[XV]. Bisakah Anda Diam, Pak?
Pagi itu Tata kembali dikejutkan dengan kedatangan Asanka. Pria yang Tata pikir sudah berhenti untuk mendekatinya itu ternyata sudah berdiri di depan pintu rumahnya dengan sekantong sarapan dari toko roti ternama. Membuat Tata bingung harus membalas seperti apa pria ini. Apalagi jika Tata mengingat kembali kejadian tadi malam. Rasanya Tata ingin berlari menjauh saja. Masih terlalu malu bertatap muka dengan pria yang sudah membuat jantungnya jungkir balik kemarin malam.
“Saya bawa sarapan,” ucap Asanka sembari menunjukkan sekantong roti.
Tanpa basa-basi Tata membuka lebar pintu rumahnya. Membiarkan Asanka masuk hingga pria itu tak dapat menyembunyikan senyum semringahnya.
“Silakan duduk, Pak.”
“Asanka, Nirbita. Saya sudah katakan berkali-kali. Jika di luar kantor, kamu bisa memanggil saya tanpa embel-embel jabatan.”
“Saya nggak terbiasa.”
“Biasakan kalau begitu.”
Tata hanya memutar bola matanya. Malas untuk meladeni perdebatan yang Asanka ciptakan. Sebagai ganti, gadis itu menghidangkan secangkir kopi untuk pria yang sudah duduk manis di kursi meja makannya dan sedang menata roti yang ia beli.
“Kamu suka rasa apa?” tanya Asanka lagi.
“Apa saja.”
“Kamu nggak tanya saya suka rasa apa?”
Tata menaikkan sebelah alisnya. “Apa?” tanyanya akhirnya.
“Saya suka rasa bibir kamu.”
Uhuk... uhuk...
Tata tersedak kopi yang ia minum. Membuat Asanka tak bisa menahan rasa gelinya. Namun pria itu tetap mengelus lembut punggung Tata untuk membantu meredakan sedakannya. Sementara Tata sudah malu bukan kepalang, pria ini justru tersenyum secerah mentari. Ingin rasanya Tata mengutuk Asanka menjadi arca batu agar tidak lagi bisa mengeluarkan ucapan spontannya yang bisa membahayakan kerja jantung Tata.
“Kamu kenapa Nirbita?”
Tata menatap jengkel padanya. “Bisa nggak sih kita lupakan kejadian semalam?” pinta Tata memelas.
Namun Asanka malah melebarkan senyumannya. “Maaf mengecewakanmu, Nirbita. Tapi sayangnya saya nggak bisa lupa. Asal kamu tahu, itu hal paling manis yang saya dapatkan dari kamu.”
“Itu khilaf!” balas Tata jengkel.
“Khilaf atau tidak, saya tetap suka.”
Tata memilih diam. Tak ada gunanya berdebat dengan pria keras kepala seperti Asanka. Salahnya juga yang semalam terbuai oleh pesona seorang Asanka Jasma. Mungkin Tata meningggalkan separuh kewarasannya di meja kerja. Hingga bisa-bisanya ia pasrah saat Asanka menciumnya. Awalnya hanya kecupan kecil. Yang berubah menjadi ciuman yang dalam dan manis. Asanka memang tak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika pertahanan diri gadis ini goyah, ia masuk dengan sejuta pesona yang dimilikinya. Dan bodohnya Tata malah membalas ciuman itu. Membuat pria itu serasa di atas awan. Dan sekarang ia menyesal. Sungguh. Pria ini jadi semakin gencar untuk menggodanya sejak insiden ciuman tak sengaja itu.
“Pulang kantor nanti saya jemput kamu, ya?” pinta Asanka setelah Tata tak lagi mau membahas perihal ciuman itu.
“Enggak bisa. Saya dan tim akan rapat untuk tvc iklan bulan depan.”
“Dengan Ferrando?”
Tata mengernyit bingung. “Ya pastinya. Kan kami satu tim.”
“Bisa tidak kalau kamu pindah ke tim lain?”
“Bapak aneh deh,” balas Tata sambil menggelengkan kepalanya.
“Saya takut kalau kamu dekat-dekat sama Ferrando.”
Kembali Tata memutar bola matanya. Ada dengan Bos-nya ini? Tak menghiraukan gelagat aneh Asanka, Tata memilih merapikan sisa sarapan mereka. Mencuci gelas kopi. Lalu menghampiri Asanka yang masih menunggu di ruang makan.
“Ayo berangkat Pak Asanka,” ajak Tata sambil mengambil ranselnya yang ia letakkan di kursi makan.
“Kapan kita bisa begini setiap hari ya?” gumam Asanka yang masih bisa di dengar Tata.
“Ngomong apa sih?” balas Tata sambil lalu karena gadis itu sibuk mengunci pintu rumahnya.
“Bicara tentang masa depan.”
Dan dengan semena-mena Asanka mencuri satu kecupan di pipi Tata membuat gadis itu terperanjat dengan mulut yang terbuka lebar. Tata hanya bisa mengerjapkan mata menatap Asanka yang dengan santainya masuk ke dalam mobil. Meninggalkan gadis itu yang bahkan tak bisa berkata-kata.
***
Banyaknya proyek iklan yang didapatkan Digdaya membuat setiap tim begitu sibuk. Bahkan Tata dan Edo lebih sering menghabiskan waktu dengan lembur di kantor. Jika Tata dan Edo menjalaninya dengan biasa saja, tapi tidak dengan Asanka. Pria itu rupanya cukup kesal dengan jadwal kerja Tata yang tak menentu. Ditambah lagi dengan gadis itu yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Edo hingga frekuensi pertemuan mereka berkurang. Asanka ingin mengeluh dan menggunakan wewenangnya untuk menyeret Tata pulang bersamanya. Tapi ia tahu gadis itu tak akan pernah menuruti keinginannya.
“Berapa lama lagi kalian akan bekerja?” tanya Asanka yang memutuskan untuk menemani Tata, Edo dan Elena lembur. Anggota tim yang lain sudah diperintahkan pulang. Jadilah keempat orang ini yang masih berkutat di kantor.
“Kalau Pak Asanka nggak betah boleh pulang duluan kok,” jawab Tata.
Elena dan Edo hanya memerhatikan interaksi keduanya. Jika Elena terus saja tersenyum melihat sepupunya yang enggan beranjak dari sana demi Tata, lain lagi dengan Edo. Ia harus menyembunyikan rasa kecewanya karena melihat semakin dekatnya Tata dan atasan mereka tersebut. Melihat Edo yang lebih banyak diam, membuat Tata merasa ada yang berbeda dari pria itu.
“Do?” panggil Tata hingga Edo mengalihkan matanya dari layar laptop, menatap Tata. “Kamu sakit?”
Edo menggeleng. “Enggak. Kenapa?”
“Dari tadi kamu banyak diam.”
“Mungkin aku butuh kopi,” jawab Edo sembari berdiri dari kursinya. “Aku beli kopi dulu ya.”
“Ikut, Do!” seru Tata yang langsung berdiri menyusul Edo.
Asanka sendiri hanya bisa diam memerhatikan interaksi dua sahabat itu. Terlebih saat keduanya menghilang di balik pintu. Pria itu hanya bisa menghela napas frustrasi. Elena yang sejak tadi hanya memerhatikan interaksi ketiganya tersenyum mengejek sepupunya itu.
“Susah ya dekatin Tata?” ledeknya.
“Aku nggak tahu apa perempuan itu nggak tahu atau justru cuma pura-pura nggak tahu kalau sahabatnya itu menyimpan rasa sama dia.”
“Tata itu emang satu dari sekian wanita unik. Mungkin baginya Edo cuma sebatas sahabat.”
“Enggak ada persahabatan antara pria dan wanita, El. Sekat tipisnya pasti bernama cinta.”
“Kan Atasan kita ini cemburu sama sahabatnya si perempuan nggak peka itu?” ledek Elena lagi.
“Entahlah.”
“Loh, kok entahlah?” Elena bingung dengan jawaban Asanka. “Jadi sampai sekarang kamu belum yakin sama perasaan kamu ke Tata?”
Asanka hanya mengendikkan bahunya. “Saat Papa minta aku untuk coba dekat dengan Junita, aku turuti. Tapi hasilnya, aku justru terus kepikiran Nirbita. Aku juga sudah coba untuk nggak terlalu dekat dengan dia. Hasilnya? Aku malah muncul di depan rumahnya.”
Elena tertawa mendengar penuturan sepupunya. “Dan hal yang begitu bikin kamu belum bisa juga menentukan apa yang kamu rasakan ke Tata? Aduh Sa, kamu itu idiot atau apa?”
“Aku nyaman dekat dia. Tapi untuk mengambil kesimpulan kalau aku jatuh cinta dengannya, sepertinya itu terlalu dini.”
“Ya memang. Karena bagaimanapun saat kamu benar yakin kalau kamu cinta sama Tata, akan sulit untuk kalian kan?”
Ucapan Elena dibenarkan pria itu dengan anggukan. Tanpa mereka sadari baik Edo dan Tata mendengar semua. Edo mencoba menebak bagaimana perasaan sahabatnya ketika mendengar kenyataan itu. Ia memerhatikan raut wajah Tata yang justru terlihat sulit terbaca. Namun eratnya Tata memegang kaleng kopi instan membuat Edo tahu bahwa gadis itu terganggu. Mengikuti Nalurinya, Edo melingkarkan sebelah lengannya ke pundak Tata. Dan membawa gadis itu masuk kembali ke ruang rapat.
“Kami bawain kopi nih.”
Suara Edo memecah keheningan di ruangan. Asanka dan Elena menoleh pada keduanya. Dan melihat lengan Edo yang melingkar di pundak Tata membuat rahang pria itu mengetat. Ada rasa tak senang di hatinya dengan pemandangan yang disuguhkan sepasang sahabat tersebut.
Keempatnya kembali larut dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga waktu menunjukkan pukul delapan malam, akhirnya mereka menyudahi. Saat akan pulang, Asanka kembali mengambil alih untuk mengantar Tata pulang. Gadis itu tak menolak. Namun selama perjalanan Tata sekalipun tak bersuara, membuat Asanka cukup heran. Hingga mereka tiba di depan rumah Tata.
“Terima kasih tumpangannya, Pak. Tapi bisakah mulai besok, Pak Asanka berhenti menjemput saya?” pinta Tata yang membuat Asanka terperanjat.
“Maksudnya?”
“Cukup main-mainnya. Sepertinya waktu permainan kita juga akan berakhir. Sampai saat ini, saya juga belum jatuh cinta pada Pak Asanka. Jadi saya rasa, cukup permainan kita.”
Tanpa berucap lagi Tata melangkah meninggalkan Asanka yang masih terpaku di dalam mobilnya. Detik berikutnya pria itu seolah tersadar dan berlari mengejar Tata. Namun langkahnya terhenti saat Tata ternyata tak sendiri. Seorang pria berumur terlihat berbincang bersama Tata. Keduanya kemudian masuk ke dalam rumah. Tak ada yang dapat Asanka lakukan selain kembali ke mobilnya dan memutuskan akan bicara dengan gadis itu esok pagi.
…
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro