Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.16

Aku berdiri, asap sudah benar-benar menghilang. Perkelahian rupanya baru saja berhenti. Kulihat Titi memandang dengan wajah shock. Aku melangkah mendekati penumpang yang sekarang tergeletak pingsan dengan dua petugas yang tengah mengerumuninya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, Pak Tio. Mendadak dia mengamuk." Seorang petugas muda berkata dengan wajah kuatir.

"Iya Jamil, seperti orang kesurupan." Kali ini petugas yang lebih tua yang menjawab.

"Dia memang kesurupan." Ucapanku menyela pembicaraan mereka. Petugas bernama Pak Tio dan Jamil memandang heran.

"Adik tahu dari mana?" tanya Pak Tio.

"Baru saja setannya pergi, Pak. Makanya dia tenang," sahutku santai.

"Ah, ya. Pantesan. Apa kubilang Pak Tio, ada setan di kereta kita. Jangan-jangan setan itu banci yang Bapak ceritakan dulu." Aku memandang Jamil, seorang pemuda berumur kurang lebih dua puluhan dengan rambut klimis dan wajah bulat. Lalu beralih memandang Pak Tio yang berumur kurang lebih lima puluh tahunan.

Pak Tio menggelengkan kepala. "Sepertinya bukan Jamil, karena banci itu tidak berkepribadian jahat."

"Halah yang namanya setan tetap saja setan!" Jamil bersungut-sungut meninggalkan Pak Tio sendiri. Aku mendengarkan percakapan mereka dengan senang, rupanya kedatanganku ke gerbong ini tidak salah.

"Pak Tio, bisa saya mengobrol sebentar?" Pak Tio mendongak dari duduknya. Dia sedang memeriksa penumpang yang pingsan.

"Ada apa, Dik?"

"Sebentar saja, jika Pak Tio berkenan. Penting, tentang Si Banci yang kalian bicarakan." Ucapakanku membuat Pak Tio terbeliak kaget. Menegakkan tubuh dan memandangku lekat-lekat.

"Kamu siapa, Dik?" Sebelum aku menjawab, pintu gerbong terbuka dengan keras.

"Mya, aku bawa tasbihnya. Mana itu setan?" Rika berdiri mengacungkan tasbih, napasnya memburu. Rupanya dia berlari bolak-balik kemari.

"Sudah hilang, simpan yang bagus tasbihnya."

"Apa, sudah hilang?" Rika bertanya tidak percaya, aku mengangguk. Dengan lega dia mengantongi tasbihnya. Pak Tio memandang kami dengan terheran-heran.

"Siapa yang bisa melihat hantu di antara kalian?" Rika menunjukku. Pak Tio mengangguk dan menyilahkan kami duduk.

Kami bertiga duduk di restorasi yang sepi. Mungkin karena Jamil yang sekarang kulihat mendorong kereta berisi makanan, berjalan keluar gerbong. Penumpang yang lain jadi malas ke restorasi, mereka menunggu kedatangan Jamil tanpa repot-repot berjalan ke restorasi.

"Siapa nama kalian?" Pak Tio bertanya sambil memandang kami, sebelumnya dia membuatkan kami kopi susu yang panas.

"Aku Rika dan ini Mya, Pak. Terima kasih kopinya." Pak Tio mengangguk senang pada Rika, dia beralih menatapku atau lebih tepatnya mengamatiku.

"Apa dia di sini sekarang?" Aku mengangguk, aku tahu yang dia tanyakan adalah Titi yang sekarang duduk di samping Pak Tio.

"Di samping Bapak."

"Begitukah, bagus kalau gitu," gumamnya ambigu. Sepertinya informasi tentang hantu banci tidak membuatnya takut.

"Bapak tahu apa yang terjadi padanya, karena Titi hilang ingatan dan dia terjebak di gerbong tujuh belas."

Pak Tio menghela napas, menatap jendela yang sekarang redup. Matahari mulai tenggelam rupanya. "Namanya Pardi, duda anak satu. Dia bercerai dengan istrinya saat anaknya berumur dua tahun. Itu yang dia ceritakan padaku."

"Pardi yang tidak ada pekerjaan akhirnya berdandan sebagai banci untuk mendapatkan uang. Karena meski telah bercerai, mantan istrinya menuntut uang susu untuk anak perempuan mereka. Dari awalnya mengamen untuk mendapatkan uang akhirnya sikap dan sifatnya berubah menjadi seperti perempuan." Aku memandang Titi sejenak dan mengangguk.

"Bapak dekat dengan Pardi?"

"Lumayan, kamu tahu dulu kereta tidak seperti ini. Semua penumpang boleh masuk atau tidur di mana saja asalkan membeli karcis? Karena hampir setiap hari Pardi bolak-balik ikut keretaku kadang di dua stasiun atau di empat stasiun berikutnya dia turun. Akhinya kami sering mengobrol."

Suara Pak Tio melemah, matanya menerawang. "Hari itu Pardi bilang, sudah mengumpulkan uang karena anaknya ingin masuk SD. Dia sangat bangga dengan anaknya yang cantik. Lalu kejadian tak terduga menimpanya." Pak Tio memandangku sekilas lalu menoleh kembali ke arah jendela.

"Di gerbong tujuh belas terjadi keributan antar penumpang, masing-masing membawa senjata. Kebetulan Pardi ada di situ tengah mengamen, entah apa yang terjadi sebuah parang membacok Pardi yang hendak melerai. Dia tewas seketika."

"Innalillahi Waiinalillahi Rajiun." aku merasakan sedih menyeruak dari hatiku, di sampingku Rika terlihat kaget. Kami bertatapan sejenak lalu kupalingkan muka dan memandang Pardi yang sekarang terpekur. Entah bagaimana aku melihat kesedihan tergores di wajahnya yang pucat.

"Titi, lo dah tahu penyebab lo mati. Apa sekarang udah lega?"tanyaku perlahan.

Titi menggelengkan kepalanya, "Masih ada yang kurang, Cin. Entah apa, coba tanya Bapak ini." Aku mengangguk.

"Pak, apa ada rahasia lain yang Bapak tahu? Terkait Titi?"

Pak Tio memandangku lekat-lekat, mendadak air mata meleleh di pipinya, "Ini semua salahku Dik, salahku?" Dia menunduk meremas rambutnya.

"Ada apa, Pak? Tolong bicara?"

Pak Tio mengangkat kepalanya, mengusap air mata di ujung mata dengan sapu tangan dari saku. Setelah tenang dia berkata dengan terbata-bata.

"Sebelum Pardi ke gerbong tujuh belas, kami sempat berbincang. Dia mengatakan ingin menitip uang untuk anaknya padaku. Nanti selesai mengamen akan dia ambil. Aku menyetujuinya, jumlahnya waktu itu dua juta lima ratus. Kemudian Pardi meninggal dan uang itu ada padaku, aku gunakan untuk membiayai istriku yang ingin melahirkan." Pak Tio mulai menangis lagi.

"Harusnya aku menyerahan uang itu pada anaknya tapi aku mengingkarinya." Pak Tio menekuk kepalanya kebawah dan meremas-remas rambutnya. Sepertinya dia sedang menyesali perbuatannya. Aku tidak bergeming dari posisiku sementara Rika menatap Pak Tio dengan prihatin.

"Ketika ada penumpang tertentu yang mengatakan ada hantu banci di gerbong tujuh belas, aku tahu dia Pardi." Tiba-tiba Pak Tia memegang tanganku, wajahnya yang memelas menatapku dengan memohon, "Tolong katakan pada Pardi, uang itu tetap akan aku berikan pada anaknya. Aku selama ini mencari di mana anaknya berada, hanya saja aku belum punya uang. Mungkin lima bulan dari sekarang aku akan mengembalikan uang itu pada anaknya."

Aku menoleh pada Titi yang sepertinya tertegun, dia tidak lagi duduk namun berdiri memandang Pak Tio, "Apa kau dengar Titi?" tanyaku.

Dia mengangguk, "Beritahu dia, Cin. Aku mempercayainya." Suaranya bergetar, entah kenapa sekarang terdengar lebih samar dari sebelumnya.

Aku mengangguk."Titi mengerti, Pak. Dia percaya Pak Tio akan menepati janji."

"Allhamdullilah, terima kasih Pardi." Pak Tio memandang kursi kosong di sebelahnya, mengira Titi masih ada di sana.

Titi tersenyum, wajahnya berubah lebih pucat sekarang bahkan nyaris transparan, "Titi, apa yang terjadi denganmu?" Aku berdiri di depannya, Rika yang tidak bisa melihat apa-apa hanya terbelalak tidak mengerti begitu juga Pak Tio.

"Masalahku sudah selesai, Cin. Aku merasakan telah di panggil 'naik' oleh-NYA. Terima kasih atas bantuannya, Cin. Tolong sampaikan salam untuk anakku melalui Pak Tio. Bilang ayahnya selalu menyayanginya." Aku terhenyak mundur selangkah ketika perlahan-lahan sosok Titi yang tengah tersenyum memudar, sejurus kemudian hanya tinggal gumpalan asap lalu menghilang bersama tiupan angin. Aku mengembuskan napas panjang, merasa lega untuk hantu yang baru saja aku kenal.

"Dia sudah pergi, Pak. Katanya tolong sampaikan salam sayang untuk anak perempuannya." Pak Tio mengangguk, ucapan terima kasih terbata-bata keluar dari mulutnya.

Setelahnya aku dan Rika tidak kembali ke gerbong kami. Pak Tio yang merasa telah ditolong memberi kami asupan makanan dan minuman yang tiada habis. Tentu saja ini rejeki. Penumpang yang tadi kesurupan akhirnya sadar, memegang kepalanya dia merasa pusing dan berjalan sempoyongan ke gerbongnya.

Sesekali Jamil datang untuk mengobrol dengan kami, dia tahu bahwa kami adalah tamu istimewa Pak Tio, senior di kereta ini. Jamil mengatakan dengan terus terang bahwa dia suka dengan cewek pemberani seperti kami.

"Jadi, kamu suka aku apa, Mya?" tanya Rika dengan genit pada Jamil yang tertawa malu-malu.

"Itu, Mya, "jawabnya pelan.

Tawa Rika meledak, dia tidak berhenti menggoda Jamil. Aku tersenyum simpul dengan kopi di tangan. Mataku menatap jendela dengan pemandangan gelap karena malam sudah datang. Dari lubuk hatiku yang terdalam terbersit kerinduan amat dalam pada Dito. Baru hari pertama aku meninggalkannya dan kerinduan seperti menusuk jantungku

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro