Bab.17
Sebulan lebih kami berpisah, rindu tercekat di dalam dada. Sungguh menggelikan karena hubungan kami adalah LDR yang sesungguhnya. Bukan hanya karena jarak tapi juga beda alam. Sering kuberpikir pada malam-malam menjelang tidur. Apa yang dilakukan Dito, apakah dia juga memikirkan aku? Hahaha ... kenapa rasanya aku jadi bodoh, ya?
Buku dari Mbak Uti sudah selesai kubaca, ada banyak hal yang menggetarkan hati di sana. Kisah tentang Ibunda Dito yang dianggap hanya sebagai wanita kedua. Hidupnya tragis dan mengenaskan, mati terbakar. Apakah karena itu Dito belum naik ke atas? Ingin mencari pembunuh sang bunda? Bukankah hal itu sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu? Entahlah.
Semenjak pulang dari Jawa, hidupku sedikit banyak berubah. Sekarang aku bisa melihak makhluk-makhluk aneh di sekitar. Aku tahu ada seorang kunti yang mengikuti kemana pun aku pergi. Belum lagi di kantor ada seorang kakek tua yang memohon dengan memelas untuk bicara denganku. Bahkan di busway, kereta atau kemana pun aku pergi, ada saja yang mengikutiku. Untung saja, para makhluk itu takut dengan kucing hitam. Si Boy, kucing hitam kesayanganku yang sekarang menjadi andalanku menjaga rumah. Setiap kali mereka coba masuk rumahku, si Boy akan mencakar dan mengusir mereka.
Suatu malam berhujan. Terdengar gedoran di pintu. Aku yang baru saja mandi, membuka pintu dengan kaget dan mendapati Rika di depan pintu.
"Rika, ada apa?" tanyaku bingung.
Tak lama tubuhku oleng karena tubrukan dan pelukan Rika. "Mya ... Mbah Uti. Dia-dia ... huaa!" Suara tangisannya terdengar nyaring menyayat di ruang kosku yang kecil.
Dari balik tubuh Rika aku menatap sepasang suami istri. Santi dan suaminya. Perasaanku menjadi nggak enak. Dan dugaanku benar saat melihat payung kayu di tangan Santi.
Setelah tangis Rika mereda, kami berempat berdiri berhimpitan di kamar sekaligus ruang tamu. Tidak ada kata terucap selain kesedihan membias.
"Mya, sebelum Mbah Uti meninggal, beliau berpesan untuk memberikan payung ini padamu. Dia tahu hanya kamu yang bisa menjaga Den Mas." Santi mengulurkan payung kayu dan aku menyambutnya. Menahan setitik air mata di ujung pelupuk.
"Ada satu lagi, warisan Mbah Uti selain payung itu." Santi mengeluarkan sebuah buku tabungan dan menyerahkan pada Rika yang masih tersedu-sedu. "Mbah Uti menjual sebagian sawah dari warisan keluarga Den Mas dan menyimpan uangnya di sini. Kalian pakailah untuk membeli rumah. Mbah Uti mengatakan, Mya layak mendapatkan tempat tinggal yang lebih bagus."
Aku termenung, tak dapat berkata-kata. Kepergian Mbah Uti begitu mengguncang hati kami.
"Mya?"
Panggilan Santi membuatku mendongak. "Iya?"
"Terima kasih sudah membantu keluarga kami. Tanpa kamu, Mbah Uti tidak akan bisa meninggal dengan tenang."
Dito oh Dito, sungguh malang nasibmu. Terlunta-lunta sendirian di dunia yang bukan lagi tempat tinggalmu. Aku menepi, melangkah ke pojokan kamar yang sempit. Memejamkan mata sebelum membuka payung kayu di tangan. Sejenak, aroma kayu cendana menguar di udara. Lalu secara perlahan sesosok tubuh menyerupai asap terbentuk dan berdiri tak jauh dariku.
"Mya ...." Panggilannya bergaung di udara. Untukku dan hanya untukku, hantu berwajah tampan menatap dengan matanya yang sendu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro