Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.27


Setelah banyak peristiwa datang silih berganti, menyenangkan bisa menikmati liburan. Rika mengajak kami bermain di pantai, tentu saja setelah Darki datang. Tanpa laki-laki itu, siapa yang akan menyupiri kami.

Darki yang merasa berhutang budi dengan Dito, menyatakan secara terang-terangan akan selalu siap menjadi pesuruh, asisten atau apa pun yang dibutuhkan Dito. Rika memakinya penjilat tapi dia tak peduli.

"Kamu yakin, nggak apa-apa kalau ke pantai? Takutnya matahari yang menyengat membuatmu sakit." Aku menyatakan keberatan di malam sebelum keberangkatan kami.

Dito mengangguk. "Ndak, masalah. Ada kamu dan payung itu."

Aku tersipu malu saat Dito menatapku dengan seulas senyum tercipta di bibirnya. Samar tapi bisa kulihat itu nyata.

"Uhui, bagus Den Mas. Pepet terus, jangan kasih kendor," ucap Darki tepat di samping kami. Dan, detik itu juga dia menjerit saat sebuah pukulan melayang di belakang kepalanya.

"Lo, ikut campur aja urusan percintaan orang."

"Wew, sakit, Mbak."

"Biar, aja. Sini, gue tonjok yang lebih kenceng."

"Jangan gitu, dong, Mbak. Aku lemah saat berhadapan denganmu. Dengan cinta."

"Ngomong lagi, lo."

Keduanya berdebat sambil melangkah menuju ruang depan. Meninggalkan aku dan Dito berdua di meja makan. Perkataan keduanya membuatku berpikir, mungkinkah ada hubungan cinta antara manusia dan hantu? Bagaimana tanggapan dan pikiran orang lain kalau ada yang tahu. Masa depan seperti apa yang kami punya? Apakah aku dengan rambut memutih, bersama Dito yang tetap tampan memikat seperti sekarang? Bagaimana setelah aku meninggal dan ternyata Dito tidak juga naik?

Seakan tahu dengan segala gundahku, Dito melayang dan duduk di sampingku. Rasa dingin merayapi tanganku saat kurasakan jemarinya bergerak untuk menangkup jemari tanganku.

Seolah mengerti apa yang aku pikirkan, Dito berucap pelan. "Jangan memikirkan hal yang belum terjadi, Mya. Kita nikmati hari ini. Seperti halnya mau, perkara jodoh pun biar yang Maha Kuasa yang mengatur."

Aku mengangguk, merasa dadaku sesak tapi tak berdaya. Apa yang dikatakan Dito ada benarnya, kita yang mampu berserah.

"Jadi, yakin besok mau ke pantai?" tanyaku sekali lagi, mengalihkan perhatian.

Dito mengangguk.

"Aku ke belakang, cuci tikar buat dibawa besok."

Kutinggalkan Dito seorang diri menuju halaman belakang. Kugelar tikar plastik dan menyalakan air, mulai menggosok dengan sabun untuk menghilangkan noda. Aku berjengit kaget saat kudengar suara bisikan.

"Aku ikuut ...."

Kunti berbaju abu-abu ikut berjongkok di sampingku.

"Ikut kemana?"

"Hei, bukannya kalian mau ke pantai besok?"

"Trus?"

"Ya, masa gue ditinggal sendiri, sih?"

Selesai menyikat dan membilas, kubawa tikar menuju tempat jemuran dan menjemur di atas seutas tali. Aku menepuk-nepuk permukaan untuk menghilangkan air.

"Mya, jangan cuekin gue, dong." Kunti menjerit manja.

Huft, hantu aneh. Dikira aku emaknya apa.

"Nggak boleh ikut, mikirin Dito aja udah bikin gue kuatir, musti bawa lo lagi."

"Nah, kaaan. Den Mas ikut, pokoknya gue nggak peduli. Kemana pun Den Mas pergi, gue ikuut!" teriaknya lebih histeris.

Aku menatapnya sambil berkacak pinggang. "Lo posesif amat ama dia."

Entah apa yang lucu, Kunti terkikik dan mengibas-kibaskan rambutnya yang Panjang. "Tentu dong, kali aja, Den Mas merasa luluh sama perhatian gue."

Aku mengangkat bahu dan melangkah meninggalkannya. Percuma berdebat sama si Kunti.

"Mya, nggak sopan nih, ninggalin gue. Besok gue ikut, ya?"

Sebelum menutup pintu belakang, aku menatap wajah Kunti yang mencebik dan berkata pelan. "Lili, gue kasih tahu rahasia, ya?"

"Ada apa? Tentang Den Mas?" tanyanya bersemangat.

Aku mengangguk. "Iya, ini rahasia penting jadi lo harus jaga bener-bener."

Dia mengangguk antusias.

Aku berdehem sebelum bicara. "Gue sama Dito ... pacaran. Bye!"

Tak lama, teriakan yang membahana terdengar bahkan setelah pintu menutup. Berbagai makian dan ancaman dilontarkan Lili untukku. Lalu, bunyi benda-benda dibanting terdengar nyaring, entah apa yang dia lempar.

Dito menantapku dengan sebelah alis terangkat. Bibirnya melengkung membentuk kata. "Kamu nakal."

***

Kami pergi sepagi mungkin ke Pantai, saat mencapai lokasi, matahari belum menyengat. Fajar yang menimpa air membuatnya berkilauan bagaikan emas. Kami duduk di atas tikar dengan berbagai perbekalan berjajar rapi di atas tikar. Sebuah paying kain, membuka di sebelahku. Untuk berjaga-jaga jika Dito kelelahan. Namun, nyatanya kulihat dia terlihat bahagia, melangkah di sepanjang pantai dengan kucing hitam di sampingnya. Tentu saja, tidak ada yang bisa melihat selain aku.

Aku manatap lautan dengan ombak yang bergulung. Mataku menyipit memandang burung-burung yang terbang beriringan. Entah kenapa, pikiranku melayang pada masa lalu. Dulu, saat aku dan Andika masih bersama, pria itu sering mengajakku ke pantai. Hanya sekadar untuk menikmati es kelapa mau pun jagung bakar. Kami menaiki mobilnya, hanya berdua, dan menghabiskan waktu seharian.

Itu dulu ... kini ada Dito. Memikirkan tentang Andika tak lagi membuatku kecewa. Rasa sakit hati yang mengendap sekian lama, ini menguap bersama waktu. Memang benar apa yang dikatakan orang, jika patah hati hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan cinta yang baru.

Dilingkupi perasaan cinta yang meluap-luap, aku bangkit dari atas tikar dan berlari menghampiri Dito. Kami melangkah bersisihan dengan kucing hitam berjalan pongah di depan kami.

Sementara Rika dan Darki, seperti biasanya, terlibat cek-cok tiada henti. Aku yakin, hanya tinggal waktu yang membuat keduanya menyadari perasaan masing-masing.

***

Senin yang sibuk kembali datang, seperti biasanya, Dito mengantarku ke kantor. Setelah aku membuka computer dan sibuk menerima telepon, dia pergi entah kemana. Dari ceritanya, aku dengar kalau banyak teman-temannya di sini. Dari mulai hantu jaman Belanda sampai hantu modern pun ada.

Suara jeritan Yanti, teman sekantorku, membuyarkan lamunanku tentang Dito. Gadis berkulit hitam manis dengan rambut ikal itu menubruk bahuku sebelum berbisik.

"Kantor kita dapat klien besar. Seorang promotor artis. Dan, kata manajer kita, sang promotor akan datang hari ini."

Aku mengangguk tanpa menoleh. "Bagus, kalau gitu. Terus, kenapa lo girang banget?"

Yanti menegakkan tubuh. "Lo nggak denger gossip tentang dia?"

Aku mengangkat bahu tak peduli, asyik membaca berbagai chat dari klien yang masuk ke layer komputerku.

"Dia itu masih muda dan tampan, Myaa. Kombinasi yang luar biasa, bukan?"

Aku mendengkus kecil dan melihat sikapku yang dingin, Yanti pergi dengan kecewa. Bukan kekecewaan yang tersimpan lama, karena begitu dia berpapasan dengan pegawai perempuan yang lain, mereka mulai menggosip.

Setelah jam kemudian, manajer mengumumkan sesuatu pada kami. Jika, sang promotor akan datang. Dan, dia hanya meminta kami bersikap ramah. Itu saja.

Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai tidak memperhatikan saat sebuah mobil mewah parkir di halaman kantor. Tak lama terdengar desahan mendamba dari para pegawai perempuan. Aku masih menunduk di atas catatanku.

Tak lama terdengar suara manajer menggelegar di dekat pintu. "Silahkan masuk, Pak. Dan, selamat datang di kantor kami yang kecil."

Mengabaikan rasa enggan, aku meletakkan catatan dan bangkit dari kursi. Untuk memandang sesosok laki-laki muda yang tersenyum di samping manajer kami.

Aku terhenyak kaget, sama sekali tidak menyangka akan bertemu dia di sini. Laki-laki itu terlihat tenang. Sepertinya, pertemuan kami setelah hampir dua tahun tidak berjumpa, tidak begitu mempengaruhinya.

Melangkah lurus dan mengulurkan tangannya, Andika memandang dan menyebut namaku pelan. "Apa kabar, Mya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro