Bab.23
"Kemungkinan, Ponsel Mya akan disita. Alasan demi kenyamanan bekerja," ucap Darki dengan tubuh bersandar di pintu mobil. Aku mengangguk, menerima penjelasannya. Ransel hitam di punggung denga nisi dompet, beberapa baju dan payung.
"Untung lo libur panjang, kalau nggak susah juga kita mau selidiki." Kali ini Rika yang bicara. Matanya celingak-celinguk memandang jalanan. "Kemana sih itu orang, nglamar jadi sopir di hari pertama kerja malah telat!" gerutunya cukup keras buat didengar kami.
Kami sudah siap untuk menyamar ke rumah konveksi dengan aku akan melamar menjadi pegawai obras. Sementara Mya, akan menggunakan koneksinya untuk membantuku. Dito, ada di dalam payung. Terdiam di sana sampai kami tiba di rumah itu.
"Rika, hampir jam sembilan. Kemana sopir lo?"
Mendengar pertanyaanku, Rika mendengkus kasar. "Kalau gue bisa setir, udah gue bawa sendiri mobil ini."
Darki, yang semula berdiri di dekat pintu, mendadak berdiri menghampiri Rika. Sesaat wajahnya terlihat kikuk sebelum bicara. "Anu, Rika, eh ...."
"Apa lo?" bentak Rika kasar. Huft, cewek itu, entah kenapa kalau sama Darki bawaannya ngomel melulu.
"Jangan galak-galak napa, ntar hilang cakepnya," ucap Darki sambil mengedipkan sebelah mata dan saat itu juga dia menunduk saat Rika melotot. "Aku, mau menawarkan diri menjadi sopir."
Rika memandangnya galak. "Emang lo bisa?"
"Jelaslah," jawab Darki sambil menepuk dada. "Aku sopir selama bertahun-tahun."
Rika memandangku untuk meminta pendapat, aku mengangkat bahu dan mengucap, terserah. Kulihat kebimbangan di wajahnya sebelum akhirnya menyerahkan kunci mobil pada Darki.
"Ini mobil Dito, awas kalau sampai lecet atau rusak. Tanggung jawab!" ancamnya pada Darki yang kini menghormat padanya.
"Ahsiap!"
Mobil melaju meninggalkan rumah, terdengar teriakan memekakan telinga dari Lili di belakang rumah. Rupanya dia tidak senang ditinggal sendiri. Amukannya terasa nyaring dan gerakannya menjatuhkan barang-barang di belakang rumah. Pasti Rika akan mengamuk saat pulang nanti.
Aku menahan napas saat tiba di depan rumah, aroma busuk membuat mual. Kudekap ransel di dada dan merapikan letak kacamata. Darki memakai topi untuk menyembunyikan wajah sementara Rika masuk ke dalam. Bayangan hitam membumbung tinggi ke udara, terlihat jelas bahkan saat siang begini. Aku menajamkan mata, berusaha menembus kacamata yang kupakai untuk melihat bentuk dari bayangan hitam. Nyatanya, hanya terlihat asap pekat.
Tak lama Rika keluar dari dalam rumah dan melangkah ke arah mobil. Matanya memandangku dan berucapa. "Ayo, Mya. Mereka setuju buat terima lo."
Aku mengangguk, membuka pintu mobil dan melangkah beriringan dengan Rika. "Ingat tentang ponsel cadangan? Aman kan?" tanya Rika kuatir.
"Aman," jawabku pelan. Mengingat tentang ponsel kecil yang kukaitkan di paha. Aku yakin mereka hanya menggeledah ransel dan sudah kusiapkan ponsel lain untuk mereka.
Rika membawaku melewati gerbang yang dijaga empat orang bertubuh gempal. Sesaat setelah melangkah masuk, ranselku bergetar. Ada apa? Apakah Dito juga merasakan sesuatu karena bau kemeyan dibakar menyebar di seantero rumah dan membuatku nyaris muntah karena mual.
"Tahan, cuma bau kemenyan di sini. Di bagian pekerja kagak," bisik Mya saat kami melepas alas kaki menuju ruang tamu.
"Pak Tono," sapan Rika pada lelaki perlente yang duduk di atas sofa. Berpenampilan rapi dengan kemeja dan celana panjang. Ada ipad keluaran terbaru di tangannya. Dia mendongak dan menatapku sambil mengembangkan senyum.
"Jadi ini temanmu, Rika?"
"Iya, Pak. Namanya Mya dan akan kerja di sini."
Aku mengangguk, memegang kacamata agar tidak jatuh. Pak Tono berdiri dari sofa dan mengampiriku. Matanya jelalatan menatap kurang ajar dari atas ke bawah. Kalau tidak ingat sedang menyamar, pingin rasanya kucolok itu mata.
"Cantik dan muda, aku suka ini," ucapnya mesum lalu berbalik memandang Rika. "Baiklah Rika, antar temanmu ke mess pegawai agar bisa langsung kerja."
"Makasih, Pak." Rika tersenyum senang dengan tangan meraih lengan dan membimbingku keluar. Baru tiga langkah kami berjalan kudengar suara Pak Tono memanggil.
"Mya, tunggu."
Aku berbalik dan laki-laki itu kini hanya berjarak tiga langkah dari hadapan kami.
"Iya, Pak?"
Dia tersenyum, mengulurkan tangan. Secara reflek aku mundur.
"Jangan takut, aku hanya ingin membersihkan debu di bahumu." Pak Tono menarik tangannyua dengan mata masih bersinar jahil. Aku melirik Rika yang terlihat marah. Menggenggam tangannya untuk menenangkannya. Aku tahu, Rika tidak menyukai Pak Tono tapi kami sedang menyamar jadi harus menahan diri.
Seorang laki-laki berpakaian safari membawa kami ke arah bangunan di samping rumah utama. Rumah kokoh dua lantai dengan pintu gerbang dari besi hitam.
"Hanya yang kerja yang boleh masuk," ucap laki-laki itu.
Rika mengangguk, melepas tangan dan memelukku sambil berbisik. "Hati-hati."
Aku tersenyum menenangkannya, mendekap ransel di dada. Ada Dito di sana. Sementara aku digiring masuk, Rika mematung menatap kepergianku.
Benar dugaan kami, ada pengecekana barang di pintu gerbang. Ponselku disita, saat payung juga akan diambil aku menolak dan mengatakan itu adalah barang peninggalan orang tua. Aku nggak akan bisa tidur tanpa payung itu. Si pemeriksa mengembalikan payung ke dalam tas tanpa banyak pertanyaan.
Hawa panas dan pengap menyergapku saat aku dibawa masuk ke tempat bekerja. Serempak, semua mata memandang kedatanganku. Kuedarkan pandangan menatap wajah-wajah kusut yang menampakkan gurat kelehan pada semua wanita yang menunduk di atas pekerjaannya.
"Itu, pekerajaanmu buang benang." Penjaga tadi menunjuk tumpukan celana di pojok ruangan dan aku mengangguk. Lalu dia pergi meninggalkanku yang kebingungan. Bagaimana cara nya buang benang?
Ada seorang wanita duduk tak jauh dari sampingku. Berambut pendek dengan wajah bulat dan keringat membanjiri dahi.
"Maaf, Mbak? Bisa ajari saya?" ucapku padanya.
Dia mengerli lalu mengambil gunting dan satu potong celana dan menyodorkannya padaku.
"Begini," ucapanya sambil menggerakan tangan dan aku menatapnya tak berkedip. "Gampang kan? Kalau udah bisa sana jauh-jauh. Aku nggak mau deket-deket sama cewek cakep, banyak masalah."
Dia kembali menunduk di atas pekerjaannya. Aku menatap bingung dan kulihat kini banyak mata menatapku. Ada apakah?
"Hei, cewek baru. Siap-siap aja malam ini kamu ke tempat, Boss!" ucap seseorang yang sedang menjahit tak jauh dari tempatku.
"Ngapain?" tanyaku balik.
Seketika mereka kembali menunduk, tidak menjawab pertanyaanku. Sikap mereka membuat aku makin penasaran. Diam-diam kubuka ransel dan membuka payung untuk membiarkan Dito keluar, secepat kilat kututup kembali payung di tangan saat sosok Dito melayang di udara. Mata kami bertatapan dan dia mulai bergerak untuk memeriksa.
Aku sibuk dengan benang dan celana sementara Dito berkeliling. Membutuhkan waktu sekitar satu jam sampai tumpukan selesai dan punggungku pegal. Saat aku sedang meluruskan badan, Dito meluncur turun.
"Mya, tempat ini dikunci. Ada sebuah penghalang kuat yang menolak kedatanganku," ucap Dito dari sampingku.
Aku mendongak dan berbisik. "Mereka kenapa Dito? Seperti kelelahan teramta sangat?" Aku menatap sekeliling dan makin diperhatikan, makin terlihat pucat dan cemas wajah-wajah para wanita itu.
"Aura mereka disedot sesosok makhluk tak kasat mata."
Aku tercenung, tak lagi bicara karena harus mengejar target membuang benang. Sementara Dito berkeliling. Setelah sesi makan siang berupa sayur bening dan tempe dan dihidangkan dalam tempat kecil, kami kembali bekerja. Aku merasa kasihan pada para wanita yang bekerja dengan upah yang mungkin tidak memadai. Sore hari, pintu menjeplak terbuka dan dua orang berseragam safari memandang dari pintu.
Para wanita itu berjengit, ketakutan tampak jelas di matanya. Salah seorang berseragam safari menudingkan tangan ke arahku dan berucap pelan.
"Kamu, giliran kamu membersihkan kamar Boss nanti malam." Sebelum aku tahu apa yang terjadi, pintu kembali menutup. Tak lama terdengar desah kelegaan di sekelilingku. Mengabaikan mereka aku berpandangan dengan Dito yang kini duduk di sampingku.
"Tongkatmu ada di dalam, jangan takut ada aku," ucapnya sambil mengelus punggungku. Tidak terasa memang hanya saja bisa kurasakan hembusan angin menerpa dan membuat tekadku makin bulat. Untuk menyingkap misteri rumah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro