Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.28

Kemunculan Andika seperti menggali luka lama. Ada kesedihan yang kupendam dalam dada, kini menguar perlahan. Laki-laki itu, dulu pernah kucintai. Kami menjalani hubungan selama hampir tujuh tahun. Dia adalah orang yang menemani masa remajaku dan sekaligus penghancur hati.

Masih jelas terbayang, bagaimana suram hari-hariku saat dia memutuskan begitu saja hubungan kami. Tanpa penjelasan apa pun. Pergi tanpa jejak. Aku yang menahan rindu, mencarinya ke rumah besar milik orang tuanya. Dan, mendapati khabar jika dia bertunangan dengan gadis lain. Rasa nyeri, saat tahu dikhianati masih terasa hingga kini. Meski tak lagi sedalam dulu karena kini ada Dito, di sampingku.

Jika dibandingkan, memang tak bisa. Andika manusia normal yang bernapas. Kita bisa merasa hangat tubuh dan denyut nadinya. Sedangkan Dito, dia hantu. Tapi, tak peduli bagaimana pun keadaan Dito, aku mencintainya.

Rupanya, kegundahanku diperhatikan oleh Dito. Hantu tampan itu, sering kali menatapku dan bertanya pelan. Apakah aku sakit atau apa yang membuatku sedih. Tidak ingin membebaninya, aku hanya menggeleng. Aku juga nggak mau cerita masalah ini sama Rika. Sampai suatu malam, seminggu setelah pertemuanku dengan Andika di kantor, sebuah panggilan datang ke ponselku.

"Apa kabar, Mya?"

Aku mendesah, suaranya masih sama persis seperti dulu. "Ada apa, Pak? Bisa saya bantu?" Aku menjawab hati-hati.

Terdengar tawa riang tak lama, suara laki-laki itu kembali terdengar.

"Jangan mengejekku Mya, kamu jelas tahu kalau aku menelepon bukan urusan pekerjaan."

Aku mendesah. Berusaha melonggarkan dadaku yang tiba-tiba sesak. "Ada apa, Andika. Rasanya nggak ada hal penting sana kamu meneleponku!"

Ucapanku yang mendadak ketus sepertinya terdengar lucu. Entah bagian mana yang lucu tapi, kudengar dia tertawa terbahak-bahak. Sungguh rasanya menyebalkan.

"Kalau kamu telepon cuma mau ketawa, aku matiin!"

"Eiih, jangan Mya. Tunggu, aku ketawa karena akhirnya bisa dengar suaramu seperti dulu lagi. Akhirnya, Myaku kembali."

Apa? Myaku? Rasanya aku salah dengar atau salah mengerti sama ucapannya. Menahan geram aku kembali berkata ketus. "Myamu sudah mati, dua tahun lalu. Kalau kamu nggak ada hal yang penting lagi, aku matiin. Jangan meneponku lagi!"

Masih kudengar teriakannya yang memanggil namaku. Aku tak peduli. Kumatikan sambungan dengan kesal. Dan, ponsel di tangan kembali bergetar. Kuabaikan saja. Terserah dia mau apa tapi, dia salah kalau menganggap aku masih sama seperti dulu. Dia salah besar.

Saat aku berbalik, dua sosok di yang kulihat membuat kaget. Ada Dito dan Rika yang memandang dengan heran. Aduh, sial! Apa mereka dengar teriakanku?

"Mya, siapa dia?"

Pertanyaan datang bersamaan dari Dito mau pun Rika. Aku terdiam sesaat, mencoba mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan mereka. Sambil meggigit bibir bawah, aku berucap pelan. "Itu Andika, mantanku."

Rika yang mengenal Andika, terlihat kaget. Matanya membulat tak percaya. Sedangkan Dito, masih melayang tenang. Tak lama kudengar makian Rika menggema di udara.

"Dasar brengsek! Apa maunya itu orang telepon lagi? Kok bisa dia ada nomor ponsel lo?"

Aku mengangkat bahu. "Dia, klien baru di kantorku."

Lagi-lagi, jawabku membuat Rika mengomel. Kali ini lebih panjang. Berbagai umpatan dia tujukan untuk Andika. Aku tidak mendebatnya, bagaimana pun yang dilakukan sabahatku adalah untuk membela. Dia yang menemaniku saat aku terpuruk. Jadi, sudah sewajarnya jika dia mengamuk.

"Jadi, dia yang membuatmu terlihat galau beberapa hari ini?" Kali ini yang bertanya adalah Dito. Dan, hatiku seperti mencelot keluar saat mendengarnya. Aku menggeleng dengan cepat dan memandangnya. Tidak ingin dia salah paham.

"Nggak, aku nggak galau karena dia. Percaya padaku."

Bibir Dito menekuk, mungkin menyerupai senyum kecil. Dia melayang dan berdiri di sampingku. Seketika, hawa yang semula panas berubah segar saat dia ada.

"Galau ndak masalah, Mya. Manusiawi."

Pengertian yang dia tunjukkan membuatku malu. Sepertinya, Rika sadar ada Dito karena detik itu juga dia menutup mulut. Bola matanya yang besar menatapku. Ada banyak perkataan yang tak terucapkan tersirat di sana.

"Jangan sampai kehilangan Den Mas demi dia, Mya. Ingat itu!" Dengan peringatan terakhir, dia melesat meninggalkan aku dan Dito.

Kami berdiri bersisihan di teras. Mataku menatap langit malam yang ditaburi bintang. Berbagai pikiran berkecamuk. Tentang Dito, Rika dan Andika tentu saja. Tanpa sadar aku mendesah, berusaha melonggarkan paru-paruku yang terasa ketat.

"Mya, kamu sedih?"

Aku memalingkan wajah, dari langit malam ke sosok transparan di sampingku. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk.

"Maafkan aku, Dito."

"Bua tapa minta maaf, itu wajar kalau kedatangan dia buat kamu sedih. Kamu manusia normal, Mya."

Aku tertegun, pengertian yang diberikan Dito untukku seperti menyadarkan hati yang gundah. Aku tersenyum sambil menatapnya.

"Nggak, cukup sudah dulu dia sakiti aku. Dia harus tahu, Mya yang sekarang bukan lagi gadis bodoh yang pernah dia campakkan." Mengikuti dorongan hati, aku meraih lengan Dito yang dingin dan mengelusnya. "Aku punya kamu sekarang dan itu membuatku bersyukur."

Dito memandangku, seperti ada kerlip di bola matanya yang pudar. Wajah pucatnya tak terbaca.

"Benarkah? Tapi, aku hanya hantu. Kamu bisa memili--."

"Nggak, aku tahu kamu mau ngomong apa. Dan, jawabku tetap nggak. Aku bahagia bersamamu. Tak peduli meski dunia kita berbeda."

Dito tersenyum, mengulurkan tangan untuk membelai pipiku. Menyalurkan hawa dingin ke sekujur tubuh.

"Kamuy akin? Meski aku ndak bisa memberimu apa-apa."

Aku tertawa lirih. Timbul keinginan untuk menggodanya. "Siapa bilang kamu nggak bisa kasih aku apa-apa? Kamu kaya raya, seenggaknya kalau bersamamu, aku bisa hidup enak."

Mungkin, jika Dito masih hidup, dia akan mengembuskan napas panjang. Perkataanku memang terdengar konyol dan sepertinya dia tahu itu.

"Kalau kamu mau, seluruh warisanku bisa jadi milikmu."

Kali ini aku yang tercengang. Cepat-cepat aku menggeleng.

"Hei, aku becanda. Simpan warisanmu, oke? Aku baik-baik saja asal bersamamu."

Mungkin terdengar klise tapi apa yang aku ucapkan adalah kesungguhan. Entah bagaimana jalan hidupku kelak, tapi saat ini aku ingin berada di samping Dito. Kami bersisihan dalam diam, menikmati kebersamaan kami. Samar-samar dari dalam rumah terdengar perdebatan antara Rika dengan Darki. Sepertinya mereka berdebat soal makan malam. Sungguh pasangan yang lucu, bertengkar setiap waktu tapi terlihat jelas saling sayang satu sama lain.

Mendadak, bulu kudukku merinding. Seperti ada sesuatu menyentuh kulitku. Bisa kurasakan hawa dingin kini menyelimuti seluruh rumah. Aneh, malam ini tak ada hujan juga angin. Belum sempat kuutarakan keherananku pada Dito, kulihat dia melayang menjauh. Menuju pagar rumah.

Lima detik kemudian, dia melesat dan menyambar tubuhku.

"Awas, Mya!!"

Aku terjatuh dengan tubuh Dito yang dingin melingkupi tubuhku. Kepalaku terbentur tanah, keras sekali. Saat aku belum sadar apa yang terjadi, terdengar suara ledakan. Kaca depan rumah kami pecah berekeping-keping seperti ada yang menembak.

"Ada apa ini?"

Aku tertegun, Dito menarik tubuhku. Dan, mataku bertatapan dengan Rika dan Darki yang terbelalak memandang serpihan kaca.

"Mya, ada apa? Lo nggak apa-apa?" tanya Rika gemetar.

Aky menggeleng dan melirik Dito. Kulihat dia memungut sesuatu dari tanah. Tak lama suaranya yang lembut terdengar nyaring di udara.

"Ada seseorang mengirim santet ke rumah ini. Entah untuk siapa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro