Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.32

Malam yang indah, tanpa hujan. Hanya angin sepoi yang membuat suasana segar. Dari tempat duduk kami di teras, bisa tercium aroma serbuk bunga dari pohon mangga yang tertanam di pojok halaman. Aku mengirup udara dalam-dalam, mengisi paru-paru dan bermeditasi. Terus terang, aku membutuhkan ketenangan, setelah beberapa kali dilanda kemelut tak berkesudahan.


Dito melayang pelan di halaman, memandangi bunga-bunga yang tumbuh di dalam pot lalu beralih ke pohon jambu yang mulai berbunga. Di kakinya, Si Boy-kucing hitam yang sepertinya lupa siapa majikannya-mengeong gembira-mengikuti langkahnya.


Dari dalam rumah terdengar perdebatan ringan, sepertinya Rika dan Darki sedang bertengkar tentang sesuatu. Mungkin menu tentang menu makan malam, karena sekilas kudengar ada kata nasi dan telur. Pikiranku melayang pada kejadian siang ini di rumah Andika. Bertanya-tanya tentang sosok nenek tua yang membuat kami kalang kabut. Siapa dia, apa hubungannya dengan Dito, kenapa seperti dendam? Suara motor lewat membuatku berjengit kaget dan seketika ingatan melayang pada bocah geblek yang merayuku. Hah, baru SMA udah pinter ngrayu, gimana gede itu ntar.


"Ada apa, Mya?"


Suara teguran Dito membuatku tersadar. Aku tersenyum memandang kekasihku yang tak kasat mata. Tampan, berwibawa, meski transparan. Bodo amat, cinta kan emang buta.


"Dito, sebenarnya Nenek Tua di rumah Andika itu siapa? Kamu mengenalnya?"


Lama tak ada jawaban, kulihat Dito seperti menimbang sesuatu sebelum menjawab. "Iya, dia bagian dari tragedy keluargaku."


"Apa? Kok bisa?"


Dito menoleh, memandangku tajam. "Kamu membaca buku yang diberikan Mbah Uti?"Aku mengangguk. "Kisah keluargamu dan Bunda Larasati."


"Iya, Kanjeng Ibu meninggal karena dibakar. Untuk menyelamatkanku." Suara Dito terdengar lirih. "Ada dugaan, semua perbuatan dilakukan oleh istri tua Ayahhanda yang menginginkan anaknya jadi pewaris harta dan tahta. Sebenarnya, Kanjeng Ibu tidak menginginkan banyak harta. Beliau lebih suka di rumah mengurusku dan belajar banyak hal seperti merajut atau merangkai bunga."


Aku menahan napas. Menunggu dengan sabar Dito bicara.


"Lalu, suatu hari datang laki-laki muda. Yang mengaku kerabat jauh Kanjeng Ibu. Kami tidak mengenalnya dan memaksa laki-laki itu pergi. Tapi, laki-laki bernama Pranajaya itu mengaku kelelahan dan meminja ijin untuk menginap satu malam sebelum pulang. Entah bagaimana terjadi, aku yang saat itu kebetulan sedang libur sekolah bermain ke rumah teman. Beberapa pelayan pergi entah kemana. Saat itulah, Ayahanda pulang dan mendapati Kangjeng Ibu berbicara dengan laki-laki itu dan mereka hanya berdua di rumah."


Aku sudah tahu kisah selanjutnya. Ayah Dito yang cemburu memukuli Bunda Larasati hingga babak belur dan meninggalkannya begitu saja di halaman. Tak lama ada segerombolan orang yang datang, merusak seluruh rumah dengan membakarnya. Dito tersambar api dan sang ibu mengorbankan diri karena menyelamatkannya.


"Harusnya, waktu itu aku tetap di rumah temanku. Pasti, Kanjeng Ibu selamat," gumam Dito lirih.


Menahan kesedihan, aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. "Seenggaknya, kamu selamat."


Dito menggeleng. "Aku sekarat, Nenek dari Mbah Uti yang menyelamatkanku. Dia adalah guru spiritual Kangjeng Ibu. Sayang, seseorang yang disuruh entah siapa, membunuhku dengan ilmu hitam. Dan, kamu lihat sendiri. Aku melayang tak tentu arah di dunia ini. Bersama Mbah Uti dan turunannya."


Dadaku sesak, membayangkan Dito yang merasakankesakitan amat dalam dan terlunta-lunta sendirian di dunia. Sepertinya dia merasakan jika aku menangis. Tak lama dia meraih kepalaku dan seketika, hawa dingin menyelubungi tubuh.


"Jangan menangis, itu kisah masa lalu. Aku memang belum pergi untuk mencari pembunuh Kanjeng Ibu."


Aku menyeka air mata di pelupuk. "La-lalu, Nenek Andika?"


"Dia adalah murid dari dukun ilmu hitam yang diduga membunuhku. Bisa kamu lihatkan, betapa dia terlihat kaget dan juga senang saat melihatku. Wanita Tua itu berharap bisa menghabisiku dan menjadikan aku peliharaannya!"


Kegeraman muncul dari tenggorokan saat mendengar ucapan Dito. Dasar dukut santet, gelo! Dukun ilmu hitam. Awas aja kalau ketemu ntar, aku jambak rambutnya. Biar pada rontok. Orang tua, bau tanah masih macam-macam sama pacarku! Untung saja aku putus dengan Andika. Kalau tidak, tentu bakalan jadi jahat kayak mereka. Rupanya, kemarahanku terbaca oleh Dito. Karena kini dia tersenyum.


"Jangan marah, sudah biasa aku menghadapi orang seperti itu."


"Biasa gimana maksudnya?"


Dito mengangkat bahu. "Orang-orang yang kagum dan terpesona karena umur dan kemampuanku."


"Manusia memang serakah," ucapku pelan. Aku mendongak memandang langit. Melihat taburan cahaya bintang menghiasi angkasa. "Lalu, bagaimana caranya kamu menemukan pembunuh Kanjeng Ibu?"


"Aku akan mendapatkan petunjuk jika bertemu Paman Subadri."


"Siapa itu?" tanyaku kali ini dengan heran. Karena baru pertama mendengar namanya.


"Kerabat dari Kangjeng Ibu. Satu-satunya saksi yang melihat siapa pembakar rumah. Malam itu, dia menghilang. Lalu, kudengar desas-desus, dia merantau ke kota."Huft, kisah Dito makin rumit aja. Kota di Indonesia itu banyaak, bagaimana mungkin bisa menemukan Subadri yang pasti sudah meninggal.


"Dito, bukannya Paman Subradi sudah meninggal?"


Dito mengangguk. "Iya, tapi ada satu benda yang aku harapkan diwariskan ke anak cucunya. Benda yang bisa membantuku mencari pembunuh Kangjeng Bunda."


"Apa itu?"


Dito melayang, seperti berjalan memutariku. Dari arah belakang terdengar nyanyian si Lili yang terdengar sumbang. Hantu itu tahu kalau ada Dito di depan dan seperti biasanya, sedang mencari perhatian. Huft, percuma. Kekasihku, nggak akan peduli padanya. Eih, aku mikir apa sih? Bukannya lagi bahas benda pusaka?


"Dito?"


Dito menoleh dari keasyikannya memandang bintang. "Sebuah tusuk konde."


"Tusuk konde?" Ulangku tak yakin.


"Iya, milik Kangjeng Ibu. Benda itulah yang digunakan untuk membunuhku."


Aku masih menatap heran. Otakku sibuk berspekulasi. "Kalau memang Paman Subadri tahu sesuatu, saksi satu-satunya. Kenapa dia tidak membantu kalian. Bukannya kalian bersaudara?"


Dito termenung, sepertinya dia berusaha menggali ingatannya tentang masa lampau. Sementara aku menunggu dengan tidak sabar, penjelasan-penjelasan yang ingin kudengar."Paman Subadri adalah adik bungsu Kanjeng Ibu. Tentu saja sebagai Adik, beliau sangat menyayangi kakaknya. Malam itu, setelah dia melihatku terbunuh dengan tusuk konde. Dia marah dan bermaksud menghajar orang-orang yang mencelakakan aku. Apalagi Kangjeng Ibu meninggal. Di tengah jalan, dia dikeroyok dan nyaris mati jika tidak ditolong oleh pengawal kadipaten yang kebetulan sedang patroli. Setelahnya, dia mengalami banyak teror dan bahkan keluarganya pun diancam akan dibunuh. Paman Subadri yang melihat aku dan Kangjeng Ibu mati, merasa tak ada gunanya lagi tinggal di kadipaten. Dan akhirnya, memutuskan untuk membawa seluruh keluarganya merantau."


"Ayahmu? Membiarkannya begitu saja?"


Dito mengangguk. "Ayahanda jadi terganggu kewarasannya saat Kangjeng Ibu meninggal. Setahun kemudian beliau juga meninggal. Aku sempat bertemu arwahnya sebelum naik dan dia menangis meraung-raung dihantui rasa menyesal. Tapi, aku tahu jika dia teramat sangat mencintai ibuku."


Aku merasa dadaku sesak. Sungguh tragedy keluarga yang memilukan. Jika aku dalam posisi mereka, belum tentu akuy sanggup. "Paman Subadri, dia tidak tahu kalau kamu jadi--,"


"Hantu?"


Aku mengangguk.


"Tidak, semua kisah aku dengar dari neneknya Mbah Uti yang akhirnya jadi penjagaku. Jejak-jejak pembunuh ada di tusuk konde itu dan juga, jalanku untuk naik."


Mendengar kata naik, membuat perasaanku was-was seketika. Kali ini, bukan rasa marah yang melandaku. Melainkan perasaan sedih. Tentu sangat menyiksa menjadi hantu kuat seperti Dito. Semua menginginkannya, bukan untuk hal baik tapi untuk kejahatan. Aku juga tahu jika dia tidak ingin lama-lama di dunia tapi, naik sekarang saat aku memilikinya. Membuat perasaan sedih berkecamuk. Didorong perasaan tak mau kehilangan dan ingin memiliki yang begitu kuat, aku berdiri menghadapnya. Senyum tersungging di mulutku dan bisa kulihat sebelas alisnya melengkung naik.


"Dito ...."


"Ya?"


"Pernah nggak, aku bilang kalau aku sayaaang sekali sama kamu."


Dito terdiam lalu sebuah senyuman tercipta di bibirnya. "Ndak pernah bilang tapi aku tahu, kalau kamu sayaaang sekali sama aku."


Kami berdiri berdekatan, bisa kurasakan hawa dingin menyelubungi tubuh saat tangan Dito merangkul pundakku. Entah bagaimana. Kurasakan bibir dinginnya menempel ke bibirku. Dan, gilanya lagi otakku berpikir bagaimana cara melumat bibirnya jika dia tranparan. Ah, makin lama otakku makin kacau. Saat kami hendak berciuman untuk kedua kali, sekor kucing hitam jelek, seenaknya saja mengeong di sekeliling kami. Membuat aku yang semula bersiap menerima kecupan, kini berpaling ke arah Boy.


Kucing itu gelisah, tidak seperti biasanya. Aku berjongkok untuk mengelusnya.


"Boy, ada apa. Pus-pus, sini gendong."


Si Boy menolak untuk digendong. Dito rupanya juga menyadari hal ganjil karena berikutnya, dia berkata serius.


"Mya, bawa masuk Boy. Dan, kunci pintu."


Aku bangkit dari tempatku berjongkok. "Ada apa?"


Dito memandang langit. "Sekarang, Mya!" perintahnya tak sabar.


Tanpa perlu disuruh dua kali, aku menyambar Boy dan membawanya masuk ke rumah. Menutup pintu lalu membuka gorden. Dito boleh saja menyuruhku masuk tapi, aku juga ingin melihat apa yang akan terjadi sebenarnya. Makluk apa yang akan datang ke rumah sampai Dito begitu kuatir.


Terdengar derap langkah dari dalam, tak lama muncul Rika dan Darki. Keduanya keheranan melihatku menutup pintu.


"Mya, ada apa?" tanya Rika sambil berdiri di sampingku.


Tanpa menoleh aku menjawab. "Rumah kita akan disatroni sesuatu. Dito menyuruhku masuk."Secepat kilat Rika berlari ke dalam dan aku tahu dia mengambil apa. Tak lama dia kembali dengan pisau panjang dan tasbih.


"Mya, di mana tongkatmu?" bisiknya kuatir.


"Aku ambilkan." Kali ini, Darki yang bicara dan dia melesat masuk. Muncul kembali dengan tongkatku. Dia pun membawas senjata tajam, sebuah parang. Entah apa yang akan kami hadapi, malam ini kami berjaga-jaga.


Mendadak, langit yang semula cerah berubah gelap. Angin sepertinya bertiup lebih kencang jika dilihat dari pepohonan yang bergoyang hingga nyaris rubuh. Dito tetap bergeming di halaman, dengan tangan terikat di belakang tubuh. Petir datang menyambar seiring dengan lengkingan kucing di belakangku. Hujan deras, mendadak mengguyur rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro