Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.34


Kami berdua berdiri diam di balik pohon atau lebih tepatnya, aku yang bersembunyi sedangkan Dito melayang ringan di sampingku. Sesekali dia terbaik dan naik ke dahan paling tinggi, untuk mengamati keadaan rumah yang sedang kami pantau. Malam begitu larut tapi jalanan komplek sudah mulai sepi. Tidak banyak pengendara atau pejalan kaki yang bersliweran.

Rumah besar dua lantai dengan pagar hitam, terlihat tenang. Di bagian depan ada dua penjaga pintu. Hal yang sebelumnya tidak ada. Aku merasa sedikit banyak kehadiran penjaga itu akan merepotkan jika kami menyerbu ke dalam. Rumpun pohon bambu di pojokan rumah mereka, terlihat tenang tanpa sapuan angin. Lampu berpendar temaran, tidak cukup terang melawan gelap malam.

Entah kenapa, setelah tahu ada dukun hitam di dalam rumah Andika, aku merasa rumah itu mengerikan. Hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

“Mya, di dalam ada banyak orang,” ucap Dito padaku. Dia baru saja melayang turun dari ketinggian.

“Apa anggota keluarga biasa?”

Dito menggeleng. “Bukan, sepertinya mereka tahu kalau kita akan datang.”

“Ooh!” Aku menoleh, memandang kekasihku .”Jadi, mereka bersiap-siap begitu?”

“Iya, kita harus hati-hati.”

Oke … ini ternyata tak semudah yang aku kira. Entah misteri apa yang menyelimuti keluarga mantan kekasihku itu. Bukan hanya perihal dukun hitam tapi juga menempatkan banyak penjaga untuk melindungi rumah mereka. Kejadian hari kemarin saat orang-orang suruhannya menyerbu rumah kami, masih terbayang dalam ingatan. Rasa geram seperti naik ke otak dan ingin rasanya menghanguskan rumah mereka.
Dari kejauhan, sebuah motor datang. Cepat-cepat aku berlindung di balik pohon. Tidak ingin diketahui siapa pun. Aneh, motor yang seharusnya melintas kini malah berhenti tepat di dekat pohon. Belum pulih dari rasa kaget karena kehadiran pengendara itu, terdengar pekikan pelan.

“Kakak Cantik, sedang apa di sini!”

What? Kok bisa tuh bocah lihat aku sih? Ngapain dia malam-malam gini keluyuran? Mengabaikan rasa heran, aku tetap terdiam di tempat. Sementara Dito, kulihat dia menatap Kenan penuh perhatian. Entah apa yang dipikirkannya.

“Woi, Kak. Sombong, ya? Awas, ya? Di belakangmu ada rawa dan biasa penuh uler, belalang, ulet, dan entah binatang apa di sana!”

Reflek aku menengok ke arah belakang dan memang benar kata dia. Di belakangku ada rawa-rawa  yang mengapit sungai. Pikiranku tertuju pada perkataan Kenan, masa iya ada uler, sih? Saat aku masih berkutat dengan prasangka, terdengar sesuatu di lempar dan membuatku berjengit ketakutan. Mau nggak mau aku keluar dari balik pohon.

“Kaan … kubilang apa. Ada uler di sana, Kaak.”

Aku berkacak pinggang. Dasar bocah semprul. Tega banget ngerjain aku.

“Gue tahu, lo yang lempar sesuatu ke rawa, kan? Buat nakut-nakutin gue?”
Kenan mengangkat bahu, terlihat tak peduli. Mulutnya masih tersenyum dan ingin kugampar.

“Yah, Kak. Kalau nggak digituin, kamu nggak keluar, sih? Ngapain juga, cewek cakep kayak Kakak harus ngumpet?"

Aku melotot, berusaha menahan kesal Tapi, meski marah otakku berpikir, kok bisa dia lihat aku di balik pohon? Bukannya tubuhku nggak terlihat dari jalanan?

“Mya ….”

“Iya?” Aku menoleh ke arah suara Dito.

“Dia hebat,” ucap Dito sambil menunjuk ke arah Kenan yang sedang cengar-cengir.

Aku melotot. “Apa hebatnya, dia? Hanya tukang ganggu!”

Detik itu juga aku tersadar sudah kelepasan bicara, kini menoleh ke arah Kenan yang memandang heran. Matanya menatap tajam ke arahku. Senyum terhapus di bibirnya. Di bawah bias malam dengan rembulan sebagai penerang, bocah itu terlihat lebih tua dari umurnya.

“Kak, kamu bicara sama siapa?” tanyanya pelan.

Aku menghela napas, menimbang untuk bicara sejujurnya atau berbohong pada bocah ini. Toh, dia akan bisa melihat Dito. Jadi, mungkin lebih baik kalau aku tidak jujur.

“Mya, bicara saja jujur. Bilang ada aku.”
Aku ternganga. “Yakin?”

Dito mengangguk. “Iya, coba saja,” ucapnya tenang dan kini melayang mendekati Kenan. Berdiri di samping bocah itu.

“Kak, bicara sama siapa, sih?”Lagi-lagi dia bertanya bingung.

“Pacarku, “ jawabku pelan. “ada di situ.”
Aku menunjuk sampingnya, di mana sekarang Dito melayang tenang.

Kenan menegakkan tubuh, kepalanya celingak-celinguk. Mungkin dia tak percaya dengan apa yang aku katakan. Bodo amat. Dito bilang harus ngomong jujur. Jadi, harus jujurlah. Terserah dia mau menganggapku gila atau apa.

“Kak, pacarmu hantu apa siluman?”
Kalau lagi makan, pasti udah nyembur karena omongan bocah ini. Heran, dia bukannya bilang aku gila malah tanya balik.

“Emang lo percaya kalau gue bilang?” tanyaku coba-coba.

Kenan nyengir, entah apa yang dia pikir. Wajahnya terlihat jenaka di bawah siraman cahaya bulan.

“Yah, aku percaya di dunia ini ada makhluk lain selain manusia. Bilang aja, Kak. Aku mencoba untuk tegar.”

Lagi-lagi dia berucap penuh percaya diri.

Aku terdiam sejenak, berpikir dan menimbang-nimbang. Kulihat Dito tersenyum menyemangati. Aku menoleh kanan, kiri lalu menatap Kenan yang menunggu dengan penasaran.

“Hantu, ada di samping kirimu.”

Akhirnya aku bicara.

Aku mengharapkan Kenan berjengit kaget atau mengumpat tak percaya tapi tidak. Bocah itu malah miring ke kiri dan melambaikan tangan. Bersikap seakan-akan dia bisa melihat Dito.

“Hai, Kakak Hantu Tampan. Pasti kamu tampan sampai Kakak Cantik mau sama kamu.”

Anehnya, Dito tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk mengelus pelan rambut Kenan. Kayak kakak sama adiknya., Wew, tumben dia manis begitu.

“Kakak Hantu, boleh nggak aku naksir pacarmu?”

“Wew, ngomong apa, sih, lo?” teriakku marah.

Dito tertawa dan Kena mundur dua langkah melihatku mengacungkan jari.

“Santai, Kak. Ini ucapan cinta paling tulus dari sanubari.”

Secepat kilat aku meraih bahunya dan mendorongnya menjauh. “Sana, main-main tempat lain. Jangan ganggu gue lagi sibuk!”

“Loh, aku nggak mau pergi.”

“Pergi, atau gue santet!”

“Santet aja kalau bisa, pokoknya aku nggak mau pergi. Mau nemenin Kakak. Terserah mau ngapain juga.”

Aku mendesah kesal, percuma juga mendorongnya karena dia nggak mau pergi. Dengan putus asa aku menoleh dan bertanya pada pacarku.

“Gimana, Dito? Bisa nggak kamu lakukan sesuatu dan bikin bocah ini pergi?”

“Wew! Apaan sih!” Kenan berteriak lalu kembali bicara menghadap Dito. “jangan dengarkan pacarmu Kakak Hantu. Mungkin dia bingung memilih antara kamu atau aku.”

Dasar itu bocah! Saat tanganku terangkat untuk memukulnya. Dito berucap pelan, dengan mulut menahan senyum.
“Biarkan saja, Mya. Bisa jadi dia bisa bantu kita.”

Aku mendengkus. “Bantua apaa, emang dia bisa apa?”

Kenan mendekat dan berbisik cukup keras. “Kak, kencingku sudah lurus!”

Aaah, aku bisa gila sama dia. Dito tertawa dengan Kenan meringis sambil menggaruk rambut. Aku menarik napas dan membuangnya dengan kesal. Memandang bocah SMA yang entah kenapa, terlihat santai saat bersamaku. Mendadak, sesuatu melintas di pikiran.

“Hei, Kenan. Kok kamu bisa tahu gue di belakang pohon?”

Kenan terdiam, memandangku lekat. Dito kini melayang di sampingku. Sepertinya, dia juga penasaran dan punya pertanyaan yang sama denganku. Bocah itu terdiam sesaat, menengadahkan wajah memandang malam lalu mengedarkan pandang.
“Aku membauimu, Kak.”

“Apa?” tanyaku tak mengerti.

“Aku membaui aroma tubuhmu. Dari pertama aku melihatmu, setahun yang lalu, entah kenapa aroma tubuhmu begitu kuat menusuk hidungku.”

Aku terkesiap, berpandangan dengan Dito. Kami sama-sama tidak mengerti apa yang dikatakan bocah ini.

“Setahun lalu? Di mana kamu melihatku?”

Kenan tersenyum. “Di sini, tepat di tempat kita berdiri. Kamu datang dari rumah besar itu dan kulihat dalam keadaan menangis. Waktu itu, aku ingin menyapa tapi keadaan tak memungkinkan karena sedang mengutak-atik motor. Siapa sangka, kita bertemu lagi.”

Aku tertegun, sungguh-sungguh nggak nyangka akan perkataan Kenan. Dia melihatku setahun lalu, itu berarti saat aku datang mencari Andika. Dan, selama setahun ini dia masih mengenaliku. Dari aroma tubuh?

“Memangnya, apa aromaku?”

Kenan menutup mata dan membuka kedua lengannya. Dia mengirup udara kuat-kuat sebelum berucap pelan.

“Campuran kayu cendana, citrus, dan bunga lili.”

Aku tertegun, menoleh pada Dito dan kulihat dia pun terdiam. Saat aku ingin mengucapkan sesuatu, Dito menyahut.

“Tanya sama dia, apa dia pernah melihatmu selain di sini. Sebelumnya?”

Pertanyaan misterius dari Dito kuteruskan pada Kenan. “Apa kamu pernah melihatku sebelumnya? Selain di sini?”

Anehnya Kenan mengangguk. “Bukan secara ril tapi aku pernah melihat sebuah lukisan wanita yang amat sangat mirip denganmu. Hanya beda di pakaian.”

Dengan gerakan cepat, Dito beralih ke depan Kenan. Berusaha menjangkau tubuh bocah itu tapi tidak bisa. Karena sentuhannya tembus begitu saja.

“Dito, ada apa?” tanyaku panik.

“Mya, kita akan bicara dengan bocah ini. Segera setelah masalah Andika kita bereskan.”

Diliputi tanda tanya akan sikap dan perkataan dua laki-laki di depanku, kubalikkan tubuh kembali menghadap rumah Andika. Ada Rika dan Daski yang ikut mengawasi dari pintu belakang. Untuk sementara kuabaikan Kenan. Kucabut tongkat dari pinggang dan berucap tegas.

“Mari, kita bertamu ke rumah itu.”

Dito mengangguk dan melayang di sampingku. Kami bersama-sama menuju pagar yang tertutup, untuk menyongsong apa pun yang akan terjadi. Dengan Kenan yang mengikuti kami.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro