[XXI]. Pertengkaran
Edo terus memerhatikan gadis yang sejak tadi tak berhenti bergerak tersebut. Hari ini Tata mengundangnya untuk makan malam. Dengan Tata sendiri yang akan memasakkan makan malam mereka. Edo punya rasa curiga mengapa gadis ini mengundangnya, namun sebelum Tata bicara, ia tak ingin mengambil kesimpulan. Karena itu Edo tak banyak bertanya kala Tata mengundangnya.
“Ta, bisa duduk diam nggak sih?” pinta Edo yang akhirnya jengah juga karena gadis itu yang tak bisa diam.
“Sebentar, Do.” Hanya itu jawaban Tata. Gadis itu kembali sibuk dengan memindahkan beberapa barang. Tak lama Tata sudah tiba di hadapan Edo dengan sebuah tas berukuran sedang.
“Apa ini?” tanya Edo kala Tata menyerahkan tas padanya.
“Itu buat kamu.”
Alis pria ini terangkat. “Buat apa?”
“Buat kamu. Sebagai kenang-kenangan.”
Edo memeriksa isi dalam tas. Beberapa barang kerajinan baik dari kayu dan porselen. Pria ini tak mengerti apa maksud Tata memberikan barang-barang itu padanya. Barang-barang yang Tata kumpulkan jika gadis itu bepergian ke luar kota atau luar negeri.
“Maksudnya apa ini Ta?” tanya Edo butuh penjelasan.
Tata menghela napas pelan sebelum bicara. “Do, aku mengundurkan diri dari Digdaya?”
“Apa?” pekik Edo tak percaya. Tata hanya balas mengangguk. “Kenapa?”
Tata tak ingin bercerita. Ia ingin memendam masalahnya seorang diri. Namun tatapan menuntut dari Edo tak bisa Tata abaikan. Bagaimanapun selama ini Edolah orang yang selalu ada untuknya. Maka dengan berat hati, Tata menceritakan segalanya. Tentang keinginan terselubung ayahnya. Tentang Asanka yang melamarnya. Semua, tanpa ada satupun yang terlewat. Minus ciuman yang dilakukan Asanka terhadapnya. Mana mungkin Tata akan mengatakan hal itu pada Edo.
“Ta...”
“Mungkin ini yang terbaik, Edo. Melarikan diri mungkin memang cara paling pengecut. Tapi aku nggak tahu lagi harus gimana menghadapinya.”
Edo tertegun. Ingin berucap tapi seolah lidahnya tertahan. Ia bahkan tak tahu argumen apa yang harus dia katakan untuk mematahkan segala keinginan Tata. Namun satu hal, saat ia mendengar Asanka yang mengajak gadis ini menikah, seperti ada tikaman belati tertajam menghujam jantungnya. Tetapi mendengar bagaimana Tata bahkan tak menjawab keinginan Asanka, ada kelegaan juga terbersit di hatinya. Tapi bukan berarti mendengar penuturan Tata untuk melarikan diri juga membuatnya setuju.
“Tata... enggak ada pilihan lain lagi?” tanya Edo. Tata menggeleng lemah. Tahu bahwa ia tak akan bisa menggoyahkan keputusan gadis di depannya ini, Edo menghela napas kasar. “Lalu kamu mau ke mana?”
“Pulang.”
Satu kata dari Tata membuat Edo tahu ke mana gadis itu akan pergi. Pulang, hanya ada Lestari sebagai rumahnya. Jadi sudah pasti Tata akan kembali ke rumah ibunya yang saat ini berada di pulau sebelah.
“Kamu yakin? Apa yang akan kamu lakukan di sana nanti, Ta? Bagaimana dengan passion kamu? Menjadi senior copy writer yang menghasilkan banyak iklan fantastis.”
Tata tersenyum. Ia tak akan lupa dengan impiannya. Namun yang membuatnya tersenyum adalah bagaimana Edo masih mengingat hal itu. Masih berusaha mempersuasi Tata akan keputusannya. Apa Edo berpikir bahwa Tata akan selamanya melarikan diri?
“Aku kan nggak akan selamanya berhenti Do. Akan ada waktunya aku kembali lagi ke dunia kerja.”
“Dan saat itu mungkin akan susah bagi kamu. Fresh graduate akan selalu tercipta setiap tahunnya. Umur kita yang nggak muda akan sulit membuat kita bersaing dengan wajah baru dan ide-ide mereka yang masih segar.”
“Kok pesimis sih, Do?” sungut Tata. “Kemampuan nggak akan berbohong. Aku yakin dengan kemampuanku. Kalaupun aku nggak bisa bekerja lagi, aku tinggal nikah kan?”
Perkataan asal yang dieslingi tawa Tata. Namun tidak dengan Edo. Pria itu justru menatap intens padanya.
“Do… kok ngelihatinnya gitu amat?” tanya Tata yang mulai tak nyaman dengan tatapan tak terbaca Edo.
“Kalau nikah sama aku mau?”
Rasanya darah berkumpul semua di wajah Tata. Sudah cukuplah ia dibuat bingung dengan ayahnya dan Asanka. Jangan Edo lagi. Mungkin Tata tak akan sanggup dan berakhir dengan melarikan diri dari hadapan mereka semua. Tanpa berniat untuk menampakkan dirinya lagi.
Melihat Tata yang terdiam kaku, Edo merilekskan ekspresi seriusnya. Pria itu tertawa seraya mengacak puncak kepala Tata.
“Serius amat sih,” ucap Edo dengan tawa berderai.
Tata mencoba ikut tertawa. Namun ia tahu ada kecanggungan di sana. Ia tahu Edo senang bercanda dengannya. Namun entah mengapa kali ini Tata bisa melihat ada keseriusan dalam candaannya.
Saat keduanya berdiam, mereka dikejutkan dengan ketukan pintu yang terus menggema. Keduanya menolehkan wajah ke arah pintu. Terlebih saat seseorang di luar sana tak henti memanggil nama si pemilik rumah. Bergegas Edo dan Tata beranjak menuju pintu depan. Dan kala Tata membuka pintunya, wajah mengeras Asanka lah yang pertama kali gadis ini lihat.
“Pak Asanka?” tanya Tata hati-hati.
Asanka yang sudah tak bisa menahan emosinya hanya mengacungkan surat pengunduran diri Tata yang ia bawa. Napasnya memburu, ekspresi wajahnya benar-benar membuat Tata bergidik.
“Apa maksud kamu dengan surat ini?”
Mata Tata mengerjap, sebelum menjawab ia menarik napas perlahan. “Surat pengunduran diri saya.”
“Tapi kenapa Nirbita?” tanya Asanka. Ada nada frustrasi yang kentara dalam suaranya.
“Saya...”
“Kalau hanya karena lamaran bodoh saya, kamu nggak perlu berbuat seperti itu. Saya bisa tarik kalimat tolol saya itu. Tapi bukan begini caranya Nirbita. Tolong bersikap profesional. Jangan kekanakan seperti ini dengan melarikan diri!”
Ucapan tegas Asanka menyentil diri Tata. Namun entah mengapa sudut hati Tata merasakan secuil rasa sakit. Terlebih saat Asanka mengatakan untuk menarik kembali kalimat bodohnya saat melamar Tata. Jika begitu adanya, apa tak ada keseriusan dalam permintaan pria itu? Apa ia hanya menganggap semua ini lelucon? Apa Asanka mempermainkan Tata?
“Maaf Pak Asanka tapi itu hak saya untuk tetap bekerja atau memutuskan berhenti.”
“Tapi kamu nggak bisa seenaknya seperti ini!”
Suara keras Asanka membuat Tata terperanjat. Tubuhnya menegang. Edo yang merasa Asanka sudah keterlaluan mengambil alih pembicaraan. Pria itu merangkul Tata yang tampak defensif.
“Maaf, tapi anda sudah keterlaluan Pak Asanka.”
Asanka menatap tajam Edo. Namun yang ditatap hanya menampilkan ekspresi biasa saja. Tak merasa terintimidasi.
“Saya minta jangan ikut campur, Ferrando. Ini urusan saya dan Nirbita. Jadi bisa tinggalkan kami untuk bicara?”
“Maaf sekali lagi, tapi ini jadi urusan saya. Tata teman saya. Dan saat ini bukan jam kantor, jadi Anda tidak punya hak untuk mengintimidasi kami sebagai atasan.”
Cukup sudah. Kesabaran Asanka sudah habis. Selama ini ia selalu bisa mengontrol dirinya. Namun tidak kali ini saat satu pukulan menghantarkan Edo meluruh di lantai.
“Edo!” jerit Tata yang berusaha membantu Edo berdiri.
Edo yang tak terima dengan perlakuan Asanka, justru bangkit dan membalas pukulan pria itu. Jadilah keduanya saling baku hantam di ruang tamu Tata yang luasnya tak seberapa. Tak ada yang ingin mengalah. Tata sendiri panik. Tak tahu harus berbuat apa. Hingga hal konyol gadis itu lakukan. Ia mengambil sebuah pot keramik berukuran kecil dan melemparkannya ke lantai hingga bunyi nyaring terdengar.
“Berhentiiii!!!” jerit Tata dengan napas memburu.
Kedua pria itu akhirnya bisa teralihkan. Mereka yang saling mengerat kerah pakaian masing-masing menoleh ke arah Tata. Ada rasa bersalah kala melihat mata gadis itu sudah berkaca-kaca.
“Tolong berhenti...” pinta Tata dengan nada lelah.
“Tata...”
“Nirbita...”
Kedua lelaki itu berusaha menjangkau Tata namun tangan kanan gadis itu terentang menghentikan mereka. Seumur hidup, Tata paling takut berhadapan dengan yang namanya pertengkaran. Sekali ia hanya melihat kedua orangtuanya bertengkar sebelum bercerai. Dan itu cukup meninggalkan trauma mendalam bagi Tata. Dan kini, dua pria yang mengaku sudah dewasa justru bertindak kekanakan dengan berkelahi di depan matanya. Tata benar-benar shock. Ia tak sanggup melihat semua itu.
“Bisa tolong tinggalkan aku sendiri?” pinta Tata kemudian.
“Ta...”
“Tolong...”
Asanka yang masih berusaha menjangkau Tata, seketika langkahnya dihentikan Edo dengan memegang lengannya. Dengan gelengan, Edo mengisyaratkan Asanka untuk tak datang mendekat pada Tata. Mengerti akan isyarat itu, Asanka pun harus berpasrah. Sebelum keduanya beranjak ke pintu depan, keduanya berpamitan dan berpesan pada Tata untuk menjaga dirinya. Begitu pintu tertutup, tubuh Tata meluruh di lantai. Tak ada yang gadis itu bisa lakukan selain menangis.
...
Kedua pria yang baru saja baku hantam itu kini duduk berhadapan. Dengan segelas kopi di depan masing-masing. Dengan wajah yang cukup berantakan, keduanya mencoba bicara. Namun hingga detik berlalu, tak ada yang mencoba membuka suara.
“Saya minta maaf.” Asanka akhirnya mulai bicara.
“Saya juga minta maaf,” balas Edo sembari menarik gelas kopinya. Ia menyeruput perlahan. Dan meringis kecil saat merasakan nyeri di sudut bibirnya bekas pukulan Asanka.
“Saya emosi.”
“Saya tahu. Karena Pak Asanka cemburu kan?”
Asanka melirik Edo dari balik gelas kopinya. Sejauh apa Edo tahu mengenai hubungannya dan Tata. Kalau kedekatakan mereka selama ini bisa dikatakan sebuah hubungan.
“Tata sudah cerita semua.”
Kali ini Asanka tak bisa tak acuh. Ia meletakkan gelasnya. Dan memfokuskan tatapan pada Edo. Seberapa dekat hubungan pria ini dengan Tata selama ini? Hingga gadis yang begitu tertutup bagi Asanka itu mau membuka suaranyaa pada Edo.
“Sedekat apa hubungan kamu dan Nirbita?” Asanka tak tahan lagi dengan rasa penasarannya.
“Cukup dekat. Paling tidak bagi Tata sayalah satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya setelah Ibunya.”
Kembali Asanka dibuat terkejut. Bahkan Edo mengenal Ibu Tata. “Seperti apa Nirbita yang sebenarnya?”
“Tata itu perempuan yang cukup tertutup. Tata nggak membatasi dirinya dalam bergaul. Tapi bukan berarti dia membiarkan orang lain tahu segala hal dalam hidupnya. Tata lahir dari keluarga yang tak utuh. Ayah dan Ibunya bercerai saat Tata berumur 6 tahun. Sejak saat itu Tata tidak pernah merasakan yang namanya figur Ayah.”
Informasi ini sudah membuat Asanka tercengang. Kini pria itu cukup bisa menarik kesimpulan mengapa Tata begitu antipati berdekatan dengan pria.
“Itu yang membuat Tata selalu bersikap skeptis pada laki-laki?” pertanyaan yang sebenarnya berupa pernyataan dari Asanka dibalas anggukan dari Edo.
“Itu juga yang membuat Tata enggan menjatuhkan hatinya pada laki-laki. Tata nggak pernah jatuh cinta. Dia hanya merasa nyaman dengan pria. Tapi belum tentu akan mempercayakan hatinya pada kaum kita. Tata terlalu takut, apa yang menimpa Ibunya akan juga menimpa dirinya.”
Beberapa saat kedua pria itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Bahkan kopi yang terlalu lama diabaikan mulai mendingin.
“Kenapa kamu nggak pernah ngaku pada Tata bahwa kamu... cinta sama dia?”
Pertanyaan yang jauh dari topik mereka namun mampu memancing perasaan pada Edo untuk keluar. Pria itu hanya memandang Asanka dengan tatapan putus asa.
“Karena akan sulit menjadi seperti semula kalau saya mengungkapkan perasaan saya ke Tata.” Mata Edo memancarkan kesungguhan. “Tapi saya tahu, Tata mulai goyah karena Anda”
Asanka mendengkus. “Goyah? Kamu bahkan nggak tahu bagaimana gilanya saya karena perasaan saya digantung tidak jelas oleh perempuan itu.”
Senyum Edo terkulum. Ia tak menyangka Bos besar mereka ini bisa menampilkan mode jengkel hanya karena perasaannya dibuat terombang ambing oleh Tata.
“Mungkin sedikit usaha lagi akan membuat Tata luluh. Dia sedang bingung. Di satu sisi dia bingung dengan permintaan Anda yang tiba-tiba. Di sisi lainnya, dia makin bingung karena kehadiran Ayahnya yang Tata pikir ingin memperbaiki hubungan anak dan Ayah yang lama terputus. Namun nyatanya Ayahnya tetap menorehkan luka pada Tata dengan seenaknya memutuskan menjodohkan Tata demi kepentingan mereka.”
Informasi yang kembali membuat Asanka tercengang. Betapa Edo bisa dengan mudah mengetahui sisi-sisi terdalam Tata. Sesulit itukah baginya untuk masuk ke dalam kehidupan Tata?
...
Isekai, 15/05/21
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro