Bab.25
Sesaat, napasku tersengal dan dada terasa nyeri. Kuatnya cengkeraman si Genderuwo terasa menyakitkan.
Dito melayang di depanku. Terdengar auman Genderuwo saat dia melihat Dito. Lengannya menjulur panjang sekali dengan lidah menjulur keluar dan mengeluarkan api. Tubuhku terdorong ke samping saat Dito menggunakan tangannya untuk menyingkirkanku dan maju melayang menyongsong maut.
Aku hanya bisa melihat dengan terperangah saat sinar kemerahan keluar dari tubuh Dito dan menelan api yang membakarnya. Sesaat tenggorokanku tercekat, menggenggam erat tongkat di tangan, kulihat Dito menghilang diselubungi asap dan api. Tangan panjang Genderuwo seperti mencengkeramnya.
Aku bersiap untuk melompat dan menolongnya tatkala asap dan api tersibak dengan Dito mencengkeram lengan Genderuwo dan membuat mahkluk besar mengerikan itu melolong., Iya, melolong jika mendengar jeritan panjangnya.
"Mya, tongkat!"
Aku tersadar, saat Dito memanggilku. Dengan asap menyelubungi ruangan dan membuat bau busuk menguar, aku berguling dan meloncat ke sisi Dito.
"Dalam hitungan ke tiga, tebas lehernya!" Sekali lagi Dito mengarahkanku.
Aku mengangguk penuh tekad, memandang terpana pada mahkluk yang kini makin lama makin mengecil dalam cengkeraman Dito. Saat jarak hanya tinggal beberapa langkah, Dito berteriak nyaring.
"Sekarang!"
Aku bergerak ke samping, mengucapkan doa pada Tuhan Yang Maha Kuasa, menebas leher Genderuwo hinggal terpotong. Seketika, sesuatu yang amis dan busuk mengaur dari lehernya yang seperti kulit pohona tua.
"Tusuk!"
Lagi-lagi aku mengikuti perintah Dito, berucap Basmallah dan menusuk leher Genderuwo. Perlahan Dito melepaskan cengkeramannya. Kami melihat dalam diam saat tubuh Genderuwo secara perlahan menguap di udara hingga tak tersisa.
Gemetar ketakutan aku ambruk ke lantai. Mengatur napas dan dadaku yang bergemuruh.
"Kamu ndak apa-apa, Mya?"
Suara Dito begitu dekat denganku, aku mendongak dan wajahnya hanya berjarak beberapa inci. Aroma cendana dari kayu menguar perlahan menggantikan bau busuk.
"Aku baik-baik saja."
"Telepon Rika dan Darki, suruh mereka menyusup. Aku yakin sebentar lagi akan rusuh."
Aku mengangguk, mengambil ponsel yang tergantung di paha dan mulai memencet nomor Rika.
"Buruan datang, jangan lupa panggil polisi."
Rika hanya menyahut singkat dan memutuskan hubungan.
"Mya, kamu bersiap-siap. Ada yang datang," Dito berucap pelan.
Aku mengangguk dan berdiri di sampingnya. Menggenggam tongkat di tangan. Kami menunggu dengan antisipasi tinggi ke arah pintu dan suara-suara di luar ruangan yang teredam. Tak lama, pintu menjeplak terbuka.
Masuk Pak Tono dengan wajah yang menyiratkan kegeraman. Laki-laki itu terlihat marah. Di sampingnya seorang laki-laki tua memegang tongkat. Di belakang mereka ada beberapa laki-laki berpakaian safari.
"Wanita kurang ajar! Berani sekali mengobar-abrik rumahku!" Pak Tono menghardik marah.
Aku tersenyum kecil membalasnya. "Ada yang busuk di rumah ini dan aku ingin tahu apa yang busuk ini. Kemana perginya wanita-wanita muda yang kalian sekap!"
Pak Tono memandangku lekat-lekat, pada tongkat di tangan dan mungkin dia juga bisa menciuma aroma cendana yang menggantikan bau busuk di kamar ini. Kulihat dia memejamkan mata, mengernyit dan memegang dada. Terlihat ngos-ngosan seperti orang yang baru saja berlari jauh dan terduduk di lantai.
"Mbah, dia hilang?" tanyanya serak entah pada siapa.
"Dia hilang, wanita itu dan makhluk di sampingnya yang membuang peliharaanmu." Seorang laki-laki tua bertongkat, memandang tajam pada kami dengan matanya yang kecil. Dia menyeringai atau lebih tepatnya seperti tersenyum tak terduga melihatku dan Dito.
"Selamat datang di kota besar, Raden. Jika tak salah mengira, tentu Anda seorang ningrat?" Laki-laki tua itu bicara dengan kidmat dan takzim ke arah Dito.
Aku melirik Dito dan kulihat dia tak bereaksi. Masih melayang sama dengan mata menatap Pak Tono dan laki-laki tua yang sepertinya juga bisa melihatnya.
"Saya merasa tersangjung bisa mengenal seseorang seperti, Anda."
Dito melayang maju selangkah. "Seseorang sepertiku bagaimana laki-laki tua? Aku hanya hantu biasa seperti lainnya." Suara Dito terdengar jernih.
Keterkejuatn terlintas di wajah laki-laki bertingkat. Sementara Pak Tono masih terduduk di lantai. Suara langkah kaki terdengar nyaring dan tak lama datang beberapa tukang pukul berpakaian hitam. Tanpa sadar, kupegang erat tongkat di tanganku.
"Jangan merendah Raden, saya tahu betapa kuatnya Anda. Yang ingin saya tawarkan adalah kesempatan untuk mendapatkan dunia yang lebih baik. Tentu saja jika Anda bekerja sama dengan saya."
Aku menggeram marah, "Dasar duku tak tahu diri, apa maksudmu mengajak-ajak Dito seperti itu. Kamu pikir semua hantu itu budaaak!"
Mata laki-laki itu menyipit. "Diam kamu, gadis muda. Jika semua selesai, lihat bagaimana aku membuat perhitungan denganmu. Tentu saja tidak langsung membunuhmu tapi melakukan sesuatu yang lain yang tentu akan kamu nikmati juga."
Mesum! Sungguh laki-laki mesum!
Seakan mengerti kemarahanku, Dito mundur kembali dan meletakkan sebelah tangannya di punggungku. Rasa dingin yang menenangkan menguasaiku seketika. Bagaikan gelenyar yang membuat hati tenang.
Tiba-tiba terdengar tawa membahana dari mulut laki-laki bertongkat.
"Hahaha ... jadi begitu? Seorang ningrat rela turun gunung demi gadis biasa? Bukankah ini menarik?" Laki-laki itu menatap Pak Tono yang kini bangkit dari lantai. "Tono, minggirlah. Biar aku yang hadapi ini bersama anak buahmu. Siapkan kemenyan dan kembang kantil. Sekarang!"
Dengan tertatih Pak Tono pergi meninggalkan kami. Laki-laki tua itu mundur, diikuti oleh anak buah yang lain.
"Silahkan kemari, Raden. Mari kita bertarung secara jantan. Untuk membuktikan siapa yang lebih unggul."
Bersama Dito yang melayang di sampingku, kami melangkah menuju ruang tengah yang luas. Mau tak mau aku merasa tenggorokanku tercekat. Aku hanya berdua dengan Dito sementara di hadapan kami ada sedikitnya tujuh laki-laki dengan penampilan sangar yang sepertinya siap menghabisi kami.
Laki-laki tua itu mengacungkan tongkat ke arah kami. "Ah ya, sebelum pertarungan ini dimulai. Aku ingin mengingatkan satu hal, Raden dan kamu gadis cantik. Kalau aku memenangkan pertarungan ini, kalian berdua akan menjadi milikku selamanya. Hahaha ..."
Seiring dengan suara tawanya yang menghilang. Bau kemenyan bercampur bunga kantil memenuhi ruangan. Aku merapal doa dalam hati. Aku hanya gadis biasa yang tak berilmu, yang aku punya hanya Tuhan Yang Maha Kuasa, bersamaku. Kurasakan tangan Dito mengelus lenganku. Aku menoleh menatapnya.
"Mya, jangan takut. Ada aku," ucapnya tenang.
Aku mengangguk, "Iya, hanya kuatir," ucapku dengan senyum kecut.
Dito menarikku mendekat dan yang keheranan memandang wajah tampannya yang samar-samar.
"Dito, ada apa?"
"Ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini dengan cepat."
"Apa?" tanyaku penasaran, sementara mantra-matra terdengar makin lama makin jelas dan cepat dari mulut si dukun.
"Aku akan memasuki tubuhmu."
"Apa?" tanyaku tercengang.
"Dengan begitu, kekuatan kita akan bisa disatukan. Kamu dengan fisikmu, aku dengan kekuatanku."
Aku tercekat dan kebingungan, menatap Dito. Saran yang dia berikan sungguh tak masuk akal. Dia akan memasuki tubuhku? Apakah bisa seperti itu?
"Apa bisa begitu?" tanyaku takut-takut.
Dito mengangguk. "Bisa dan aman untuk kamu. Aku jamin."
Belum sempat aku menjawab, rumah bergetar hebat. Lagi-lagi aroma busuk tercium kuat dari ruangan dan tak lama, muncul seekor makluk melata. Bertubuh ular bersisik dengan wajah yang hanya berupa dua mata kecil, selebihnya tertutup rambut panjang awut-awutan. Di belakangnya, ada sekita tujuh atau delapan makluk serupa hanya dalam wujud yang lebih kecil.
Sial! Apa aku dipaksa untuk menghadapi segerombolan setan jahat?
Mendadak, kurasakan sesuatu yang dingin masuk dari dalam kepalaku. Aku memejamkan mata, menikmati sensasi aneh yang kurasakan. Bulu kudukku meremang, napasku bagai tersedot keluar dan tak lama kemudian aku merasakan, Den Mas Dito ada bersamaku. Di sini, di dalam tubuhku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro