Bab.14
Suasana di dalam kereta cenderung tidak terlalu ribut. Masing-masing penumpang duduk di bangku mereka dengan tenang. Dingin AC terasa menyegarkan membuat mata ingin terpejam. Aku duduk bersebelahan dengan Rika yang mengambil posisi di pinggir jendela. Sementara di depan kami adalah pasangan nenek dan kakek yang tengah tertidur pulas.
Aku melirik Rika, dia sedang asyik dengan ponselnya. Mungkin sedang main sosmed atau chatting nggak jelas, Rika punya kebiasaan aneh nggak bisa lepas dari ponselnya. Kurapatkan jaket untuk mengusir dingin.
Untuk menghilangkan kebosanan, aku mengeluarkan buku yang diberikan Mbah Uti, meletakkan di atas pangkuan dan mengelus sampulnya yang berbau harum. Sejenak merasa aneh, buku tua yang sudah menguning tapi berbau harum. Kudekatkan ke hidung dan mencium wangi cendana yang kuat.
Sial!
Mendadak dia berdiri santai tepat di depanku, sesosok makluk aneh dengan senyum tersungging di bibirnya yang menor. Sekilas aku melihat dia memakai semacam rok legging yang ketat dan pendek, menampilkan tubuhnya yang gempal. Aku merusaha mengabaikannya. Tidak memandang matanya meski aku merasakan dia menatap lekat.
"Jangan pura-pura nggak lihat, Cin." suaranya terdengar manja, aku abaikan. "aku tahu kamu bisa melihatku. Ayolah, Cin?"
Diam, tidak bersuara, jangan bergerak.
Mendadak dia bergerak dan tanpa suara dia duduk di lengan kursi untuk mengelus ringanku, membuat bulu kuduk merinding dan nyaris membuatku terjungkal karena kaget.
"Lo, apa-apaan sih?" Aku berteriak keras, makluk itu menempelkan jarinya di depan mulut membuatku tersadar. Sepasang nenek kakek di depanku tersentak kaget dari tidurnya. Aku mengangguk ke arah mereka untuk meminta maaf. Keduanya kembali terkulai.
"Lo kenapa, Mya?" Rika bertanya heran, aku mengembuskan napas panjang merasa malu dengan penumpang lain yang menatapku aneh. Sial!
"Mau apa, lo?" Aku bertanya sambil duduk kembali di kursi, tangan bersendekap untuk menghilangkan rasa kesal karena berteriak keras di dalam kereta.
"Aih, judes amat. Situ cewek cantik, Cin. Jangan judes napa?" Makluk itu tersenyum tampak lebih mengerikan dari sebelumnya.
"Mya, ada apa sih?" Rika menjawil lenganku. Aku menoleh padanya dan mengedikkan bahu, "Ada bangsa Dito, di sampingku."
"Apa?" Rika berjengit kaget.
"Sstt, santai. Gue bisa atasi." Rika mengangguk ngeri.
"Lo, hantu banci. Ikut gue ke kamar kecil," desisku pada makluk aneh itu, sesosok hantu laki-laki yang berpakaian perempuan dan berbicara layaknya perempuan. Kulihat sekilas dari ekor mata dia meloncat girang. Sebelum pergi aku sempat mengeluarkan tongkat kayu cendana, hantu itu mengkeret ketakutan melihat tongkat di tangan namun terdiam saat aku berjalan lurus ke kamar mandi. Kurasakan dia melayang di belakang.
"Oke, ada apa lo? Mau ngapain?" Aku berdiri tepat di sambungan rel. Di bawahku mesin lokomotif bergerak di atas rel.
"Aku mau minta bantuan kamu, Cin?"
"Bantuan apa?" Hantu itu tersenyum lemah, dia sedikit menjauh ketika tidak sengaja tanganku bermain-main dengan kayu cendana.
"Itu, Cin. Bisa di simpan dulu nggak? Eike takut." Tunjuknya pada kayu.
"Dasar banci!" aku menggerutu, menaruh kayu di belakang tubuhku. "udah ngomong ada apa? Kelamaan gue balik nih?"
"Nggak, aku ngomong sekarang, oke? Nama asliku Pardi, tapi di kereta ini aku di panggil Titi." Dia berbicara dengan cepat.
"Trus."
"Aku nggak tahu kenapa mendadak mati dan jadi hantu gentayangan di kereta ini, aku pernah pingin pergi tapi nggak bisa. Aku udah nggak tahan, Cin. Terkadang ada penumpang yang kebetulan orang berilmu sengaja membuatku sengsara. Tolong Eike, Cin?"ucapnya sambil meremas tangan dan wajah memelas.
"Tolongnya gimana, coba? Gue nggak pernah nolong hantu sebelumnya." Aku memandangnya dengan sebal sekaligus sedih mendengar kisah hidupnya.
"Kayaknya nih, Cin. Kalau aku tahu penyebab kematianku maka otomatis aku bisa 'naik' dan nggak tertahan di kereta ini." Dia berucap sambil mengedipkan mata dengan genit. Aku balas melotot padanya.
"Gimana mau cari tahu? Sama siapa coba?" Suaraku meninggi, dia menunduk dan sedetik kemudian menggelengkan kepala.
Kuembuskan napas panjang dan merasa frustasi. "Anggap saja gue tanya sama masinis atau petugas kereta, lo tahu nggak keadaan kereta udah nggak sama lagi kayak jaman lo dulu hidup? Lo lihatkan, nggak ada lagi pengemis dan pengamen masuk ke dalam kereta?" Dia mengangguk sekali lagi.
Suara lokomotif kereta membuat kami mendongak, tidak berapa lama kereta melewati lampu merah karena terdengar suara lintasan yang menutup. Aku memandang jendela dengan pemandangan luar yang nampak kabur dengan diam.
"Mya, lo ngapain?" Suara Rika tiba-tiba terdengar dari arah pintu yang terbuka. Aku nggak mendengar langkahnya karena suara mesin sangat keras.
"Ini, ada hantu banci minta tolong. Gue bingung."
"Apa perlu gue ambilin tasbih?" suara Rika terdengar takut-takut. Matanya memandang sekitar dengan liar.
"Jangaaan, gue bisa atasi kok." Rika mengangguk, lalu menatap sekeliling dengan liar."Ada di mana dia?" tanya Rika.
Aku menunjuk Titi yang berdiri tepat di depanku. Hantu itu dengan mata terbelalak menatap Rika.
"Titi, itu Rika. Rika itu Titi." Aku memperkenalkan mereka sambil lalu, pikiranku menerawang untuk mencari jalan keluar bagi masalah Titi. Aduh, kenapa gue jadi repot gara-gara makluk ini sih?
"Rika, Titi ini mati di dalam kereta. Tepatnya mungkin di gerbong tujuh belas, karena gue lihat di selalu melayang di gerbong itu. Tapi dia nggak tahu mati karena apa?"
"Trus, masalahnya?" Rika bertanya heran, kali ini aku memuji keberaniannya. Biasanya jika menyangkut hantu, Rika akan sangat ketakutan.
"Masalahnya, dia minta tolong. Selesai?" Rika manggut-manggut, Titi tersenyum manis padaku dan mendadak membuatku muntah melihat penampilannya. Aduh, kalau hidup umurnya mungkin berkisar tiga puluhan, seorang bapak yang berdandan menor kayak perempuan dan tersenyum padaku. Kalau aku nggak pingsan, udah bagus.
"Lo mau nolong dia?" Rika menjawil lenganku.
"Mau nggak mau, kan? Emang enak apa naik kereta lihat hantu banci melayang di depan lo?" Rika mengangguk, Titi bertepuk tangan bahagia.
"Thanks ya, Cin." Titi menjawil lenganku.
"Berisik, Lo. Nyusahin gue aja." Dia tidak mengindahkan gerutuanku.
Aku harus bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau nggak, alamat nggak bisa tidur dalam perjalanan kali ini. Dito oh Dito, kenapa besar sekali pengorbananku untuk bisa melihatmu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro