Bab.12
Aku memandang kayu cendana di tangan, terasa hangat, kuat dan wangi samar menguar dari dalam kayu. Dito berdiri di sampingku, rasanya belum terbiasa melihat sosok seperti asap melayang menemaniku. Wajahnya selalu tersenyum, memadangku seakan aku hal satu-satunya yang bisa dia lihat. Uh, hatiku bergetar karena pandanganya. Tahan diri Mya, masa grogi gara-gara hantu? Dia emang cakep, tetap aja nggak bernapas. Huft, aku berusaha menguatkan diriku sendiri.
"Jadi, kalau ada makluk gaib yang super duper jahat. Aku bisa menggunakan kayu ini untuk mengalahkan mereka?" Aku memcoba membuka percakapan dengannya.
Kami berduaan di halaman belakang. Mbah Uti menyuruhnya untuk membantuku bagaimana caranya menggunakan kayu sebagai senjata.
"Iyaa," dia menjawab singkat pertanyaanku.
"Kalau yang baik?"
"Tidak perlu."
Aku terdiam, memikirkan pertanyaan selanjutnya yang ingin kuajukan. Matahari sore tidak terlalu menyengat, Diti berdiri di bawah bayang-bayang pepohonan.
"Dari mana aku bisa mengenali yang baik dan yang jahat?"
Dito melayang pelan, bergerak anggun seperti seorang penari. Sungguh hantu ningrat yang luwes."Yang baik, dia akan mengikutimu atau meminta tolong padamu untuk menyelesaikan masalah mereka di dunia. Selanjutnya mereka pergi ke atas jika masalah mereka sudah selesai, tapi yang jahat akan mempengaruhi manusia atau bahkan dirimu untuk membantu berbuat kejahatan."
Aku bergidik ngeri mendengar penjelasannya."Apa? Untungnya apa jika mereka mempengaruhi manusia untuk berbuat kejahatan?" Aku heran dengan pemikiran ini.
"Itu ya, mereka akan abadi," jawab Dito lembut.
"Hah, tapi kamu nggak jahat tapi abadi sampai sekarang?" Dito tersenyum samar mendengar jawabanku. Dia melayang pelan dari semula di bawah pohon sekarang berdiri di hadapanku.
"Tidak ada makluk ciptaan-Nya yang abadi Mya, aku pun bisa musnah dengan cara tertentu. Tempo hari contohnya."
"Oh begitu?" Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Dito.
Sore itu kami habiskan berdua berada di belakang rumah. Dito mengajariku cara mengayun, menusuk dan memukul dengan kayu cendana di tanganku. Untunglah aku punya bekal ilmu bela diri, setidaknya aku mengerti sedikit tentang jurus yang dia ajarkan. Guru yang tampan, sayang tidak bernapas.
"Mya, Dito itu gimana? Gantengkah?" Rika bertanya padaku secara blak-blakan, saat kami sedang makan malam. Aku mengerutkan kening, bingung mau menjawab bagaimana karena ada Dito tengah berdiri tidak jauh dan memperhatikan kami makan.
"Ayolah, terus terang saja," desak Rika tak sabar.
Aku merasa wajahku memanas. Dasar, Rika! Nggak peka amat itu anak. Emang dia nggak bisa lihat ada Dito tapi seenggaknya, tanya kalau kami hanya berdua di kamar. Bukan di sini.
"Bumi memanggil Mya." Rika melambaikan tangan ke depan wajahku. "Malah nglamun."
"Eh ... lumayan." Aku menjawab pelan, melalui ekor mataku aku melirik Dito. Kulihat dia menaikkan alis kanannya. Wait? Hantu bisa menaikkan sebelah alis?
"Diskripsi lumayan itu bagaimana?" Rika kembali mendesak, dengan mulut penuh makanan. Rasanya ingin kubungkam mulut Rika pakai sambel. Rasa ingin tahunya membuatku serba salah.
"Pokoknya begitu, mirip aktor Adipati Dolken." Aku menjawab sekedarnya. Dan menundukkan kepalanya nyaris menyentuh piring.
Rika mengangguk. "Ehm, ganteng kalau gitu. Coba gue bisa lihat dia juga, gue ajak pacaran itu Dito."
"Uhuk-uhuk-uhuk!" Aku tersedak nasi, Rika menggebuk punggungku pelan. Menyodorkan air minum dan tissue untuk mengelap mulut.
"Kamu tidak apa-apa?" Dito sudah melayang maju di depanku. Matanya memandang kuatir.
"Nggak, cuma kesedak nasi," jawabku tanpa memandang wajahnya.
"Hah, pasti lo lagi bicara sama Dito. Mbah Uti tidak adil, masa cuma elo yang bisa lihat dia. Gue juga mau." Rika terus menggerutu sambil mengelus punggungku. Aku menoleh padanya, memandang wajahnya yang cemberut.
"Bukan hanya Dito tapi yang lain juga kelihatan. Misalnya kunti di belakang juga gondoruwa di depan. Lo yakin mau lihat?"
"Hah?Gitukah? Kagak jadi kalau gitu, gue nyaman saja sama keadaan sekarang." Rika bangkit dari tempat duduknya dan melambai genit.
"Dah Dito, Aku mau masuk dulu. Bye ...." Kulihat Dito tertawa samar melihat tingkah Rika, aku menggelengkan kepala.
"Dia mirip Mbah Uti waktu muda," ucap Dito sambil memandang kepergian Rika.
"Benarkah?"
"Iya, ceria dan setia kawan. Itulah Mbah Uti." Aku mengangguk mendengar perkataan Dito. Selanjutnya kami mengobrol banyak hal di ruang makan, tentang masa-masa penjajahan Belanda saat Dito masih hidup. Tentang bagaimana cantiknya ibu Dito yang ternyata memang mirip sekali denganku. Setelah aku melihat lukisan yang disodorkannya, sedikit kaget saat melihat wanita anggun dengan kebaya dan sanggul cantik di rambutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro