Bab.18
Mbah Uti memang wanita yang hebat, beliau seakan tahu kalau Dito ikut aku maka kami tidak layak tinggal di kamar kos yang sempit ini. Terkaget atau malu adalah hal yang aku rasakan saat melihat Dito duduk di ranjang atau berdiri di depan pintu sedangkan aku harus ke kamar mandi atau berganti baju. Rasanya benar-benar hidup bersama seorang pria, tak peduli jika dia hantu.
Hal aneh lainnya adalah soal kucing kesayanganku, Boy. Kucing hitam yang biasanya selalu marah saat melihat makhluk gaib, dia bersikap biasa dengan Dito. Bahkan sering kali kulihat kucing itu melingkar nyaman di samping Dito.
"Kucing pintar, Boy," ucap Dito suatu malam.
Saat itu aku sedang mengopi sambil mengerjakan laporan dengan duduk di lantai dekat kasur sedangkan Dito duduk nyaman di atas kasurku yang kecil.
Aku menoleh dan mengangguk. "Iya, datang sendiri kemari untuk minta makan. Bentuknya masih kecil, sekepalan tangan. Habis itu nggak mau pergi."
"Boy mengerti cara memilih pengasuh."
Selama aku bekerja saat siang, Dito tetap tinggal di kamarku. Dengan alasan belum terbiasa dengan suasana kota yang berisik, dia ingin beradaptasi lebih dulu. Seminggu setelah kami tinggal bersama, huft! Berasa kayak pengantin baru. Suatu hari Rika datang membawa kabar gembira.
"Mya, gue dapat rumah yang buat kita."
Tanpa buang waktu, aku pergi ke rumah baru bersama Rika. Dan saat melihat pertama kali melihat rumah itu, aku mengangguk setuju.
Berpagar hijau dengan pohon mangga berdaun lebat terdapat di halaman dan juga pohon pepaya yang menambah keteduhan. Rumah itu tidak terlalu besar tapi menyisakan halaman belakang yang ditumbuhi bunga dan semak. Berlokasi di pinggirin kota dengan suasana yang tidak terlalu ramai, rumah ini cocok untuk kami tinggali.
Negosiasi harga berlangsung cepat. Si penghuni lama sudah cepat-cepat ingin pindah karena merasa rumah mereka berhantu. Dan aku melihat sesosok wanita berambut panjang dengan wajah pucat dan mata merah berdiri marah di pojok kamar mandi. Matanya melotot saat melihatku.
Seperti makhluk gaib yang lain, dia terlonjak gembira saat mata kami bertatapan. "OMG, lo bisa lihat gue?" teriaknya histeris. Seketika kupingku berdengung.
Aku mengabaikannya. Dengan Rika yang sedang mengamati ruang tamu, aku nggak mau sahabatku ketakutan kalau tahu ada makhluk ini di rumah kami nanti.
"Hei, lo jangan pura-pura budek, ye!" Dia berteriak sekali lagi.
Tak tahan dengan kuping yang berdenging aku menoleh dan menghardik marah. "Gue mau pindah kemari, sebaiknya lo pergi kalau nggak mau gue usir paksa."
Wajahnya yang semua terlihat galak kini mencebik. Dia menunduk dan melayang pelan di sampingku.
"Jangan usir gue. Ini rumah gue dulu, kalau nggak di sini gue mau pindah kemana?" ratapnya pelan.
"Kuburan." Jawabku asal.
"Hah, siapa ke kuburan?" Mendadak suara Rika terdengar dari belakangku.
Makhluk bergaun abu-abu di sampingku meringis marah dan matanya memerah saat melihat Rika.
"Lo ganggu temen gue, gue bikin lo jadi sate," ancamku padanya. Sekali lagi dia mencebik kesal mendengar ancamanku.
"Mya, jangan bilang di rumah kita ada itu," bisik Rika takut-takut.
Aku mengangguk. "Makanya dijual murah, tuh bergaun abu-abu."
"Aaah, sebel. Kenapa sih harus selalu berurusan sama mereka." Rika menegentakkan kaki ke tanah dengan kesal. Entah kemana perginya perasaan takut yang semula dia rasakan. "Bilang sama dia buat cabut dari sini atau aku minta Dito yang usir!"
Aku mengembuskan napas panjang saat melihat Rika berderap ke halaman. Sementara makhluk di sampingku kini menundukkan wajah dan bisa kurasakan dia merasa sedih.
"Siapa nama lo?" tanyaku padanya.
Makluk itu menggeleng. "Gue lupa, tapi gue suka sama bunga lili di belakang rumah. Boleh nggak gue punya nama lili?" tanyanya penuh harap.
Aku mengangguk. Bagi sebagian orang Kuntilanak adalah sosok menakutkan, karena mereka hanya melihat berdasarkan apa yang ingin mereka lihat. Tapi Kuntilanak di sampingku ini lebih banyak mengeluarkan aura kesedihan dari pada kejahilan.
"Dengerin gue Lili, gue punya teman kayak lo."
"Kayak gue?" ucapnya bingung.
Aku mengangguk. "Kami akan pindah mulai minggu depan. Sebaiknya lo pindah ke halaman belakang kalau nggak mau kena masalah sama dia. Gue yakin, energy lo akan habis terserap sama dia."
"Sebegitu hebatnya dia?" tanya Lili takut.
"Percayalah," ucapku pelan sebelum meninggalkannya.
Keesokkan hari saat aku dan Rika datang untuk membersihkan rumah, kulihat Lili menempati pohon sukun dengan bunga lili di dalam pot di sampingnya. Entah kenapa kulihat dia terlihat gembira melihat kedatanganku.
"Aku senang, akhirnya aku punya teman," lonjaknya gembira saat barang-barangku yang tidak seberapa mulai dibawa masuk ke rumah.
Setelah melalui perdebatan panjang dengan Rika, sahabatku akhirnya setuju untuk tidak mengusir Lili. Tidak hanya membawa barang-barang pribadi kami sebelumnya, Rika juga membeli satu set sofa untuk ruang depan. Satu set meja makan untuk kami letakkan di dapur dan masing-masing meja kecil dengan kursi untuk diletakkan di dalam kamar.
"Buat lo ngerjaian laporan kalau malam," ucap Rika dan aku memeluknya untuk berterima kasih.
Setelah barang masuk dan tertata rapi, aku membawa Dito dan kucing kesayanganku pindah.
"Bagaimana Dito, suka rumah ini?"
Wajah Dito melembut, melayang pelan dengan Boy melangkah di sampingnya seperti penjaga. Huft, kucing reseh. Dia lupa aku majikannya bukan Dito.
"Rumah yang nyaman Mya," puji Dito dengan senyum tersungging.
Rika baru akan pindah esok hari setelah urusannya selesai. Aku membawa Dito masuk ke ruang tamu.
"Kamar paling belakang itu kamarmu," ucapku padanya.
Dito mengangguk kecil.
Mendadak terdengar jeritan centil dari arah belakang rumah. Sesosok makhluk bergaun abu-abu melayang cepat menuju Dito.
"Aaah, ada cowok ganteng di sini. Aaww ... gue sukaaa!"
Dengan pandangan tak percaya, aku melihat Lili hendak menubruk Dito atau dengan maksud memeluknya. Belum sempat tangannya menggapai tubuh Dito, sebuah pendar samar keluar dari telapak tangan Dito dan diarahkan ke Lili. Seketika, gerakannya membuat Lili terjengkang dan jatuh bergulingan di tanah.
"Jangan coba-coba menyentuhku, jika kamu tidak ingin kubuat jadi debu!" ancam Dito lirih. Dengan kewibawaan yang terpancar jelas dari sosoknya yang berdiri menjulang di hadapanku.
Melihat hal itu dadaku berdebar, jantung berdetak tak karuan. Hei, adakah orang jatuh cinta pada hantu yang penuh wibawa? Aku pasti di bilang gila oleh Rika kalau dia tahu hal ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro