Bab.26
Tubuhku melayang lima sentimeter dari tanah. Seperti ada yang mengangkat ke udara, kaki tak berpijak di bumi. Dengan tangan terentang dan tongkat tergenggam erat, aku meloncat ke tanah. Tubuhku terasa ringan luar biasa dan pandanganku menjadi jernih tak terkira. Ada banyak hal yang kulihat melebihi mata biasa.
Pak Tono, yang semula adalah manusia biasa bagiku, kini terlihat mengerikan dengan wujud tak berbentuk. Separuh wajahnya menghitam dan ada semacam tanduk tumbuh di kepalanya. Untuk sang dukun sendiri, lebih mengerikan lagi. Tubuhnya bopeng-bopeng dan seperti banyak keluar ulat-ulat besar dari sana. Ugh ... benar-benar membuat mual.
"Fokus, Mya." Suara Dito bergema di kepalaku. Ah, ya, kini kami sudah menyatu. Sejenak aku lupa dari mana asalnya kekuatan yang aku dapatkan.
"Mbah, apa yang terjadi sama gadis itu!" Pak Tono berteriak menunjuk padaku.
Kulihat Si Dukun meludah ke lantai, matanya menyipit memandang kami. "Hantu ningrat itu masuk ke dalam tubuhnya. Kamu minggir Tono, suruh anak buahmu bersiap-siap. Kita perang!"
"Mya! Hati-hati." Sekali lagi suara Dito terdengar.
Aku mengangguk dan mengacungkan tongkat. Saat makluk-makluk melata itu menyerang kami, bisa kurasakan tanganku seolah bergerak sendiri. Menebas, memukul, menghantam, satu per satu kubuat mereka menjerit. Makluk-makluk itu menghilang jika kutebas kepala mereka dengan tongkat.
Tersisa kini makluk paling besar. Pak Tono berdiri mengelilingi kami dengan beberapa anaka buahnya. Sementar Si Dukun kini duduk bersila di tanah. Sepertinya dia sedang membaca mantra-mantra pemanggil makluk halus. Karena tak lama kemudian, udara menjadi pekat oleh bau amis.
Dito seperti membawaku melayang hingga nyaris menyentuh langit-langit. Dia menggerakkan tanganku hingga menyerupai orang menari dengan tongkat di tangan. Dari dalam kepalaku muncul pula mantra-mantra yang diucapkan Dito. Tak lama terdengar ledakan di tempat dukun itu duduk dan tubuhnya terpelanting ke belakang. Ada api yang entah muncul dari mana membakar tongkatnya dan membuat Si Dukun berteriak.
"Panaas! Panaaas!"
Dia bergulingan di lantai dan membentur-benturkan kepalanya. Sementara makluk paling besar kini makin membesar dengan badan menembus atap rumah.
"Aku akan melepaskanmu, Mya. Hati-hati dengan para tukang pukul, mereka akan menyerangmu segera setelah aku keluar." Tak lama tubuhku kembali menggelenyar, sesuatu yang dingin seperti ditarik keluar dari kepalaku. "Aku akan memusnahkan makluk itu!" Kudengar suara Dito sebelum kulihat bayangannya menarik makluk itu ke atas dan menghilang di balik atap.
Aku terjatuh dan terengah di lantai. Si Dukun masih berteriak kesakitan. Melihatku yang kini seakan terduduk lemah, Pak Tono berteriak keras.
"Hajar diaaa!Habisi!"
Para preman itu berlarian untuk menyerang. Aku acungkan tongkat dan bersiap-siap menghadapi mereka. Kuhindari tendangan ganas yang diarahkan ke perutku dan berkelit akan sebuah tamparan yang nyaris mengenai sisi kepala kanan. Sebuah tekelan entah kaki siapa membuatku limbung dan kurasakan tendangan keras mengenai perut. Ugh ... sakit sekali. Saat aku bersiap untuk serangan berikutnya, dari arah depan dan belakang rumah terdengar teriakan.
"Berhenti! Polisi!"
Serta merta, hiruk pikuk terjadi saat para preman itu berusaha melarikan diri dari kepungan polisi. Aku kembali terjatuh ke lantai untuk merasakan perutku yang kesakitan karena tendangan.
"Mya, kamu nggak apa-apa?" Suara Rika menyerbu pendengaran dan lengannya merangkulku erat sambil menangis. "Allhamdullilah, kamu baik-baik saja, Mya. Kami berusaha masuk tapi banyak halangan. Entah bagaimana, susah sekali untuk memanjat pagar memasuki rumah ini."
Aku membalas pelukan Rika. "Iya, rumah ini diberi pagar gaib."
"Mbak Mya, apa kamu baik-baik saja? Di mana Den Mas?" Darki berjongkok kuatir di depanku.
Aku menggeleng. "Dito melawan makluk paling kuat dan sampai sekarang belum kembali."
"Mudah-mudahan, Den Mas baik-baik saja," bisik Rika yang diberi anggukan oleh Darki.
Hatiku rasanya nyeri, sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kesakitan fisik. Memikirkan Dito membuatku takut, semoga dia cepat kembali.
Dalam waktu satu jam, polisi menggeledah seisi rumah. Ternyata Pak Tono menyembunyikan para gadis muda di bawah tanah. Saat ditemukan, ada sekitar enam orang dengan kondisi mengenaskan. Baju compang-camping dan kurus. Dua orang di antaranya bahkan mencercau tak jelas.
Darki menemukan adiknya. Mereka berpelukan sambil bertangisan. Gadis yang malang, ada banyak luka-luka di tubuhnya.
Saat polisi memeriksa para pekerja konveksi, kulihat bayangan datang dari arah langit dan berdiri di sampingku. Kelegaan membanjiriku seketika. Dito selamat tak kurang suatu apa pun.
"Kamu kembali?" Aku menatapnya dan serta merta memeluknya erat. Bodo amat dengan pandangan orang-orang yang menganggapku gila. Dito kembali itu yang terpenting.
"Aku sudah kembali, jangan bersedih," bisik Dito di atas kepalaku. Rasa dingin menguasai tubuhku saat kami berpelukan. Aneh bukan, makin lama Dito makin kelihatan padat. Tubuhnya kini bahkan sudah bisa disentuh, tidak lagi seperti menembus sesuatu yang transparan.
Kami semua dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dari polisi juga aku mendapat kabar jika Pak Tono memelihara jin demi kekayaan. Dan tumbalnya adalah para gadis muda untuk menjadi teman tidur jin peliharaan.
Si Dukun menjadi gila, berteriak dan ketakutan sendiri. Pak Tono masuk penjara. Darki pulang kampung mengantar adiknya dan berjanji akan secepatnya datang kembali.
"Jika boleh, aku ingin mengabdikan hidupku dengan kalian," ucap Darki sebelum pergi naik bus yang membawanya ke kampung. "Aku akan kembali, segera."
Keadaan kembali normal. Setelah pulih dari luka-luka, aku kerja seperti biasanya. Rika kembali sibuk mengelola toko. Dan dia bergumam akan mencari sopir pengganti. Meski sering kali kupergoki, matanya menatap layar ponsel. Aku tahu siapa yang diharapkan akan menghubunginya, kedekatan mereka beberapa hari ini, sedikit banyak mempengaruhi Rika.
Lili, Kunti berbaju kelabu di belakang, masih sama berisiknya seperti hari-hari kemarin. Dia kini bahkan membacakan banyak puisi untuk Dito. Entah dari mana dia mendapatkannya. Suaranya yang cempreng akan terdiam jika Dito mengangkat tangan dan memberi tanda dia untuk berhenti. Aku tertawa dalam hati melihat tingkahnya, cinta memang lucu.
Bicara soal cinta, entah kenapa aku kini sering kali memperhatikan Dito dalam diam. Saat dia berdiri berdesakan di busway denganku dan lengannya memeluk bahu. Atau saat dia duduk di sofa dengan Boy, melingkar di sampingnya. Aku juga sangat suka melihatnya membaca buku. Bagaimana caranya? Seperti orang kebanyakan, hanya saja bukunya membalik sendiri dari satu halaman ke halaman lain. Apakah aku normal jika kukatakan aku jatuh cinta padanya?
Rika yang menyadari kegelisahanku, berbisik suatu malam saat kami sedang berdua di kamar. "Boleh saja jatuh cinta dengan Dito. Bagaimana pun dia orang, eih hantu laki-laki yang baik. Tapi ingat Mya, dunia kalian berbeda. Kamu bisa menua dan dia akan tetap seperti sekarang."
Aku merenung, apa yang dikatakan Rika ada benarnya juga. Perasaanku kacau balau. Dan makin bertambah galau saat paginya kulihat Dito berdiri di depan pintu kamarku dengan setangkai bunga di tangannya.
"Pagi, Mya. Ini bunga untukmu." Dia mengulurkan setangkai mawar yang entah didapat dari mana.
Aku menerima dan menghidunya. "Cantik dan wangi, terima kasih."
Dito tersenyum. "Cantik bunga tidak secantik kamu."
Aku terperangah lalu tersipu. Tangan Dito terulur untuk mengusap pipiku. Pelan tapi pasti Dito mendekat dan tanpa kusangka mengecup bibirku dengan bibirnya. Oh May God! Ada apa ini? Aku hanya bisa mematung saat kurasakan bibir dinginnya menyentuh bibirku.
"Aku sayang kamu, Mya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro