Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.21

Kami bertiga berdiri di teras kantor yang sepi. Sementara Marni menyingkir. Dia memang tidak bisa melihat Dito dan Kakek Broto tapi dia tahu apa yang terjadi. Dengan tongkat cendana di tangan, aku menghadap dua hantu di depanku.

"Mya, aku akan membantumu. Pada hitungan ketiga, tusuk Kakek Broto dengan tongkatmu."

Perkataan Dito membuatku bingung. "Tapi? Apa dia nggak kesakitan?"

Dito menggeleng. "Terpaksa, dari pada Kakek di sini lebih menderita."

"Tolong aku, gadis muda. Aku ingin segera naik mencari Sulastri," ucap Kakek Broto bergaung.

Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang lalu mengangguk. "Baiklah, mari kita lakukan."

Dito melayang mendekati sang kakek, mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala orang tua di di depannya. Entah bagaimana, ada semacam cahaya biru berpendar dari kepalanya. Terdengar lolongan kesakitan dari Kakek Broto dan dia mencoba berkelit dari pegangan Dito.

"Mya! Sekarang!" teriak Dito saat arwah sang kakek mulai mengeluarkan asap hitam.

Mengucap Basmalah, aku berlari menusuk kakek tepat di perut. Terdengar teriakan kesakitan dan tendangan kakek nyaris mengenai kepalaku jika aku tidak berkelit. Sekali lagi aku menerjang dan kali ini menancapkan tepat di jantung.

Aku melepaskan peganganku pada tongkat dan secara perlahan melihat asap hitam berubah menjadi putih. "Terima kasih kalian." Ucapan Kakek Broto terdengar samar saat asap benar-benar menghilang.

Sebuah cincin emas dan tongkatku terjatuh di lantai. Aku memungut keduanya dan bertanya pada Dito. "Cincin inikah yang membuatnya susah naik?"

Dito mengangguk. "Ada banyak harapan, rasa cinta, keinginan memiliki yang membuat cincin itu memiliki kekuatan dan mengikat Kakek Broto tetap di sini."

Aku menangguk dan meraskan kelegaan dan menyerahkan cincin pada Marni agar disimpan sebagai kenang-kenangan. Mungkin, Kakek Broto dan Bu Sulastri sudah meninggal tapi ikatan cinta mereka tetap abadi di hati keluarga dan orang-orang yang mereka kenal.

Dengan tubuh lelah tapi bahagia, aku pamitan pulang pada Marni. Bersama Dito menyebrang jalan ke arah halte busway. Karena hari telah larut, tidak banyak penumpang di dalam bus. Kami duduk bersebelahan di tempat duduk paling belakang. Tidak ada orang lain di samping kami.

"Kamu hebat Mya," ucap Dito pelan, di antara deru kendaraan.

"Kenapa?" Aku melihat dia tersenyum.

"Hatimu baik, dan hanya orang dengan hati yang baik yang bisa membantu arwah seperti Kakek Broto mau pun Pardi untuk naik."

Aku memalingkan muka ke jendela. Merasa malu dengan pujian Dito. Semua yang aku lakukan karena dibantu Rika atau dia, bukan karena aku sendiri. Tidak enak rasanya menanggung pujian sendiri.

Gemerlap lampu kota menerangi kami sepanjang perjalanan. Ada pendar bahagia menelusup masuk di dalam dada. Bukan karena seorang pemuda tampan yang berdiri tak jauh dari kami, mengamatiku dengan pandangan tertarik. Bukan pula saat beberapa laki-laki mencoba duduk di sampingku tapi gagal karena kursi selalu merosot saat pinggul mereka menyentuh dasarnya. Tapi karena ada sesosok samar seperti asap, berada di sini, menjagaku.

Kami turun di depan komplek dan saat hendak memasuki jalan yang biasa kami lewati menuju rumah, seorang satpam melarang.

"Ada perbaikan jalan, Neng. Coba lewat jalan samping."

Dengan terpaksa, kami melangkah menuju jalan lain yang lumayan jauh.

"Kamu terlihat lelah, apa mau aku terbangkan langsung ke rumah?" tanya Dito.

Aku menggeleng kuat-kuat, "Jangan, nanti ada kehebohan kalau ada yang melihat. Nggak apa-apa, sesekali kita jalan-jalan menikmati udara malam dan cahaya rembulan. Besok libur ini."

Kami melangkah beriringan, tanpa sadar sampai di depan sebuah rumah besar seperti istana. Ugh, aku merasa mau muntah saat bau busuk menyeruak dari dalam rumah.

"Mya, minggi ke arah sana."

Secara tiba-tiba aku terdorong menjauh dari depan rumah bercat hitam di depanku. Aku mengawasi rumah yang berpenarangan redup. Sepi seakan tidak ada orang di sana.

"Rumah siapa ini? Kenapa bau sekali?" ucapku menahan mual.

"Ada makluk jahat di dalam sana," ucap Dito waspada.

Sedetik kemudian, pintu pagar menjeplak terbuka. Dua orang penjaga berseragam hitam menyeret seorang laki-laki dan membuangnya ke tengah jalan.

"Bajingan kalian! Di mana adikku! Kembalikan adikku!"

Percuma si laki-laki berteriak karena dua orang penjaga kembali menghilang ke bali gerbang yang tertutup. Teriakan dan makian si lelaki memecah keheningan. Komplek ini terlalu luas dengan suasan yang cenderung sepi. Orang-orang kaya di sekitaran rumah bercat hitam tidak tergerak meski ada suara teriakan. Sungguh keacuhan khas ibu kota.

"Mas, Mas, jangan teriak di jalan. Nanti ada mobil lewat!" teriakku padanya.

Saat laki-laki itu mendengar suaraku, dia menoleh dan menatapku tajam. Tak lama, setengah berlari dia ingin menubrukku. "Kamu bisa membantuku!" ucapnya.

Semeter dari tempatku berdiri, tubuhnya terpental ke belakang. Ada Dito yang menyentakkan tangan dan membuatnya terguling.

Laki-laki itu bangkit dari tanah dan tersenyum. "Sudah kuduga, ada sesosok makhluk gaib yang kuat bersamamu. Tolonglah aku, Nona. Aku membutuhkan bantuanmu! Adikku ada disekap di rumah itu."

Setengah berjongkok dia menghampiriku. Rupanya kali ini dia bertindak lebih hati-hati.

"Kamu bisa melihat makhluk gaib?" tanyaku padanya.

Dia menggeleng. "Hanya bisa merasakan, nggak bisa melihat wujud. Tolong aku Nona, tolooong. Demi adikku."

Aku berpandangan dengan Dito yang melayang di sampingku. Sementara bau busuk memuakkan masih terciuma dari dalam rumah.

Jalanan sepi hanya ada aku dan laki-laki yang kini duduk bersimpuh tak jauh dariku. Kulihat Dito melayang tinggi dan mendekati rumah bercat hitam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro