Bab.11
Aku menatap sosok di hadapanku sampai nyaris tak berkedip dan jantung berdebar tak karuan. Ada sesuatu di bola matanya yang bersina samar saat memandang dan membuat mulut bagai terkunci. Aku melangkah pelan mendekatinya, grogi rasanya.
"Dito?" Dia tersenyum dengar sapaanku.
"Akhirnya aku bisa melihatmu." Dengan gegabah aku menyentuhnya, namun seperti menyentuh asap. Aku berjengit kaget, mengusap telapak tanganku. Dia masih berdiri di sana tak bergeming, tersenyum ramah seakan-akan kami telah mengenal lama sebelumnya.
"Dia hanya sosok Mya, tidak bisa disentuh." Suara mbah Uti menyadarkanku. Aku tersenyum kembali memandang Dito.
"Nggak apa-apa, yang penting bisa melihat dan mendengar suaramu." Tanpa sadar aku mengucapkan isi hati keras-keras dan detik itu juga merasa malu.
"Iya ...." Dia menyahut pelan.
Selanjutnya, aku tak mampu berkata-kata, hanya berdiri memandang wajahnya yang tampan berwibawa. Senyum samar yang membuat jantungku menggelepar dan juga sinar matanya yang tajam namun memancarkan kehangatan. Dia memakai baju beskap putih, kata Mbah Uti itu nama baju untuk dipakai orang bangsawan jaman dulu. Celana panjang putih dan secarik kain batik terlipat rapi menutupi pinggang dari dalam baju beskapnya. Aku tidak tahu apakah dia memakai alas kaki karena terlihat samar di sana, dia melayang, hanya itu yang aku tahu.
"Wei, kalian bertiga ngapain sih? Gue nggak bisa lihat Dito juga?" Suara manja Rika mengagetkan aku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
"Dito, ini Rika cucu Mbah Uti. Kamu tahu dia jugakan?" tanyaku pada Dito dan dia mengangguk.
"Hai, Dito!" Rika melambai kearahku. Matanya menyipit seakan berusaha menembus apapaun yang tak terlihat di depan matanya. Tiba-tiba dia berdiri, menggerak-gerakan tangannya untuk menggapai sesuatu.
"Lo ngapaian sih?" Aku bertanya heran.
"Mau peluk Dito, dapat nggak?"
"Orangnya di situ." Aku menunjuk tempat Dito berdiri. Kira-kira sejengkal dari tempat Rika.
"Oh, otw." Rika bergerak cepat kearah yang aku tunjuk, dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tangannya seperti menembus badan Dito.
"Bagaimana Mya?" tanya Rika antusias.
Aku menggeleng. "Nggak bisa, dia nggak tersentuh."
"Oh, gitu, ya? Sayang sekali," ucap Rika sambil mendengkus pelan.
"Sudah main-mainnya Rika, duduk dulu. Mbah mau jelasin sesuatu." Suara teguran dari Mbah Uti membuat Rika mengangguk pasrah. Aku berdiri menatap mbah Uti.
"Mya, setelah kamu bisa melihat Den Mas maka hidupmu tidak akan sama lagi. Tidak semua hal gaib itu baik seperti Den Mas, ada juga yang jahat. Mbah Uti memperingatkan kamu dulu." Aku mengangguk meski ada rasa takut menyeruak di dadaku.
Seakan mengerti akan ketakutan yang kurasakan Dito melayang pelan dan berdiri tepat di sampingku.
"Ini kau ambillah." Mbah Uti menyerahkan kayu cendana. Aku menerimanya dengan bingung. Berpandangan dengan Dito.
"Ini untuk apa mbah?"
"Nanti bisa kau gunakan saat ada makluk gaib jahat yang menganggumu. Den Mas akan mengajarimu caranya." Mbah Uti bicara dengan mata memandang hantu ningrat di sampingku. Nada suaranya seakan menyiratkan permohonan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro