Bab.35
Ini aneh, aku merasa sangat aneh. Jika biasanya beraksi hanya ditemani Dito, sesekali oleh Rika dan Darki. Kini tambah satu orang lagi merendengi langkah. Huft, bisa dibilang kami orang-orang aneh. Bergaul dan berususan sama makhluk astral. Bertarung melawan sesuatu yang tak terlihat. Kenan pun sepertinya akan mengikuti keanehan kami. Tapi, kalau diingat dia sendiri juga sudah aneh. Mana ada manusia membaui manusia lain? Entah dia jujur apa nggak. Seandainya nggak jujur sekali pun, Dito pasti nggak akan setertarik itu sama dia.
Whatever, nantilah hal itu dipikir. Sekarang ada bahaya di depanku dan membutuhkan perhatian. Aku meraba tongkat di tangan, untuk merasakan kehalusannya. Ada kehangatan mengalir di telapak, seolah membantu untuk meredakan kegugupan.
Kami duduk rendah di antara alang-alang, bisa dibilang nyaris rebah ke tanah. Rumah Andika di kelilingi tembok dari batu yang terlihat kokoh, di bagian bawah. Bagian atas ada pagar besi hitam berujung runcing. Lantai dua terlihat sepi, para penjaga hanya terlihat di bagian depan rumah. Itu pun di dalam. Kini yang jadi masalah kami adalah, bagaimana caranya masuk ke dalam tanpa ketahuan.
"Kak, kamu pasti mikir gimana kita masuk, kan?" bisik Kenan di kupingku. Napasnya menerpa hangat dan membuatku bergidik.
"Iyee, kalau Dito sih enak. Tinggal nembus." Aku menatap pada kekasihku yang melayang di sekitar tembok. "kita mana mungkin gitu?"
"Aku ada akal," ucap Kenan dengan mata tertuju padaku. "Kamu kuangkat ke atas. Naik ke bahuku."
"Hei, mana mungkin kayak gitu."
"Bisa aja. Ayolah!"
Aku terdiam saat Dito melayang pelan ke tempat kami. Dia berjongkok di hadapanku.
"Bagaimana di sana?"
Dito tersenyum. "Mereka memasang banyak sekali jebakan gaib. Manusia-manusia di depan gerbang itu hanya pengalih perhatian."
"Apa itu membahayakan?"
Dito menggeleng. "Bisa jadi, untuk aku."
Aku menggigit bibir, merasa kuatir sekarang. "Aku takut."
"Jangan takut, Kak. Ada aku yang melindungimu."
Seenaknya saja tangan bocah itu melingkari bahuku. Detik berikutnya kusentak lepas. Aku melotot dalam kegelapan dan melihatnya meringis. Bocah semprul!
"Kakak Hantu Tampan, bagaimana kalau aku angkat Kakak Mya ke lompat pagar. Baru aku nyusul. Aku sih bisa lewati pagar itu. Anggap kayak lompat pagar sekolah pas bolos."
Kenan bicara seakan-akan dia bisa melihat Dito. Aku menggeleng, membiarkannya bicara. Menurutku idenya tak masuk akal. Mana kuat dia mengangkatku?
"Mya, bilang sama dia. Idenya boleh juga," ucap Dito.
"Hah! Aku berat!" protesku.
"Nggak, kamu kurus," jawab Dito.
"Nggaklah, Kakak mah langsing," sela Kenan.
Aku merengut, menatap bergantian pada mereka berdua. Kompak sekali ngomongnya.
"Ayo, Mya. Bisa dicoba sarannya," bujuk Dito lembut.
Aku menghela napas. Memejamkan mata sejenak sebelum menjawab. "Baiklah, ayo!"
Saat hendak bangkit dari tanah, Kenan menarik tanganku. "Kak, minta tolong pacarmu buat matiin CCTV." Tangannya menunjuk pada benda kecil yang ada di pojok.
Ah Sial! Jangan-jangan kami kelihatan. Dari tadi ada di depan dan samping. Kalau gitu napa repot-repot ngumpet, sih?
"Dito, bisa minta tolong lakukan sesuatu pada benda itu?" Aku menunjuk CCTV pada bagian atas tembok. "matikan saja."
Dito mengangguk dan melayang ke arah yang kutunjuk. Mungkin mereka memang sudah tahu kami akan datang. Tetap saja, akan lebih bagus kalau benda itu dimatikan. Kulirik Kenan yang sedari tadi terdiam. Pintar juga anak itu, meski nggak bisa lihat Dito tapi mampu menangkap cepat, apa yang terjadi antara aku dan kekasihku.
Tak lama, Dito kembali ke tempat kami. "Aman, ayo!"
Aku bangkit dengan Kenan yang mengikutiku. Kami setengah berlari menuju tembok. Sesampainya di sana, Kenan berjongkok. "Ayo, Kak."
Dito menghampiri dan mendorong tubuhku untuk naik ke atas pundak Kenan. Sedikit merasa ragu-ragu sebelum sebuah tenaga seperti memaksaku naik. Setelah aku menjejak bahunya, dia berdiri dan kucoba meraih pagar besi. Kukaitkan tangan pada pagar, menumpukan beban pada kaki dan kuangkat tubuhku hingga melompati tembok. Aku terjatuh di balik pagar dan berhadapan langsung dengan dua orang penjaga yang menatapku nanar. Sial!
"Siapa, lo!" teriak salah seorang dari mereka.
Dengan cepat aku menunduk saat salah seorang dari keduanya memukulku. Kuayunkan tongkat untuk memukul kaki mereka, dari samping kulihat Dito melayang pelan dan menarik rambut salah seorang penyerangku. Dia berteriak kesakitan, tanpa tahu apa yang menyerangnya. Sedangkan temannya, makin ganas melancarkan pukulan.
Aku memukul perut, lalu menunduk untuk menekel kakinya. Saat dia meloncat, kuayunkan tongkat dan menyodok tenggorokannya. Dia menjerit dan terjatuh ke tanah memegang lehernya.
Di belakangnya, Kenan mengacungkan senjata yang terlihat seperti pisau tapi tajam di kedua belah sisi. Jika tak salah namanya kunai. Dia menatap waspada.
"Kak, kamu hebat," pujinya dengan mata celingukan.
"Lo tetap di belakang, jangan bergerak sendiri tanpa perintah. Paham?"
Dia mengangguk. Masih dengan mata memandang tak fokus. Bisa jadi syok atau takut. Aku beralih menatap Dito. "Bagaimana sekarang? Masuk?"
Dito yang sedang membungkam mulut dua orang di bawahku agar tak berteriak, menegakkan tubuh. "Kita masuk, dan hati-hati. Banyak pagar gaib dan entah apa lagi di dalam."
Aku mengangguk, memberi tanda pada Kenan untuk mengikuti. Kami mengendap-endap melewati teras samping yang sepi dengan penerangan remang-remang. Ada sebuah pintu yang tertutup. Sementara ini, tak ada orang atau penjaga lain di sini. Gemericik air mancur di tengah kolam yang berada di halaman samping, menyamarkan suara kedatangan kami.
"Bagaimana buka pintunya?" gumamku pada Dito.
"Biar aku saja." Kenan berucap dan maju selangkah. Mengeluarkan sesuatu dari dalam saku dan tak sampai semenit pintu terbuka setelah diotak-atik olehnya. Hebat juga dia.
"Dito, apa kamu mau masuk dulu?" tanyaku pada Dito yang bergeming di tempatnya.
Dia menggeleng. "Tidak, perasaanku mengatakan aku harus berada di sampingmu."
"Kenapa?" Aku ikut kuatir mendengarnya.
"Entahlah, hanya ada rasa samar kalau ini bakalan tidak baik-baik saja."
Mengembuskan napas panjang, aku menoleh pada Kenan yang berdiri di samping. "Bocah, ini akan sangat berbahaya. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Sana, pulang!"
Kenan menggeleng. "Nggak mau, sekali aku bilang ikut. Nggak akan berubah pikiran."
Dasar keras kepala. Aku mengangkat bahu sebelum membuka pintu. Untuk sesaat, tak ada apa pun yang terlihat. Kegelapan menyergap kami. Lampu teras yang semula menyala remang-remang kini mendadak mati. Wah, bencana.
Pendar cahaya samar dari tubuh Dito seperti penerang yang menuntun langkah kami. "Kenan, ikuti gue. Jangan mencar!"
"Iya, Kak."
Mendadak kurasakan, sebuah tangan menggenggamku erat. Hangat dan kuat. Tangan Kenan. Mungkin dia ketakutan. Aku mendiamkan saja, dia memegangku. Toh, dia masih kecil. Kasihan kalau terjadi apa-apa.
Kami melangkah beberapa menit dalam kegelapan saat mendadak sebuah lampu besar dinyalakan. Serta merta, mataku mengerjap silau. Mengucek beberapa kali, secara perlahan aku membuka mata. Tak lama, suara teriakan terdengar.
"Wah-wah, selamat datang, Mya, Sayang?"
Aku terperangah, di dalam ruangan besar dengan kami tepat di tengahnya. Ada beberapa orang yang menyambut. Andika, mantan pacarku, bertepuk tangan sambil tertawa ke arahku. Sementara di sampingnya ada nenek tua dukun ilmu hitam.
Lebih mengejutkan lagi, saat aku melihat Rika dan Darki dalam kedaan terikat berdiri di samping nenek tua. Mulut mereka disumpal lakban.
"Rika! Darki!" Aku berteriak dan hampir saja menerjang maju kalau bukan tangan Kenan yang menahanku.
"Jangan gegabah, Kak."
Aku melotot dan dia mengabaikannya, matanya memandang ke arah Andika dan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Dito yang sedari tadi terdiam, kini beralih ke sampingku.
"Mya, hati-hati."
Aku memandangnya, mengibaskan tangan Kenan hingga terlepas. "Dito, bagaimana ini?"
Dito mengelus rambutku. "Kita akan hadapi bersama-sama. Lihat dulu, apa maunya mereka."
Aku mengangguk dan tak lama terdengar suara Andika berteriak nyaring. "Aku kangen sekali sama kamu, Mya. Siapa sangka kamu datang ke rumahku dengan anak kecil dan apa?" Dia menoleh ke arah sosok renta di sampingnya. Anggukan samar terlihat dari wanita tua itu. "Hantu? Benarkah kamu menggantikan posisiku dengan hantu?"
Aku tidak menjawab, memandang pada laki-laki yang dulu pernah aku cintai. Berdiri dengan senyum licik dan arogan. Lalu beralih ke arah Rika yang menggeliat untuk melepaskan diri. Hingga sebuah pukulan di leher membuatnya terkulai ke lantai.
"Rikaaa!"
Aku berteriak, lagi-lagi Kenan menahan lenganku. Begitu juga Dito yang kini melayang di depanku. "Tenang, Mya. Dia baik-baik saja, hanya pingsan."
Aku yang panik berusaha tenang. Menarik napas panjang dan menimang tongkat di tangan. Sial, mereka membuatku marah. Mataku terpancang ke arah kelompok orang di seberang. Dengan sikap penuh permusuhan, kuacungkan tongkat.
"Lo salah cari lawan, Andika!"
***
Bersambung....
Den Mas Dito
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro