Bab.33
Situasi mendadak terasa mencekam. Petir menyambar ganas bersamaan dengan rintik hujan. Tanganku menggenggam tongkat dengan erat sementara mata menatap ke arah Dito. Hantu rupawan itu sedang berdiri di tengah halaman, dengan kepala mendongak seperti menantang langit.
Berdiri dengan was-was di sampingku, ada Rika dan Darki. Mereka tidak bisa melihat Dito tapi aku yakin ikut merasakan hal yang menakutkan. Di mulai dengan hujan yang turun tiba-tiba, petir yang ganas menyambar dan kini, seolah ada angin puyuh yang menyerang rumah kami.Dito mengayunkan tangan dengan gerakan memutar, ujung jarinya gemerlap tertimpa cahaya petir. Dia tetap tegak meski angin seolah menyelubungi dirinya. Saat aku melihat Dito seolah menyedot energy dari hujan yang menimpanya, terdengar teriakan dari pintu belakang.
"Myaaa! Tolong gue. Myaaa ... gue takut!"
Suara Kunti terdengar nyaring melolong. Seperti mengatasi suara angin. Aku bergegas ke pintu belakang dan membukanya. Detik itu juga, Kunti melayang masuk. Seakan ada orang yang melemparnya, kini Lili terjatuh di lantai ruang tamu dan bergulingan sambil melolong di sana.
"Mya, siapa yang masuk rumah kita?" tanya Darki sambil mengendus-endus sekitar.
"Kunti," jawabku pelan.
"Apa? Ngapain lo masukin dia? Dito kan bilang dia nggak boleh masuk?" pekik Rika marah.
Aku mengangkat tangan, memberi tanda agar mereka diam. Mata terpancang pada Kunti yang gini meraung-raung sambil menutup kuping. "Dia sakit, entah kenapa."
Sepertinya, Darki dan Rika tak mengerti apa yang aku katakan. Aku berjongkok depan Lili yang kini bersimpuh dan bertanya pelan. "Lili, lo kenapa? Ada apa?"
Lili gemetaran, membuka tangan yang menutupi kuping dan berkata terbata. "Mya ... ad-ada energi super jahat. Me-mengerikan, bikin gue sakiiit. Rasanya ka-kayak tubuh dan jiwa terpotong, lepas."
Aku terkesiap, bangkit dari lantai dan kembali mendekat ke arah jendela. Menatap Dito yang kini melayang setengah meter dari tanah. Otak sibuk berpikir, tentang omongan Lili. Kalau gitu, serangan ini hanya dimaksudkan untuk mahluk gaib, bukan untuk manusia. Karena aku, Darki dan Rika tak merasakan apa pun. Beda dengan Kunti yang kini masih meringkuk di lantai.Apa yang dirasakan Dito? Apa dia kesakitan juga. Seandainya aku bisa bantu dia.Kulihat kini kekasihku bergerak cepat dari ujung ke ujung, tangannya terentang seperti menyambar sesuatu. Entah apa karena aku juga tidak bisa melihatnya. Lalu, di antara rintik hujan, kulihat ada gerakan mencurigakan.
"Rumah kita disatroni penjahat." Darki berucap pelan, mulutnya berdecak. "Wee, mayan banyak juga."
"Kalau ini, gue mampu hadapi." Rika menimpali.
Dari kegelapan muncul sosok-sosok berbaju hitam. Jelas manusia karena mereka kini berlari melewati Dito yang masih kewalahan menghadapi serangan gaib. Para sosok berbaju hitam itu melihat kami yang berdiri di balik kaca. Kuhitung cepat ada enam orang. Berdiri diam di bawah hujan yang kini menjadi rintik.Aku meraih menggenggam tongkat dan berkata nyaring pada Kunti.
"Lo tetap di sini, jangan kemana-mana. Denger nggak Lili?" Lalu menoleh ke arah Rika dan Darki yang kini berdiri bersisihan. "Kalian, siap?"
Keduanya mengangguk, mengucap 'Basmalah' kubuka pintu dengan dua sahabat di belakangku. Sosok-sosok itu bergerak mendekat. Tanpa basa-basi kini menyerang kami. Suara lengkingan Rika berbaur dengan senjata tajam yang beradu.
Aku sendiri berkelit, tepat saat sebuah pukulan hampir mengenai kepala. Belum tegak berdiri, sebuah tendangan mengarah ke perut. Kuayunkan tongkat, menggunakan gerakan menyabet untuk menyasar leher mereka. Suara geraman terdengar saat pukulanku mengenai salah satu dari pengroyokku. Rasa nyeri menguasai tubuh saat tanah yang becek dan licin membuatku terpeleset. Dan aku berguling tepat sepasang kaki hendak menginjakku. Mengabaikan nyeri aku bangkit dan meloncat ke arah bahu sosok berbaju hitam. Tanpa aba-aba kucolok matanya, laki-laki itu menjerit kesakitan dan aku beralih pada sosok lain.
Aku perhatikan, dua penyerang lain tergeletak di tanah. Bisa jadi Darki atau Rika yang menghantam mereka. Darki rupanya petarung yang lihai, seorang diri dia menghabisi tiga orang sekaligus. Tersisa dua orang yang kini gemetar karena menghadapi kami bertiga. Mereka melarikan diri saat kami bersiap menyerang.
"Sialan, kabur kemana kalian!" Darki memaki keras sekali. Dia mengentakkan kaki ke tanah dan mengacungkan parang.
"Jangan kejar, kita urus mereka!" Aku melarangnya mengejar dua penyerang yang menghilang.Dengan napas ngos-ngosan, dia mengangguk. Menghampiri Rika yang berdiri diam dengan wajah memucat. "Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?"
Rika menggeleng. "Nggak, gue baik-baik saja. Barusan kaget aja karena mereka ternyata kuat."Dalam keremangan aku melihat Darki mengulurkan tangan, menyentuh lengan Rika. "Nggak apa-apa. Udah pergi, udah selesai."
Entah bagaimana mulanya, Rika mendongak lalu tanpa diduga menubruk Darki. "Lo hebat ternyata. Gue selalu suka sama cowok yang jago bertarung."
Seperti hal-nya Darki, aku pun kaget lihat tindakan Rika. Well-well, ternyata ada hikmah di balik bencana. Aku menyadari hujan kini benar-benar berhenti. Kulihat Dito kini terdiam dan bergeming di tengah di dekat pagar. Aku menghampiri dan berdiri di sampingnya.
"Dito? Kamu baik-baik saja?"
Dito terdima, tak menjawab. Aku menoleh dan terbelalak saat melihat tangannya menghitam hingga ke siku.
"Dito, ada apa? Kenapa?"
Saat aku hendak menyentuhnya, dia mengibaskan tanganku. "Jangan disentuh, beracun," ucapnya pelan. Dia membalikan tubuh dan menatapku yang kuatir. Ada apa sebenarnya? Sampai hantu seskati Dito bisa terluka. Siapa para penyerang itu?
"Mya ... aku lelah sekali."
"Ayo, masuk!" ajakku dengan suara tercekat. Rasanya ingin menangis melihat Dito dalam keadaan terluka dan sakit. Memang tidak terlihat secara fisik, tapi aku tahu dia sedang sengsara. Kami masuk ke rumah, dengan Dito melayang pelan di depanku.
Darki dan Rika tak lagi berpelukan. Kini mereka sibuk menyeret para penyerang dan mengikatnya jadi satu.
"Siapa kalian, dasar bajingan! Main keroyokan!" Darki berteriak sambil menendang salah seorang yang merintih.
Aku membiarkannya dan Rika mengurus mereka. Perhatianku tercurah pada Dito. Lili yang semula meringkuk di ruang tamu sudah menghilang. Mungkin kembali ke halaman belakang. Saat tiba di dalam kamarnya, Dito membaringkan tubuh di atas ranjang. Terlihat makin pucat dari yang seharusnya terlihat. Tangan kanannya masih menghitam. Aku duduk di sisi ranjang dan menatap kuatir.
"Besok pagi, aku akan dapatkan embun untuk kamu."
Dito tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Aku lelah sekali."
"Tidurlah, aku tinggal dulu."
Aku beranjak pergi, menoleh sekilas saat kudengar Dito berucap. "Mya, jangan sentuh para bajingan itu. Bia raku saja besok yang menanyai mereka."
"Baiklah, aku akan bicara dengan Darki dan Rika."
Aku mematikan lampu dan menutup pintu kamar. Membiarkannya terlelap untuk istirahat. Saat mencapai ruang makan baru kusadari jika bajuku kotor. Aku melangkah lunglai menuju ruang tamu dan melihat para pengeroyok itu kini diikat menjadi satu oleh Darki dan Rika.Darki berdiri menjulang dan terlihat mengancam dengan parang di tangan, sementara orang-orang itu merintih kesakitan.
"Darki, biarkan mereka di sini dan tolong dijaga. Besok, Dito yang akan intrograsi."
Darki menoleh dan terlihat keheranan. "Bagaimana caranya? Mereka kan nggak bisa lihat Den Mas?"
"Ada aku."
"Oh, ya. Baiklah, aku berjaga malam ini."
"Mya, kamu nggak apa-apa? Bajumu kotor dan wajahmu pucat," tanya Rika dari atas tempat duduknya di atas sofa.
Aku menggeleng. "Aku ingin tidur, capek. Bangunkan sebelum Subuh. Harus mengambil embun untuk Dito."
"Baiklah, biar kami yang berjaga," ucap Rika sambil mengacungkan dua jempol. Tak lama, Darki melesakkan diri di sampingnya dan mereka berpelukan dengan kepala saling beradu. Aku meninggalkan dua orang yang sepertinya sedang mabuk asmara itu. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju. Lalu membaringkan tubuh di atas ranjang.Pikiranku melayang pada Dito dan betapa berat yang harus dia jalani. Bahkan setelah dia mati. Tentang orang-orang terus menerus mengusik Dito dan membuat kekasihku selalu dalam bahaya. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada Andika. Apakah ini semua ada hubungannya sama dia? Bisa jadi. Mengingat nenek buyutnya adalah dukun hitam. Untunglah aku tak lagi bersamanya kalau nggak, bisa-bisa aku ketularan jahat.
Lalu, manusia-manusia itu? Siapa yang menyuruh mereka menyerang kami? Apa masih ada kaitannya dengan Andika juga? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otak dan kelelahan yang menyergap, membuatku terlelap.***Keesokan paginya, aku terbangun dalam keadaan kaget. Sepertinya Subuh sudah berlalu karena keadaan di luar lebih terang sekarang. Aku bergegas bangun dari ranjang untuk ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar, pemandangan yang terlihat membuatku kaget.Ada Dito duduk tenang di atas sofa dengan Si Boy di kakinya. Sementara para pengroyok itu masih terikat di lantai. Rika dan Darki entah kemana.
"Dito, sudah sehat?" tanyaku saat melihat tangannya tak lagi menghitam.
"Mya, Sayang. Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan senyum tersungging.
Panggilan 'sayang' darinya membuatku melongo. Bisa-bisanya lagi sakit tapi romantis. "Itu, kamu sudah sehat?" tanyaku sekali lagi.
"Sudah, Darki dan Rika menyediakan embun segar untukku. Mereka hebat bukan?"Aku mengembuskan napas lega. Merasa bersyukur Dito akhirnya sehat kembali. Aku harus berterima kasih pada Darki dan Rika untuk bantuan mereka.
"Mya, sepertinya kita perlu ke rumah Andika."
Aku melotot. "Kapan? Apakah benar semua ada hubungan sama keluarga mereka? Bagaimana carmu menanyai mereka?" tunjukku pada cecurut di atas lantai.
Dito tersenyum, bangkit dari sofa dan berdiri di sampingku. "Ada Boy yang membantu," ucapnya misterius. "Kita pergi nanti malam, secara diam-diam. Rika dan Darki akan ikut bersama kita."Aku mengangguk saja, meski banyak yang tak kumengerti. Tentang bagaimana Dito mencari tahu soal Andika, tentang bagaimana dia bisa sehat secepat ini. Yang penting, titik masalah sudah ada di depan mata, yaitu keluarga Andika.
"Baiklah, kita ke sana malam ini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro