Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.30

Andika, rupanya sengaja membuat emosi. Setelah kuminta dengan sangat untuk memberikan nomor kontak bawahannya, dia malah menghubungiku sendiri. Dengan dalih agar pekerjaan lebih cepat. Baiklah, aku berusaha menerima alasannya. Setiap telepon dan pesan kubalas dengan sopan. Berbagai macam rayuan dia coba lancarkan, aku bergeming. Tak lagi tertarik untuk main-main dengannya.Setelah membantunya selama dua minggu, akhirnya selesai sudah tugasku. Tiket-tiket yang dia minta untuk artis terkenal beserta kru, yang akan manggung di Malaysia, selesai kutangani. Saat itulah, aku bicara dengan Pak Junta, tidak ingin lagi membantu Andika. Dengan lasan sibuk tentu saja. Dan, berharap tugasku dilimpahkan ke orang lain. Manajerku tidak keberatan dengan alasanku tapi, tidak dengan mantan kekasihku. Begitu dia tahu aku mengundurkan diri, dia melancarkan bujuk rayu."Mya, cuma kamu yang bisa membantuku. Jangan meninggalkanku.""Ada Yanti yang akan bantu kamu," balasku sengit."Dia beda, belum tentu bisa ngertiin aku kayak kamu."Aku mengabaikannya. Mendiamkan semua chat dan teleponnya. Hanya membalas jika menurutku benar-benar penting. Hingga suatu siang sebuah paket datang untukku. Yang membuat kaget karena isinya, satu set perhiasan mahal. Meski dikirim tanpa nama tapi, aku tahu siapa yang mengirim. Teman-teman kantor yang melihat apa isi paket, menjerit dan terperangah kagum. Buru-buru kotak kututup kembali dan meminta ijin pada manajer untuk pulang lebih awal. Dengan alasan, salah kirim dan bermaksud mengembalikan ke toko perhiasan.Dito hanya menatap diam tanpa kata. Saat kami melangkah di trotoar sepi dan panas menuju halte busway. Sepanjang jalan aku mengomel panjang lebar soal Andika. Dimulai saat kerja sama, hingga hadiah yang dikirimkan untukku."Jadi, kita mau ke rumah Andika? Mengembalikan hadiah?" tanya Dito."Iya, aku mau bicara tegas sama dia. Tadi aku meneleponnya dan meminta dia mengambil hadiah ini tapi dia menolak.""Ehm ... baiklah. Sudah, kamu jangan marah-marah. Ndak enak dilihat orang kalau ngomel-ngomel sendiri."Huft, teguran Dito menyadarkanku kalau kami sudah mencapai halte busway. Sebenarnya, akan lebih cepat jika naik taxi atau mobil sewa tapi, lebih aku tidak ingin buang-buang banyak uang. Memerlukan tiga kali ganti busway, sampai akhirnya kami tiba di rumah Andika.Untuk sejenak aku tertegun. Di depan rumah mewah dengan pagar besi hitam. Pintu gerbang tertutup dan sepertinya terkunci dari dalam. Kuamati teras yang sepi. Menarik napas, aku memencet bel pintu. Tak lam terdengar suara dari pengeras yang terpasang di pintu."Siapa, ya? Mau cari siapa?"Aku mendekat dan membalas. "Mya, mau bicara dengan Andika.""Oh, Andika nggak ada. Coba buat janji dengan meneleponnya."Aku merogoh tas dan mengeluarkan kotak perhiasan. Lalu menyorongkannya ke kamera pengawas. "Bisakah salah satu dari kalian keluar? Untuk mengambil ini?"Sunyi, tak ada jawaban. Aku berpandangan dengan Dito yang melayang tenang di depan pagar. Ada rumpun bambu kuning yang ditanam di halaman rumah. Tepat di pojokan dekat pagar, entah kenapa, itu menarik perhatian Dito. Aku sendiri melihat tak ada sesuatu yang aneh di sana.Dari dalam rumah, muncul seorang gadis berseragam. Pelayan rumah sepertinya. Setelah pintu gerbang dibuka, dia menyuruhku masuk. Aku menolak dan bermaksud menitipkan kotak untuk dikembalikan pada Andika. Tapi, pelayan itu mengatakan jika 'Nyonya' ingin bicara padaku. Nyonya? Ibu Andika?Benar dugaan, wanita setengah baya dengan make-up tipis tapi elegan, duduk santai di sofa ruang tamu adalah ibu Andika. Wanita yang sama, yang menemuiku dua tahun lalu. Saat aku mencari anaknya. Wanita itu rupanya mengenaliku."Mya, bukan?Aku mengangguk. Meletakkan kotak di atas meja. "Iya, Nyonya. Saya datang untuk mengembalikan ini," ucapku tanpa basa-basi.Ibu Andika mengambil kotak dari atas meja dan membukanya. Untuk sejenak, matanya membulat saat melihat isi kotak. Sementara itu, kulihat Dito melayang ringan. Berkeliling ruang tamu. Sepertinya dia gelisah, entah karena apa. Bisa jadi dia kagum dengan isi rumah yang penuh barang mewah."Anakku memberikan ini padamu?" tanya sang nyonya dengan mulut bergetar.Aku mengangguk sekali lagi."Kalau boleh tahu, siapa kamu, Mya? Dua tahun lalu, kamu datang ke rumah ini mencari Andika. Hari ini, kamu datang kembali mengembalikan hadiah mahal, yang katamu diberikan anakku."Aku menghela napas, mencoba memilih perkataan yang tepat untuk diucapkan. Ini tidak akan mudah, tapi setidaknya aku juga tidak ingin berbohong. Aku mendongak dan bertatapan dengan Dito yang mengangguk, menyemangatiku.Aku berdeham sebentar sebelum menjawab. "Saya, ada--,""Mama, siapa yang datang?" Suara feminim seorang wanita dari dalam ruang tengah, menghentikan perkataanku.Seorang wanita amat cantik, dengan rambut kecoklatan yang mengembang indah, melangkah gemulai menghampiri kami. Tatapannya berpindah dari ibu Andika ke arahku. Entah kenapa, firasatku mengatakan wanita yang baru saja datang mengenaliku. Dilihat dari wajahnya yang terperangah dan telunjuknya teracung ke arahku."Ka-kamu, mau apa kamu kemari?" teriaknya sedikit histeris.Serta merta, Dito melayang cepat dan kini duduk di sebelahku."Sela, kamu mengenalnya?" tanya ibu Dito padanya."Iya, Mama. Dia adalah mantan pacar Andika, Mama. Gadis yang selama tujuh tahun begitu posesif padanya. Waktu itu aku sering mencari tahu tentangnya, terutama dari media sosial. Karena Andika mengeluh soal kelakuannya yang posesif."Aku terperangah mendengar kata posesif. "Hah, apa? Siapa yang posesif!" sentakku tanpa sadar. Enak saja dia mengataiku sembarangan.Sela berkacak pinggang. Menatapku galak. "Apa namanya kalau bukan posesif, jelas-jelas sudah putus dan kamu masih mencarinya. Asal kamu tahu, akuu," ucapnya sambil menepuk dada. "adalah, tunangan Andika."Aku terhenyak di kursi. Menatap wanita bernama Sela dan nyonya rumah di hadapanku. Memandang mereka bergantian. Jadi, ini tunangan Andika? Cantik luar biasa dan dilihat dari penampilannya sepertinya berasal dari keluarga berada. Entah kenapa, dia masih mengangguku."Saya tak ingin berdebat. Saya datang hanya ingin mengembalikan barang Andika." Cepat-cepat kurapikan tas dan berdiri dari sofa. Diikuti oleh Dito. "Mohon maaf jika menganggu.""Hei, aku belum selesai ngomong!" Sela berteriak sekali lagi. Aku tak peduli, melangkah cepat menuju pintu."Dasar gadis nggak punya sopan santun, nyolong saja seenaknya. Mama lihat sendiri kan kelakuannya, pantas Andika meminta putus."Aku mengabaikan Sela. Terserah dia mau ngomong apa, nggak peduli. Kusentakkan pintu hingga terbuka, hampir saja menabrak sosok yang muncul dari teras. Aku menghindari tabrakan dan membentur daun pintu. Sambil meringis, kulihat Dito menembus pintu. Sosok di depan bergeming. Menatap tajam.Rasanya, setelah Mbah Uti, baru kali ini aku melihat sosok nenek renta. Dengan rambut putih dan wajah keriput. Memakai kebaya merah, giginya kuning sepertinya karena makan sesuatu. Matanya masih menatap tak berkedip."Eyang Buyut, nggak apa-apa? Apa wanita penganggu ini melukaimu?" Sela melesat dan kini berada di samping nenek tua. Bahkan ibu Andika pun kini berada di sana.Aku kesakitan, merasakan tanganku yang kebas kena pintu."Mya, kamu ndak apa-apa?" Dito bertanya kuatir. Aku hanya mengangguk kecil.Seakan seperti bisa melihat Dito, wanita itu memandangku lekat-lekat dan udara kosong di sampingku. Harusnya dia melihat udara kosong, bukan Dito. Jika matanya tidak fokus pada satu tempat."Wah-wah, rumahku kedatangan makluk agung rupanya," ucap nenek itu dengan suara yang serak."Eyang bicara sama siapa?" kali ini Ibu Dito yang bertanya. Matanya menatap sekeliling dengan takut-takut."Safitri, kamu harusnya bangga. Rumahku kedatangan ... dia." Nenek itu menunjuk tempat Dito berdiri.Aku meremas tangan kuatir. Melirik Dito yang melayang tenang di samping. Dia terlihat tak terpengaruh akan ucapan nenek tua."Maksud eyang?"Nenek yang di panggil Eyang tertawa terbahak-bahak, entah apanya yang lucu. Matanya yang kecil dengan kulit yang keriput, kini menatap Dito tak berkedip."Apa kabar, Den Mas? Adakah yang bisa saya bantu? Apa pun yang Den Mas kehendaki, saya siap membantu." Kali ini, Eyang bicara sambil membungkuk dalam-dalam.Tindakannya membuat Ibu Dito dan Sela terkaget-kaget. Keduanya yang tidak bisa melihat sosok Dito, hanya memandang udara kosong di hadapanku."Mya," ucap Dito sambil menoleh padaku. "Kalau sudah selesai urusanmu, ayo, kita pulang!"Aku mengangguk. "Ayo."Dito melayang, aku mengikutinya."Hei, dasar tidak punya sopan santun! Apa itu sikap seorang priyayi agung?" Nenek itu berteriak keras sekali. Namun, anehnya Dito tidak mengindahkannya. Bukankah hantu itu terkenal sebagai sosok yang berperilaku paling sopan. Entah kenapa dia terlihat sangat tidak menyukai sang nenek."Safitri, ambilkan aku bambu kuning yang sudah dipotong." Masih bisa kudengar perkataan nenek itu saat kami mencapai pintu gerbang. Dan, sialnya, gerbang terkunci rapat tanpa aku tahu bagaimana membukanya."Bagaimana ini?" gumamku pada Dito."Minggirlah, biar aku yang buka."Aku menyingkir, membiarkan Dito memeriksa kunci. Saat itulah kudengar teriakan nyaring dari belakang."Lihat ini, apakah kamu bisa menerimanya!"Aku menoleh, melihat Nenek itu melempar bambu kuning ke arah Dito. Reflek aku maju dan menangkis datangnya serangan. Bambu pertama berhasil kutepis, bambu ke dua mengenai mukaku."Myaa!" Gerbang menjeplak terbuka. Dito meraih mukaku yang merah. "Kamu ndak apa-apa?"Aku mengangguk. "Baik, aku baik. Ayo, kita pergi.""Tunggu, aku beri pelajaran sama mereka dulu."Berkata seperti itu, Dito melayang lalu ucapan keras terdengar darinya. "Aku ndak peduli, kamu mau apa Nenek Peyot. Bahkan mencari uang yang ndak halal sekali pun tapi, jangan sakiti kekasihku.""Hahaha ... makluk laknat tak tahu diri. Bercinta dengan manusia!" sembur sang nenek tua.Dito merentangkan tangan dan mengayunkannya naik turun. Tak lama, angin kencang datang seiring dengan cepatnya gerakan tangannya. Menggoyangkan dahan, pohon bamboo meliuk mengerikan. Bunyi teras yang hampir tercabut dari atap. Keadaan membuat panik Sela, Ibu Dito dan si nenek tua. Saat mereka sibuk menyelamatkan diri, Dito menuntunku keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro