Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.22

Atas usul Dito, aku membawa laki-laki bernama Darki ke rumah. Rika yang melihatnya datang melotot nggak suka tapi tidak mengatakan apa pun. Setelah memberi makan Darki dan dia memakan nasi goreng buatan Rika dengan rakus, seakan-akan nggak makan selama seminggu. Kami berempat mengobrol di ruang tamu.

"Selain Den Mas, ada makluk lain di rumah ini, iya kan, Mya?" tanya Darki dengan hidung mengendus-endus.

Aku mengangguk. "Ada Kunti berbaju abu-abu di belakang. Nggak usah kuatir, dia nggak bisa masuk rumah ini."

"Ah, pantas saja. Aroma dari rumah ini wangi milik Den Mas. Tapi, aroma lain seakan mendesak masuk dari belakang sana." Sekali lagi dia bicara sambil mengendus. Tanpa sengaja mengendus tangan Rika yang sedang bertopang ke pintu.

"Lo apa-apaan sih? Kayak anjing aja ngendus-ngendus di rumah gue?" teriak Rika sengit.

"Duuh, cantik-cantik tapi galak," gumam Darki memandang Rika malu.

"Apa lo bilang!" Rika mengacungkan tinjunya.

"Nggak ada, aku duduk lagi." Dengan wajah menyiratkan rasa segan, Darki duduk di kursi tak jauh dari aku.

Aku berpandangan dengan Dito yang melayang dengan tak mengerti. Entaha apa yang mebuat Rika nggak suka sama Darki. Bisa jadi karena wajahnya yang penuh cambang atau juga bau badannya yang ... huft.

"Kamu tanya dia, berapa lama dia nggak mandi?" ucap Dito padaku.

Aku mengangguk dan memandang Darki. "Den Mas bilang, penampilan lo acak-acakan. Berapa lama lo nggak mandi."

Darki mengacungkan tangan.

"Satu hari?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Satu Minggu."

"Uweek, pantesan lo bau. Buruan sana mandi, udah mandi baru ngobrol." Setengah memaksa, Rika menuruh Darki ke kamar mandi.

Sementara kami menunggunya di rumah tamu. Pikiranku melayang tentang rumah gelap yang baru saja kami jumpai.

"Menurutmu, di dalam rumah itu apa?" tanyaku pada Dito.

Hantu tampan itu melayang dan duduk di sampingku. "Ada makluk kuat di sana. Selain kuta juga kejam."

"Sejenis genderuwo?"

Dito menggeleng. "Lebih dari pada itu."

Aku terpaku hingga tak mampu bicara. Jika Dito saja mengatakan makhluk di dalam rumah itu kuat, pasti akan sangat menakutkan. Apa yang seberanya disembunyikan di dalam rumah itu.

"Mya, siapa sih orang aneh itu?" Rika berderap dari dalam ruang tengah dan berkacak pinggang di depanku. "Tadi minta kaos lalu minta cukuran jenggot. Dia kira gue pelayannya?"

Aku meringis. "Maaf deh, Rika. Anggap saja dia musafir."

"Musafir apaan, gembel iya."

Setengah bersungut-sungut Rika duduk di seberangkau. Matanya yang besar menatapku sambil bicara. "Ngomong-ngomong, gue beli mobil. Bekas sih."

Aku melotot. "Buat apaan?" tanyaku tanpa sadar.

Rika mengangkat bahu. "Gue mau dagang baju di pasar. Jadi butuh mobil buat kulakan. Lagian, ntar cari sopir buat anterin lo kerja juga."

"Nooo! Gue lebih suka naik busway. Jangan macem-macem lo!"

"Ya sudah sih kalau nggak mau. Nggak usah ngamuk juga, itu toh duit Den Mas," ucap Rika sambil menjentikkan kuku.

Aku memandang Dito yang masih duduk di sampingku. "Beneran beli mobil? Buat apa?" tanyaku padanya.

Dito tersenyum. Oh Tuhan, dan aku yang meleleh. "Untuk Rika, dia memerlukan mobil. Juga untuk kamu, Mya."

"Tapi, kita naik busway asyik aja."

Dito mengangguk. "Memang, kalau kamu sedang sehat. Kalau sakit? Aku tidak mau kamu berdesakan."

"Terima kasa, percuma lo adu argumen sama Den Mas," sela Rika. Meski dia nggak bisa dengar omongan Dito tapi dia bisa menduga dari omonganku. Huft, melawan mereka berdia memang nggak akan menang.

Sepuluh kemudian sosok Darki datang dari ruang belakang. Setelah memakai kaos baru dan jenggot serta cambang yung dicukur, bisa kulihat wajahnya ternyata lumayan tampan. Masih kalah tentu dengan Den Mas.

"Makasih Mabk Rika, atas kaos dan cukurannya," ucap Darki malu-malu, sambil memandang ke arah Rika.

"Mulai kapan gue jadi Mbak, lo!" jawab Rika sengit.

Aku berpandangan dengan Dito. Lalu menengahi mereka sebelum terjadi pertumpahan darah. "Udah-udah, Darki, sekarang waktunya lo cerita."

Darki mengangguk, berdehem sebentar sebelum bicara. "Rumah itu sebenarnya tempat konfeksi. Adik perempuanku kerja di sana." Dia mulai bicara sambil melirik ke arah Rika yang duduk bersendekap. "Awalnya semua berjalan lancar. Ana, adikku masih sering pulang meski tiga bulan sekali untuk ketemu orang tua dan istirahat biar pun cuma dua minggu sebelum kembali kerja."

Darki menghela napas, bisa kulihat kekuatiran di wajahnya. "Sampai akahirnya, setahun belakangan Ana menjadi jarang pulang. Aku yang keraj jadi sopir travel, seminggu lalu memberanikan diri datang ke rumah itu karena nggak ada kabar dari Ana sudah sebulan. Aku bertanya dan pihak keamanan mengatakan nggak ada pegawai atas nama Ana. Aku makin curiga saat indraku mencium bau busuk luar biasa dari rumah itu. Aku tahu, ada sesuatu di sana."

Aku dan Rika berpandangan, Dito bangkit dari sofa dan kali ini melayang ke samping Darki.

"Aku terus mencoba bicara baik-baik dan mereka menolak. Sampai akhirnya diam-diam aku masuk ke rumah itu lewat pintu belakang. Aku sempat terdiam beberapa saat di pojokan, aroma busuk bikin tubuhku lumpuh. Demi adikku aku harus kuat. Saat aku bersembunyi, seri ng aku dengar selentingan pekerja yang lewat kalau pemilik rumah memelihara kolor ijo untuk pesugihan. Dan tumbalnya adalah gais-gadis muda."

Aah, ternyata pesugihan itu benar ada? Aku heran dengan informasi yang diberikan Darki.

"Suatu malam, dari tempat persembunyian, aku dengar suara tangis wanita. Aku berpikir itu adikku. Dengan membabi buta aku mencoba masuk ke rumah dan tak ayal bertemu para penjaga. Mereka menganiaya dan menyekapku. Mereka mengenaliku sebagai kakaknya Ana. Sungguh beruntung aku tidak dibunuh. Setelah disekap tanpa makanan, aku dilepaskan malam ini."

Hening

Kami berempat tenggelam dalam pikiran masing-masing. Darki kini bahkan terisak dan menanggil nama adiknya pelan.

"Rumah mana yang dia bilang?" tanya Rika padaku.

"Gang Anggrek nomor lima. Rumah berpagar---,"

".... Besi," ucap Rika memotong perkataanku.

Aku mengangguk heran. "Lo tahu rumah itu?"

Rika mengangguk. "Gue ambil barang dari sana. Rumah itu produksi celana dan kaos dalam."

Aku memandang Rika dengan tercengang, begitu juga Dito. Kupijat-pijat kepala buat cari ide atau apa pun untuk membantu Darki mencari Ana. Entah kenapa perasaanku mengatakan Ana dalam bahaya.

"Gimana caranya kita bisa masuk rumah itu?" gumamku tanpa sadar.

Dan aku terlonjak saat Rika berteriak. "Gue ada ide."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro