Bab.19
Kehidupan di rumah baru kami terbilang tenang. Dengan Dito punya kamar tersendiri, membuatku tidak terlalu merasa risih untuk berkeliaran di setiap sudut rumah. Rika pun begitu, dia malah terlihat senang sekali kami tinggal bersama karena ada aku buat menemani. Sering kali kami mengobrol ditemani Dito dan Boy hingga jauh malam. Karena berbeda tempat bekerja membuatku dan Rika hanya bertemu saat pagi, malam dan waktu libur.
Jauh berbeda dengan Lili, karena Dito membuat pagar gaib yang membuatnya tidak bisa sembarangan masuk ke dalam rumah kami, membuat si Kunti berbaju abu-abu sering kali curhat panjang lebar padaku. Biasanya itu dia lakukan saat aku menjemur baju di belakang rumah.
"Gue tuh sedih Mya, sediih sekali. Gue tuh nggak bisa diginiin sama Den Mas."
Aku hanya terdiam mendengar keluh-kesahnya sambil memeras baju. Rika bilang dia sudah beli mesin cuci tapi belum diantar. Sementara aku mencuci dengan manual alias pakai sikat dan penggilesan.
"Mya, kok lo diam aja sih? Kasih gue saran dong." Mendadak tanpa disangka Lili menyorongkan mukanya ke arahku dan membuatku berjengit kaget.
"Kalau Dito yang nggak mau lo ganggu, gue bisa apa?" jawabku sembarangan. Aduh, kurang kerjaan banget aku dengerin Kunti curhat.
"Yee, nggak bisa gitu dong. Paling nggak lo bisa bantu gue dengan cerita segala kebaikan gue ama lo ke Den Mas."ucapnya berapi-api, dan melayang dari satu dahan ke dahan lain. Untung pohon sukun lumayan kuat.
"Emang lo pernah baik ama gue? Nggak ngrasa tuh!"
Mengabaikan protesnya yang menggelegar, aku membawa ember cucian masuk ke rumah. Setelah merapikan kamar mandi, aku berniat untuk kerja. Rika belum bangun sepertinya, tapi nggak masalah karena kerja dia memang lebih siang dari aku.
"Mya." Suara panggilan yang lirih mengagetkanku yang sedang memakai sepatu.
"Dito? Ada perlu apa lagi? Aku mau pergi kerja," tanyaku tanpa menolehkan wajah. Asyik dengan sepatu di kaki.
"Mya, bolehkah aku ikut sama kamu?"
Eih, apa? Dengan heran aku mendongak dan bertatapan dengan sosok Dito yang tranparan. Terus terang aku merasa aneh karena mendadak Dito ingin ikut denganku bekerja.
"Kamu yakin mau ikut?" tanyaku sekali lagi.
Dia mengangguk. "Aneh memang, sebelumnya aku tidak pernah merasa bosan tinggal dengan Mbah Uti. Padahal suasana sama, ada banyak buku juga di sini. Sekarang aku merasa sedikit bosan tanpa kamu."
Deg ... jantungku serasa berhenti berdetak. Aku memang lemah, dirayu hantu langsung luluh. Payah memang.
"Eih, baiklah. Kalau begitu, aku ambil payung dulu."
Aku copot sepatuku kembali dan berlari ke kamar untuk mengambil payung. Setelah sebelumnya mengganti tas jinjing dengan ransel yang agak besar. Akan sangat mencolok kalau aku bawa payung kemana-mana, risiko hilang pun besar.
"Apa payungnya perlu kubuka?" tanyaku pada Dito yang sudah berdiri di depan pintu.
Dia menoleh dan menatapku sesaat. "Tidak usah, sepertinya aku sudah terbiasa dengan matahari siang."
"Kamu yakin?"
Dia mengangguk.
"Baiklah, mari kita bekerja."
Kami berdua berjalan beriringan, tentu saja tanpa sosok Dito yang terlihat di sampingku. Ada banyak benda yang dijumpainya dan mampu memesona hatinya. Kalau dia bertanya, sebisa mungkin aku menjawab tanpa terlihat mencolok seakan berbicara sendiri. Bisa disangka gila.
"Jaman dulu baru ada andong, sepertinya belum ada mobil. Atau sudah tapi kami tidak tahu?" gumam Dito sambil mengagumi mobil kuning mengkilat yang secara tak sengaja kami temui di jalan.
"Kita akan naik busway," ucapku pelan. Huft, besok harus ingat bawa headseat kalau Dito ikut lagi.
"Apa itu?" tanyanya antusias.
Aku tidak menjawab, menggesek kartu dan ikut mengantri. Kulihat Dito berdiri tak sabaran di pintu masuk. Tak lama busway yang akan mengantarku ke tempat kerja datang, semua orang berebut masuk dan aku terdorong hingga ke pojok.
"Mya, apa kamu baik-baik saja?" tanya Dito yang melayang di atap busway, menatapku dengan kuatir.
Aku mengangguk, berusaha mengatur napas. Makin mendekati kantor, makin sesak busway. Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam dan berganti tiga busway, akhirnya kami sampai ke kantorku.
"Apa kamu setiap hari seperti itu? Berdesak-desakan?" tanya Dito saat kamu menyusuri trotoar.
"Sudah biasa, jangan terlalu kuatir."
"Bagaimana kalau aku belikan kamu mobil."
"Jangaaan!" ucapku keras tanpa sadar. Dan detik itu juga merasa menyesal karena beberapa orang menatapku dari pinggir jalan dengan pandangan aneh. "aku nggak apa-apa, udah biasa. Simpan uangmu, okee?"
Dito mengangguk dan bisa kulihat dia masih menatapku kuatir. Huft, biar pun sudah jadi hantu tetap saja dia sosok orang kaya. Mau beliin mobil aku, huft! Emang aku cewek matre.
Kantorku masih sepi saat aku tiba, Dito melayang masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi kosong di sampingku. Dia menatap serius padaku yang sibuk menyalakan komputer dan menerima telepon.
"Aku takut kamu bosan," ucapku padanya. "kamu bisa jalan-jalan di sekitar sini kalau mau."
Dia mengangguk. "Nanti, aku ingin lihat dulu kamu bekerja."
Perusahaanku adalah kantor travel yang melayani pembelian tiket ke seluruh dunia. Bukan kantor yang sangat besar tapi klien kami lumayan banyak. Dari para artis yang sering menbawa rombongannya tour hingga para pejabat. Kami juga menyediakan paket tour keliling asia yang ternyata sangat diminati. Ada beberapa orang bagian tiketing, termasuk aku. Akunting, guide dan beberapa kurir. Total ada sekitar lima belas orang.
Satu per satu teman-temanku datang, mengabaikan Dito yang aku takut akan merasa bosan, jam sibuk dimulai. Setelah empat jam bekerjka tanpa jeda, akhirnya jam makan siang pun tiba. Aku mengajak Dito membeli makanan di warung untuk di makan di bangku dekat taman.
"Mya, apa kamu tahu soal kakek tua yang ada di depan kantormu?"
Aku mengangguk. "Aku lihat dia ingin bicara padaku tapi nggak mungkin. Sepertinmya dia nggak bisa masuk kantorku, ya?"
Dito mengangguk. "Ada pengahalang yang cukup kuat dan membuat makhluk seperti kami kesusahan masuk ke dalam."
"Tapi kamu bisa?" ucapku heran.
"Aku lain."
Huft, tak perlu diungkapkan aku juga tahu kalau dia lain.
"Bisakah aku bicara dengannya dan mencari tahu apa masalahnya?"
Aku mengangguk. "Iya, silahkan. Sepertinya jam makan siang begini dia suka ada di kerumunan tukang gado-gado yang sangat laris di seberang kantor kami."
Setelah makan siang, kulihat dari kaca ruanganku yang kebetulan menghadap ke jalanan, Dito sedang bicara dengan arwah kakek tua. Entah apa yang mereka bicarakan terlihat serius sekali. Pikiranku teralihkan oleh banyaknya kerjaan. Sore hari menjelang pulang, Dito yang berada di sampingku mengatakan sesuatu yang membuat kaget.
"Kakek tua itu mencari kekasihnya."
Aku melongo, heran. Udah tua masih cinta-cintaan. Kulihat sosok kakek itu melambai riang saat aku dan Dito berjalan beriringan menuju busway.
"Aku janji esokj hari akan membantunya.
Dan janji Dito pada sang kakek yang membuatnya mengikutiku ke tempat kerja keesokan harinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro