Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[XVIII]. Saatnya Menghadapi

Lama Asanka berdiam di dalam mobilnya. Sejak kepergian Edo dari rumah Tata, tangan pria itu masih terus mencengkeram erat setirnya. Darah Asanka mendidih. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa cemburunya atas hubungan Tata dan Edo. Pria itu benar-benar tak akan ragu lagi untuk menunjukkan perasaannya pada Tata mulai saat ini.

Saat tengah berpikir, ponsel Asanka berdering. Nama pemanggil tertera jelas di layar. Walau enggan, Asanka tetap menjawab panggilan.

“Ya, Pa?”

Di mana kamu?” tanya sang papa tanpa basa basi.

Asanka tak menawab ia justru malah kembali bertanya. “Ada apa Papa telepon?”

Papa cuma mau kasih tahu, kalau minggu ini, Junita dan keluarganya akan datang.”

Asanka menghela napas. Apa lagi ini?

“Pa?” Asanka mulai bicara. “Berapa kali Asa katakan, hubungan kami nggak akan berhasil.”

Dicoba, Sa. Kamu nggak akan tahu sebelum mencoba.”

“Tapi Asa mencintai perempuan lain.”

Dan saat kalimat itu terucap, seketika itu juga sambungan diputus sepihak oleh sang ayah. Entah bagaimana lagi Asanka dapat meluluhkan kedua orangtuanya. Bahwa ia ingin bahagia dengan orang dicintainya. Bahwa perasaaan tak akan bisa dipaksakan. Karena nantinya yang akan menjalani kehidupan berumah tangga itu adalah ia dan pasangannya. Siapa yang bisa menjamin bahwa jika Asanka dan Junita akan bisa membangun bahagia dalam biduk pernikahan mereka.

Dan siapa yang bisa menjamin bahwa ia dan Tata akan bahagia? Bisik hati kecil Asanka.

Asanka menyandarkan dahi ke setir kemudinya. Ia lelah. Ia lelah dengan segala tekanan. Ia lelah dengan perasaannya yang tak kunjung mendapat kepastian dari Tata. Jika ia mau, mungkin Asanka bisa memaksakan perasaannya pada Tata. Tapi ia tahu, Tata bukanlah perempuan yang bisa didesak. Bahkan ia tahu sesulit apa untuk bisa dekat dengan gadis keras kepala itu. Dan setelah ia bisa masuk perlahan-lahan ke kehidupan Tata, mana mungkin Asanka merusak segalanya dengan sikap memaksanya.

Asanka menatap lama layar ponselnya yang meredup. Lalu tangannya bergerak menyentuh layar. Menggulirkan pada kontak dan menemukan satu nama yang seharian ini selalu mengganggunya. Mencoba peruntungan, Asanka menghubungi kontak bernama Nirbita di ponselnya. Beberapa saat panggilannya tak kunjung disahuti. Hingga saat Asanka ingin menyerah suara serak dari ujung sana menyahut.

Halo?

“Apa saya mengganggu tidur kamu, Nirbita?”

Tanpa perlu melihat siapa yang menghubunginya, Tata tahu dia, Asanka. Sejujurnya, Tata merasa bersalah sekaligus merasakan rindu atas sikap pengecutnya beberapa waktu lalu menghindari Asanka. Bukan Tata sengaja ingin menghindari pria ini. Ia hanya masih bingung akan perasaannya. Juga keputusan apa yang akan ia berikan perihal pernyataan Asanka.

Saya juga baru kebangun. Bapak di mana?” tanya Tata penasaran. Entah memang hanya firasat tapi Tata merasa Asanka begitu dekat dengannya.

“Kalau saya bilang, saya ada di depan rumah kamu?”

Refleks Tata bergerak bangun dari posisi berbaringnya. Walau serangan pusing melandanya Tata tak peduli. Ia bergegas menuju pintu depan rumahnya. Saat akan memutar handle pintu, Tata baru ingat, mungkin Edo mengunci pintunya dari luar. Perlahan Tata menyingkap tirai di jendela, dan melihat mobil Asanka masih bertengger manis di depan rumahnya. Bergerak cepat menuju lemari hias di mana Tata biasa menyimpan kunci cadangan rumahnya. Lalu bergegas membuka pintu.

Begitu melihat pintu rumah Tata, Asanka keluar dari mobilnya. Apalagi saat ia melihat berjalan mendekat ke arahnya dengan ponsel masih di telinga. Sama seperti yang saat ini ia lakukan. Keduanya sama-sama mendekat. Hingga mereka berdiri berhadapan yang dibatasi pagar kayu setinggi pinggang rumah Tata.

“Apa saya mengganggu?” tanya Asanka. Tata menggeleng.

Kedua orang itu seperti orang tolol yang walau berhadapan namun masih berbicara melalui ponsel. Andai keadaan tak secanggung ini, mungkin Tata ataupun Asanka akan menertawai kebodohan mereka.

“Kamu sakit apa, Nirbita?” tanya Asanka akhirnya. Pria itu menyudahi kebodohan mereka dengan lebih dulu mematikan sambungan telepon. Lalu membuka pagar kayu dan memasuki pekarangan rumah Tata.

“Demam,” jawab Tata singkat.

“Sudah minum obat?” Tata menggeleng. “Sudah makan?”

Kali ini Tata mengangguk. “Tadi dibawain bubur sama Edo.”

Wajah Asanka berubah masam. Kenapa selalu Edo. Walau ia tahu kemungkinannya, namun Asanka tetapp tak menyukai jika Edo selalu mendahuluinya.

“Nirbita...”

Asanka menahan pergelangan tangan Tata yang akan melangkah masuk ke rumahnya. Gadis itu berbalik. Matanya memancarkan tanya. Lalu melirik pada pergelangan kanannya yang dicekal Asanka.

“Nirbita... will you marry me?”

Akhhirnya... seperti yang Edo katakan. Tata memberikan kesempatan pada ayahnya untuk bisa dekat dengannya. Meski sebelumnya Tata masih terus berdebat dengan dirinya sendiri. Sanggupkah ia membuka pintu maaf pada pria yang telah menelantarkannya sekian belas tahun. Tata bahkan menghubungi ibunya untuk meminta pendapat beliau. Dan seperti yang Tata duga, ibunya bukanlah wanita pendendam. Justru wanita itu juga menyarankan untuk membuka komunikasi dengan ayahnya. Agar Tata mendapatkan ketenangan.

Maka di sinilah Tata saat ini. Berdiri di depan pintu masuk restoran yang dijadikan ayahnya sebagai tempat jamuan makan malam. Walau Tata tak mengerti kenapa hanya untuk sekedar makan malam harus dilakukan di tempat semewah ini. Namun sekali lagi Tata berusaha untuk tak menaruh curiga. Setelah memastikan dress yang dikenakannya cocok untuk acara makan malam di restoran mewah ini, Tata melangkah masuk. Matanya berusaha mencari meja di mana keluarga baru sang ayah duduk. Dan tak butuh waktu lama saat Tata melihat lambaian tangan ayahnya yang begitu bersemangat menyambutnya.

“Bita sudah datang?” tanya ayahnya berbasa-basi. Pria itu menarik kursi di samping putrinya yang lain untuk Tata duduk.

Dengan canggung Tata mendudukkan dirinya. Dirinya diperkenalkan dengan ibu dan dua saudara tirinya. Devan, anak lelaki ayahnya usianya hanya dua tahun di bawah Tata. Saat ini sudah bekerja sebagai Arsitek di kantor yang didirikannya bersama teman-temannya. Lalu ada Elyana, putri bungsu ayahnya. Yang saat ini berusia 17 tahun. Baik Tata maupun anak-anak ayahnya yang lain tak sedikitpun ingin bertegur sapa. Bagaimana mereka bisa bertegur sapa jika selama ini mereka tak pernah bertemu.

“Apa perkerjaan Bita?” tanya Nurina, istri ayahnya.

“Copy writer.” Tata berusaha menjawab sesanti mungkin. Walau sejujurnya ia tak nyaman berada di tengah-tengah orang asing ini.

Pramusaji datang membawa buku menu. Masing-masing dari mereka mulai menyebutkan pesanannya. Saat itulah Tata bisa melihat tiga orang yang mungkin satu keluarga mendekat ke arah meja mereka.

“Kalian sudah datang?” Ayah Tata langsung berdiri dan menyapa tiga orang tamu yang baru tiba ini.

Setelah bercengkerama sebentar, ayahnya mempersilakan mereka untuk menempati kursi kosong. Tata bisa melihat dari ekor matanya kedua orangtua yang berpakaian rapi ini terlihat begitu akrab dengan ayah dan ibu tirinya. Hanya saja pria muda berkacamata yang Tata duga anak mereka, tampak tak tertarik sedikitpun. Sama seperti Tata. Ketiga tamu yang baru hadir itupun langsung memesan makanan selagi Pramusaji berlum beranjak pergi.

“Pri, Laras, ini Nirbita, putri sulungku.”

Sang ayah memperkenalkan Tata sebagai anak sulungnya pada pasangan yang dipanggil Pri dan Laras ini. Demi kesopanan, Tata mengangguk seraya menyunggingkan senyum simpulnya.

“Jadi ini Nirbita?” Laras tampak antusias sembari memerhatikan Tata. “Cantik ya? Serasi sekali jika dipasangkan dengan Dewa.”

Mata Tata membelalak. Dahinya mengernyit tak mengerti. Ia menatap tajam sang ayah yang kelihatan salah tingkah dengan ucapan Laras. Apa maksudnya dengan dipasangkan? Apa ayahnya ingin menjodohkan Tata dengan pria yang baru saja diperkenalkan padanya? Pria berkacamata bernama Dewantara Priyonggo ini?

“Maksudnya?” tanya Tata tak mengerti.

“Loh, Haris belum cerita?” Laras yang masih cantik di usianya yang tak muda lagi bertanya bingung pada Haris.

“Aku belum sempat cerita pada Bita,” jelas Haris. Ada nada bersalah dalam suaranya yang bisa ditangkap Tata.

“Biar Tante yang cerita.” Laras kembali mengambil alih. “Jadi...Papa kamu setuju untuk menjodohkan kamu sama Dewa. Ya... selain sebagai bentuk kerjasama, kami juga ingin merekatkan hubungan kekerabatan.”

Dada Tata bergemuruh. Tangannya terkepal erat di bawah meja hingga buku-buku jarinya memutih. Jadi ini alasan ayahnya datang lagi ke hidupnya. Mengajak Tata untuk menghadiri makan malam. Hanya demi menjadikan Tata sebagai tumbal bisnisnya. Tata benar-benar tak habis pikir. Ia kira setelah sekian lama, ayahnya sadar akan kesalahannya. Nyatanya, tak ada yang berubah dari pribadi Haris Purnawan. Dia tetaplah pria egois yang akan melakukan apa saja demi kenyamanannya. Tata tak tahu lagi apa pintu maaf masih bisa ia buka untuk pria yang mengaku sebagai Ayahnya ini.

Makan malam berlangsung tenang. Percakapan terjadi dengan dominasi para orangtua. Tak sekalipun Tata ingin melibatkan diri dengan apa yang mereka bicarakan. Bahkan pria berama Dewa yang katanya akan dijodohkan dengannya, tak sekalipun ingin membuka obrolan dengan Tata. Tapi itu lebih baik. Yang Tata inginkan saat ini adalah menyudahi semua sandiwara konyol ini. Dan menjauh dari mereka semua.

Pukul sembilan malam akhirnya acara makan malam tersebut selesai. Tata rasanya tak sabar untuk menjauh dari mereka semua. Namun lagi-lagi keinginannya itu harus tertahan. Karena Haris dengan seenaknya meminta agar Dewa mengantarkan Tata kembali ke rumahnya. Dengan tegas Tata menolak namun Laras malah semakin gigih untuk mendekatkan mereka. Akhirnya dengan wajah kalah, Tata menyerah dan menuruti keinginan mereka.

Selama di perjalanan, baik Tata dan Dewa tak satupun ingin bicara. Ruangan di dalam mobil rasanya semakin sempit dengan aura kecanggungan yang menguar. Tak tahan dengan kondisi yang bisa membuatnya gila, Tata meminta Dewa untuk menurunkannya di halte depan yang akan mereka lintasi.

“Turunkan saja di sini,” pinta Tata tanpa sekalipun menatap wajah lawan bicaranya.

“Maaf, tapi saya diamanatkan untuk mengantar kamu sampai ke rumah.” Akhirnya Dewa bersuara.

“Enggak perlu. Cukup turunkan saya di sini. Dan kita tidak perlu bertemu lagi.”

Dewa melirik Tata namun tak sekalipun ingin menghentikan laju kendaraannya.

“Maaf tapi saya bukan orang yang bisa melalaikan amanah begitu saja. Sesuai kesepakatan, saya akan turunkan kamu jika sudah tiba di rumah.”

Tata mengerang kesal. Satu lagi orang dengan keras kepala super yang membuat Tata gemas berhadapan dengannya. Tak cukupkah seorang Asanka saja hadir dalam hidupnya? Tak ingin berdebat, Tata memilih diam dengan pandangan keluar jendela mobil.

Saat tiba di depan rumahnya, tanpa berpamitan Tata ingin segera keluar dari mobil Dewa. Nmaun sayangnya pria itu malah menahan pergelangan tangannya.

“Ada apa?” tanya Tata berusaha melepaskan diri

“Kamu setuju dengan perjodohan ini?”

“Enggak. Dan jangan khawatir karena kita tidak akan pernah menikah.”

Sekuat tenaga Tata melepaskan diri dari cekalan Dewa. Tanpa mau menoleh lagi gadis itu keluar dan bergegas masuk ke rumahnya. Ia berjanji tak akan lagi memberi kesempatan pada Ayahnya. Cukup kali ini Tata merasa tertipu. Tak akan ada lain kali. Ia sudah muak dipermainkan.

Note : Minal aidin wal faidzin. Mohon maaf lahir & batin, semua 💙

Isekai, 14/05/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro