Bab.3
Rika, dari dulu dia itu penakut tapi hobby sekali nonton film horor. Terkadang hal itu sangat menyebalkan, dia nekat nonton tapi merasa tegang lalu takut sendiri dan tidur minta ditemani sama aku.
"Film horor memacu andrenalin." Begitu jawaban dia tiap kali aku omelin. Pernah dulu jaman SMA kita camping ke gunung yang ternyata dekat sama makam yang menurut warga sekitar keramat. Semalaman dia kagak lepasin aku tidur sendiri, meluk erat sampai leherku pegel, anak ini pingin aku lepas ke kuburan sesekali, biar ada nyali.
Hari ini kita trip keluar kota, ke Jawa Timur tepatnya. Ada sepupu Rika bernama Santi akan menikah. Perjalanan kami tempuh menggunakan kereta selama delapan jam dan taraaa! genit sekali temanku itu. Oh My, dia mengedip pada setiap cowok kece yang mandangnya. Kalau kagak ingat dia itu sahabat , ingin kucolok itu mata.
"Genit amat sih lu!"tegurku jengkel. Setelah memergokinya menatap cowok kesekian yang melewati kami.
"Jih, biarin aja. Siapa suruh mandang gue?" Rika menjawab cuek.
Aku menggeleng dan mendesah pasrah. Menutup mata dan bersandar pada dinding kereta yang melaju cepat. Di dalam kereta suasana cenderung dingin, kurapatkan jaket untuk menghangatkan badam.
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan akhirnya kami tiba di stasiun kabupaten.
"Elu udah pernah kesini belum?" tanyaku pada Rika yang sedang mengagumi becak. Maklum di kota kami becak tidak lagi beroperasi.
" Belum, Mya bisa nggak kita naik ini ke rumah Santi?" Dan alamat kami sodorkan ketukang becak, ternyata rumah yang kami tuju sangat jauh di pedalaman.
Kami menempuh perjalanan dua jam dengan mobil kecil dan dilanjutkan dengan tiga pulih menit naik becak. Setelahnya menjelang Magrib kami baru tiba di alamat yang diberikan Santi.
Terbentang hamparan sawah hijau di depan kami, angin senja bertiup dingin membuat badan menggigil. Kami berjalan pelan melewati jalan setapak menuju rumah besar bergaya kuno dengan tiang tinggi dan dinding batu yang kokoh. Rumpun bambu tumbuh subur di sisi kanan jalan setapak yang kami lalui, menambah kesan gelap dan angker.
"Mya, aku takut!" Rika bergelayut di pundakku.
"Masih sore kali ...."
"Iya, tapi kok seram ya. Mana rumahnya gelap, banyak bambu dan itu apa? Pohon asem? Katanya kuntilanak suka nangkring di pohon asem." Rika menggerutu ketakutan.
"Lepasin tangan gue!" sentakku padanya.
"Kagak mau!"
Kami tiba di depan rumah dengan pintu dari kayu jati tua, aku mengetuk mengucapkan salam namun tidak seorangpun keluar.
"Assalamualaikum, permisi. Santi!" Aku terus berteriak dengan Rika menggelayut takut di lenganku. Matahari sudah nyaris tenggelam tertinggal hanya bias samar.
"Gimana ini kagak ada orang Mya."
"Sabar ... tunggu." Setelah mengetuk sepuluh menit tidak ada jawaban akhirnya kami menyerah. Berdiri membelakangi pintu, mata kami mengamati jalanan dari jauh. Berharap ada orang lewat untuk kami tanya.
"Ini kampung berpenghuni tidak sih?" bisik Rika takut-takut.
"Entahlah, Magrib mungkin makanya penduduk pada di dalam rumah." Aku mengambil ponsel dan memeriksa " Damn, baterai habis."
Tiba-tiba pintu terbuka di belakang kami, aku terseyum. Akhirnya ada juga penghuni rumah ini.
" Santi, lo lama ...."
"Aaah!" Rika menjerit kaget dan aku merasakan jantung berdebar tidak karuan. Di depan kami sesosok nenek tua dengan rambut putih awut-awutan menatap kami tajam. Bias malam dan ketakutan membuat kami lupa melihat, apakah kakinya menjejak tanah atau tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro