Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.20

Semenjak berteman dengan kakek tua yang ada di seberang kantor, nyaris setiap hari Dito ikut aku ke kantor. Di rumah hanya tertinggal Boy yang kami buatkan kandang besar di teras. Rika tahu tentu saja dan buat dia nggak masalah kalau Dito ikut aku.

"Kasihan juga Den Mas kalau tiap hari di rumah. Setidaknya kalau ikut lo dia bisa jalan-jalan, kan?" ucap Rika bijak suatu malam. "Btw, lo mau dibeliin mobil sama Den Mas."

"Hah, kok lo tahu?" tanyaku heran. "lo kan nggak bisa ngomong ama dia?"

"Jadi itu bener? Lo mau mobil apa?"

"Apaan sih, gue nggak mau mobil. Den Mas aja yang lebay." Detik itu juga kukatupkan mulut saat lihat Dito duduk bersendekap dengan Boy di pangkuannya.

"Kenapa ada Den Mas di sini, kan?" kikik Rika. "gue emang nggak bisa lihat dia tapi dia selalu punya cara buat komunikasi ama gue. Lewat ini." Rika mengacungkan tulisan rapi dalam secarik kertas.

Ah, aku mengenali tulisan Dito. Jadi begitu, komunikasi mereka. Dito memang terlihat menikmati suasan di kantorku. Sering saat siang dia hanya duduk di pojokan ruangan tanpa melakukan apa pun. Memandang orang berlalu lalang, datang dan pergi. Kadang juga dia keluar dan bercakap dengan hantu-hantu di sekitaran komplek kantor. Huft, rupa mereka beraneka ragam dan jangan tanya seperti apa.

Yang paling tidak senang dengan kepergian Dito ke kantor adalah Lili. Makhluk satu itu melolong dan mengomel padaku saat aku ke halaman belakang.

"Gimana bisa, Den Mas lebih milih ikut lo dari pada ama gue?" ucapnya sambil menyeringai dan menunjukkan gigi yang runcing.

"Napa protes ama gue, tanya aja ama dia langsung," jawabku tak acuh.

"Lo tahu sendiri dia nggak mau deket ama gue, Mya. Gimana mau tanya!"

Aku tersenyum padanya dan meleletkan lidah. "Derita lo!"

Bunyi barang-barang jatuh bergelontangan saat aku menutup pintu belakang dan meninggalkan Lili mengamuk. Kunti yang aneh, jatuh cinta napa aku yang diribetin sih.

Siang ini, aku memutuskan untuk makan di dalam ruang kantor yang sepi. Semua temanku makan siang di luar dan tertinggal aku sendiri. Terus terang sedang malas keluar dan tadi pagi aku masak sebelum pergi.

"Kakek itu mencari kekasihnya bernama Sulastri," ucap Dito yang duduk di sampingku.

"Siapa Sulastri?" tanyaku heran. Mulut sibuk mengunyah telur dan tangan membelah paha ayam goreng di dalam kotak.

"Entahlah, katanya mereka kenal di area ini. Saling mencintai dan akan bermaksud menikah. Suatu hari Kakek Broto, itu namanya si kakek, membawa cincin untuk melamar Sulastri tapi dia kecelakaan di tengah jalan tak jauh dari sini. Itulah yang membuat dia tidak bisa naik, karena ingin meminta maaf."

Aku mengangguk. "Area kantor ini luas tapi aku coba tanya nanti tentang siapa Sulastri."

Mendadak Dito bangkit dan melangkah mendekatiku. Matanya menatap tajam dengan tangan terulur ke arah wajahku, eih ada apa ini?

"Mya, ada nasi di ujung bibirmu." Sebuah sentuhan dingin tapi lembut mengenai bibir dan membuat tubuhku menggelenyar.

Kami bertatapan dan aku lupa kalau sedang mengunyah sampai kulihat satu nasi jatuh di atas kotak. Oh sial, aku terpesona pada sentuhan hantu. Saat aku sibuk mengutuk kebodohanku, Dito melayang pergi menembus kaca menuju ke tempat Kakek Broto yang berteriak memanggilnya.

Selera makanku hilang seketika. Kututup kotak nasi dan membungkusnya dalam kantong plastik sebelum memasukannya dalam ransel. Begini kalau salah tingkah sama hantu, apa pun jadi masalah.

"Eih, lo tahu nggak siapa Sulastri?" tanyaku pada Yanto, pegawai paling senior di kantorku.

"Sulastri siapa?" tanya dia balik.

"Entah, pegawai lama atau cewek-cewek sekitar ini ada nggak namanya Sulastri?"

Yanto menggeleng. "Nggak kenal Mya," ucapnya sambil melenggang pergi.

Oke, ini memang nggak akan mudah. Selama beberapa hari saat istirahat makan siang aku sibuk berkeliling dari satu kantor ke kantor lain dan bertanya pada setiap satpam yang kutemui tentang Sulastri. Selama seminggu bergerilya, hasilnya nihil.

Suatu sore, aku kedatangan Mbak tukang gado-gado yang biasa mangkal di seberang kantorku. Seorang wanita setengah baya dengan dandandan sederhana, dia menekuk jari saat berkata padaku.

"Kakak mencari seseorang bernama Sulastri?"

Aku mengangguk. "Iya, apa Mbak kenal?"

Tukang gado-gado di depanku mengangguk. "Sulastri itu ibu saya, tukang gado-gado juga. Beliau meninggal dan saya yang menganggantikan."

Aku terkesiap, tidak menyangka justru sosok Sulastri berada tidak jauh dari tempatku. Akhirnya hari itu, kuputuskan untuk pulang malam. Selesai Magrib, aku berkumpul di warung gado-gado bersama Dito, Kakek Broto dan Marni, anak dari Sulastri.

"Kenapa Kakak mencari ibuku?" tanya Mbak Marni pelan.

Aku berpandangan dengan Dito. "Anu Mbak, mungkin kamu nggak akan percaya yang aku bilang tapi ada satu arwah kakek tua yang mencari Bu Sulastri."

Marni mendongka dari kesibukannya merapikan peralatan dagang. "Benarkah? Apa itu Pak Broto?"

Kakek Broto bertepuk tangan gembira dan menghampiri Marni. "Ah dia ingat aku," ucapnya senang.

"Mbak kenal?" tanyaku pada Marni.

"Iya, dia dan ibuku dulu pernah sepakat untuk menikah." Marni menegakkan tubuh. Berdiri memandangku dan menyeka air mata di ujung pelupuk. Dia menangis rupanya.

"Ibu bahagia, katanya serasa muda kembali karena mengenal Pak Broto. Maklum, dia sudah puluhan tahun ditinggal Ayah. Selama ini banting tulang untuk menghidupi keluarga. Aku dan kakakku ikut senang dia menemukan tambatan hati. Suatu hari dia mengatakan akan mengadakan pertemuan keluarga untuk saling mengenalkan dua keluarga. Namun naas, ibuku terkenang serangan jantung dan akhirnya meninggal saat dirawat di rumah sakit."

Aku tercekat, Dito berdiri tak bergerak dan Marni menangis segugukan. Sementara Kakek Broto meraung. "Sulastriii ... kamu pergi nggak bilang-bilang. Aku menunggumu dan kamu pergi Sulastriii."

Marni menghentikan tangis dan menatapku. "Ibu menitipkan pesan sebelum meninggal."

Kami serempak menoleh padanya.

Marni mengelap ingus dan air mata dengan tisu sebelum melanjutkan perkataannya. "Dia bahagia bersama Kakek Broto, sayang sekali mereka tidak bisa menikah."

Kisah yang romatis. Aku terduduk di emperan dan Dito melayang pelan untuk mengusap punggungku, terasa dingin menenangkan dan setelah lima belas menit tanpa percakapan, aku membuka suara. "Kakek Broto, Bu Sulastri sudah nggak ada di dunia. Apa Kakek nggak berniat menyusulnya.

Hening, tidak ada jawaban dan dengan terengah si kakek menjawab. "Aku mau gadis muda, tapi tidak tahu bagaimana caranya?"

What? Bagaimana ini? Baru kali ini aku tahu ada arwah yang ingin naik tapi nggak tahu caranya? Aku memandang Dito untuk bertanya.

"Apa itu mungkin?"

Dito mengangguk. "Ada benda yang memberatkannya."

"Apa?"

"Kita akan tahu nanti. Mya, kamu bawa tongkatmu?" tanya Dito. Aku mengangguk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro