, juga rumput basah karena hujan. Terkadang, meski tak bisa lagi membaui aroma, aku masih bisa mengenang wangi rempah dari masakan yang dibuat kangjeng ibu.

"Kita memang bangsawan, Le. Tapi, ingat harus tetap kerja keras. Kamu harus menuntut ilmu untuk mengetahui perkembangan dunia." Kanjeng ibu bertutur suatu hari. Saat kami sedang minum wedang jahe dengan jajan pasar.

Pola pikir Kanjeng Ibu memang berbeda dengan wanita bangsawan kebanyakan. Mereka lebih suka jika anak-anak mereka menjadi pejabat kadipaten atau keraton. Sedangkan Kanjeng Ibu menginginkan anaknya pintar berilmu. Itulah salah satu alasan yang membuatku begitu mengagumi sosoknya.

"Jauhi juga dua saudaramu, Le. Jauhi mereka, jangan membuat keributan dengan mereka. Bagaimana pun kalian bersaudara."

Aku sempat merasa marah waktu Kanjeng Ibu menegur tentang dua saudara tiriku. Sama sekali tidak ada niatan untuk mengusik mereka, justru mereka yang sering mengusikku.

"Kangjeng Ibu harus tahu, aku ndak ada niat sama sekali untuk merebut lahan dagang dari Kangmas Umbara. Aku itu hanya dagang untuk membantu teman."

"Ibu mengerti, tapi ndak sama mereka."

Dua kakak tiriku memang terkenal arogan dan pemarah. Sebenarnya, aku punya tiga saudara tiri tapi kakak perempuanku jarang berhubungan dengan keluargaku. Lebih banyak dua kakak laki-lakiku yang selalu mengganggu, Umbara dan Janaka. Mereka sebenarnya ingin menjadi pejabat, tapi entah kenapa suka sekali mengusikku.

Kanjeng ibu seorang yang sederhana. Beliau tidak suka bersolek dengan pakaian mewah seperti kebanyakan kaum ningrat. Kanjeng Ibu lebih suka menyimpan uang dan perhiasan untuk digunakan dalam pendidikanku.

Di usiku yang menginjak enam belas tahun, banyak lamaran pernikahan yang diterima dari para keluarga yang mempunyai anak perempuan. Jamanku dulu, anak perempuan dianggap cukup untuk menikah jika sudah datang bulan.

Tak kurang dari lima permintaan perjodohan yang ditolak oleh ibuku, karena aku mengatakan dengan terang-terangan belum ingin menikah.

"Anak perempuan seperti apa yang ingin kamu nikahi kelak, Le?" tanya kanjeng ibu suatu hari. Saat kami baru saja menolak rencana perjodohan dari keluarga seorang tumenggung.

Aku sempat terdiam, bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang kuinginkan dari diri seoarng perempuan. Terlebih lagi jika menajdi istriku kelak.

"Dito ingin perempuan seperti Kanjeng Ibu, baik rupa maupun sifat."

"Memangnya ada, Le? Kanjeng ibu hanya satu-satunya di dunia," seloroh kangjeng ibu.

Memang, diakui atau tidak. Kanjeng ibu memang satu-satunya perempuan terhebat dalam hidupku. Beliau yang rela mengorbankan nyawanya demi melindungi. Meski pada akhirnya, kami sama-sama terluka. Aku bersyukur beliau bisa naik, hingga tak perlu merasakan penderitaan seperti aku.

Hari-hariku berlalu dalam damai, hanya ditemani oleh Mbah Uti yang tertua, hingga tiga generasinya. Mereka adalah orang-orang berpikiran maju, dan sungguh suatu anugrah diberkahi kemampuan untuk bisa melihatku.

Mereka juga yang menjadi guruku, dari jaman ke jaman. Itulah yang membuatku bisa membaca buku dengan ejaan yang terus berubah. Karena para penjagaku yang mengajari. Biar aku tetap jadi bangsawan yang terhormat tapi tidak ketinggalan jaman.

Jika ada yang bertanya, apa aku bosan seperti ini? Tentu saja aku bosan. Tapi aku punya keyakinan, suatu hari akan datang seseorang untuk menemaniku. Seorang perempuan istimewa yang mampu menyentuh hatiku. Dengannya, aku akan menghabiskan seluruh hidup.

Kini, setelah menjadi hantu dan dianggap makhluk kuno, banyak jin yang menginginkan diriku. Tak terhitung, berapa banyak jin penguasa darat, laut, maupun jagat lelembut yang meminangku dan aku menolaknya.

Masih segar dalam ingatan, saat seorang utusan jin penguasa sungai bengawan Solo mendatangiku. Dalam wujud laki-laki tampan, yang aku tahu bentuk aslinya adalah buaya putih. Datang ke rumah saat tengah malam dalam kereta yang ditarik enam kuda putih.

Utusan itu datang dengan sopan, membungkuk dan berucap lembut. "Salam hormat, Den Mas. Saya Kurob, utusan dari Nyai Ageng Salaras. Ratu Lelembut Utara."

Aku menatap buaya putih di hadapanku, sementara di halaman kulihat Genderuwo yang kukalahkan saat mengamuk di kampung, menatap ketakutan dari atas pohon asem.

"Ada maksud apa, Kisanak datang ke sini malam-malam?" Aku meletakkan buku yang aku baca di atas meja dan menatapnya dari atas kursi jati yang kududuki. Sinar rembulan terang di atas langit, menjadi penerangan bagus untuk membaca buku di teras saat malam hari ditambah dengan obor yang terpasang di tiang rumah.

"Den Mas, silakan. Surat dari Nyai Salaras."

Kurob menyerahkan gulungan kain sutra biru. Aku mengambil dan membukanya. Di dalam, ada sebuah keris. Tanpa perlu melihat lebih banyak, aku tahu itu pusaka yang berharga. Rasanya, aku bisa menduga apa maksud kedatangan Kurob.

Aku kembali membungkus keris dan menyerahkan kembali pada Kurob. "Kembalikan ini pada ratumu. Ucapkan salamku. Maaf, belum ada niat untuk menerima."

Saat mendengar penolakanku, Kurob yang semula menunduk, mendongak untuk menatapku. Kini, dia benar-benar mengubah bentuknya menjadi manusia, meski dengan kulit yang bersisik. Matanya yang tajam menatapku tak berkedip.

"Den Mas tahu bukan, apa yang diingkan oleh Nyai Salaras?"

Aku mengangguk. "Tentu, tapi sayangnya aku ndak berminat."

"Mohon dipertimbangkan, ini salah satu kesempatan bagus. Tidak sembarang Nyai Salaras menginginkan seorang pemuda, terlebih hantu gentayangan."

Aku tertawa mendengar ucapannya. "Tentu saja Kurob, karena selama ini dia menyukai manusia. Jadi, kenapa harus aku?"

Kurob terdiam, seperti menimbang sesuatu sebelum berucap. "Kanjeng Ratu banyak mendengar desas-desus tentang Den Mas. Beliau bahkan menyuruh kami untuk membuktikan kebenaran dari desas desus itu. Beberapa hari lalu, saat Den Mas berhasil mengalahkan penguasa Alas Wetan, Kangjeng Ratu merasa jika Den Mas akan menjadi pasangan yang sempurna."

Ah, jadi seperti itu. Mereka ada di sana sewaktu aku bertarung dengan siluman celeng, penguasa Alas Wetan. Padahal, aku melakukannya untuk melindungi penduduk kampung dari cengkeraman silamun yang haus darah. Tidak ada maksud untuk pamer kekuatan. Rupanya, mereka salah paham.

"Kurob, sekali lagi kukatakan. Aku tidak ingin melukai hati ratumu, tapi saat ini aku tidak terpikir untuk bersama siapa pun."

"Den Mas yakin menolak Kanjeng Ratu?" tanya Kurob hati-hati. "Ndak takut jika terjadi sesuatu?"

Dia mengancamku, salah kalau dia melakukan itu. Untuk hantu yang tak mengingkan apa pun selain menjalani takdir, bersama dengan jin bukan hal yang menarik untukku.

"Pulanglah, dan ingat jangan menebar teror di wilayahku," usirku pelan dengan acaman tersirat di setiap ucapan. Dia harus tahu jika aku bersungguh-sungguh, karena aku tahu persis. Jika siluman buaya sedang marah, mereka akan membawa banyak nyawa manusia tak berdosa.

"Masalahnya, hamba ditugaskan untuk membawa Den Mas baik secara halus maupun paksa."

Kurob mundur ke halaman. Aku bangkit dari kursi untuk menatapnya. Kulihat dia mengayunkan tangan dan membuat gerakan memutar. Tak lama, banyak binatang melata mendatangi rumah.

"Mbah Uti, tutup pintu dan pegang obor!" Aku berteriak pada Mbah Uti yang aku tahu sedang berada di ruang tamu. Tak lama terdengar pintu menutup.

Entah bagaimana, aku seperti merasa angin tak lagi bertiup. Hawa terasa mencekam meski aku tidak lagi bisa merasakan dingin.

"Mari, Den Mas, ikut saya. Sebelum terjadi kekacauan di sini."

Aku mendengkus, mengambil satu obor dan berteriak lantang. "Kalian lancang, masuk ke wilayahku tanpa permisi."

Selanjutnya, kulihat Kurob memberi tanda dan para buaya itu menyerangku dari berbagai arah. Kuayunkan obor di tangan, terbang di udara dan meniup api dari obor yang menyala. Lalu kuarahkan panasnya ke bawah. Teriakan bisa jadi jeritan kesakitan kudengar dari setiap buaya yang tersentuh api. Satu per satu mereka menghilang hingga tertinggal Kurob.

Dia buaya yang berbeda, panglima perang sepertinya. Tak lama kulihat dia berubah wujud menjadi buaya dan menyerangku. Kulitnya kebal oleh api. Aku membuang obor di tangan dan mengusirnya dengan kanuragan biasa. Satu totokan di leher dan satu tendangan di kepala membuatnya terengah dan kembali berwujud manusia. Tak lama, dia mengerang saat satu pukulanku mengenai puncak kepalanya.

"Pulanglah, Kurob. Aku tidak akan melukaimu. Sampaikan salamku untuk Nyai Salaras."

Aku pikir, setelah mengalahkan Kurob maka Nyai Salaras akan berhenti mengangguku. Ternyata dugaanku salah, dengan terpaksa aku mengurung diri dan rumahku dengan matra yang menolak kehadirannya karena aku tidak ingin bertarung dengan siluman itu.

Bertahun-tahun berlalu, hingga zaman berubah. Aku dengar dia kini dia menepi, karena wilayahnya dikuasai oleh manusia.

Saat kubuka mantra pelindung rumah, Nyai Salaras tidak ada lagi kekuatan untuk menyerangku.

"Den Mas, sudah berapa banyak pinangan yang Den Mas tolak. Sebenarnya, pendamping seperti apa yang Den Mas inginkan?"

Mbah Uti, yang sebelumnya tak pernah bertanya tentang perempuan, entah kenapa bertanya hal yang sama dengan Kanjeng Ibu. Aku bahkan tidak mempunyai jawab karena memang sepanjang usia aku di dunia, belum pernah bertemu perempuan yang aku inginkan.

Hingga suatu hari, Santi—cucu Mbah Uti—datang ke rumah dengan sebuah benda yang mereka sebut ponsel.

"Mbah, aku ngundang Rika." Santi duduk di ruang tamu, memberikan ponsel untuk Mbah Uti. "Lihat, dia sudah besar Mbah."

Mbah Uti tersenyum, menatap benda itu di tangannya. Lalu mendongak ke arahku. "Ingin melihat cucu Mbah Uti, Den Mas?"

Santi sama sekali tak terkejut saat Mbah Uti menyapaku. Dia sudah tahu, akan kehadiranku. Seluruh anak cucu Mbah Uti digariskan untuk mengabdi padaku.

Aku melayang mendekat, untuk melihat foto dari benda itu.

"Ini namanya Rika, cucuku." Mbah Uti menunjuk foto seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda. Namun, mataku justru terpukau pada sosok di samping Rika. Wajah lembut rupawan, dengan senyum manis menawan. Eloknya wajah itu mengingatkanku pada Kangjeng Ibu.

"Siapa dia, Mbah?" Aku bertanya menunjuk gadis di sebelah Rika.

Santi mengatakan jika gadis itu bernama Mya, teman baik Rika. Hatiku bergetar saat itu juga. Bertahun-tahun aku ada di dunia, baru kali ini aku merasa menemukan kepingan hatiku. Kalian bisa mengatakan aku gila, tak itulah kenyataannya.

"Undang Mya datang, Mbah. Aku ingin bertemu."

Selanjutnya, aku menghitung hari dengan tidak sabar. Menunggu Mya mengetuk pintu rumahku dan tersenyum menyapa

Mya ... aku menunggumu.

**

Ingin PO cerita ini? Bisa WA saya : 085811788865

ada versi ebook tapi nanti, tunggu versi bukunya jadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro