[XIV]. Jatuh Perlahan
Sudah hampir dua minggu lamanya Tata tak melihat Asanka berada di sekitarnya. Bukan karena Tata merindukannya. Tapi rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Baiklah, katakan Tata merasa sedikit kehilangan. Karena biasanya ada Asanka yang merecoki hari-harinya. Tapi tidak selama dua minggu ini. Walau ia ingin melihat pria itu, tapi pikiran logisnya menolak Tata untuk mencari tahu ada apa dengan lelaki itu.
“Ta... nanti ikut meeting dengan tim 1 ya,” perintah Elena yang diangguki Tata. Wanita itu menyerahkan sebuah map proposal berisi materi untuk meeting kemudian berlalu meninggalkan Tata.
Dalam hati Tata ingin memanggil kembali Elena. Ingin bertanya pada Elena perihal sepupunya, Asanka. Namun kembali lagi pikiran Tata menolak gadis itu melakukan hal bodoh. Sebagai ganti dari rasa penasarannya, Tata lebih memilih untuk membaca proposal yang diberikan Elena tadi.
Tepat pukul 11 siang, Tata masuk ke ruang rapat. Sesuai dengan instruksi Elena. Ia mengikuti rapat bersama tim 1 yang memintanya menjadi copy writer mereka untuk menangani proyek iklan. Itu dikarenakan copy writer tim 1 yang biasanya sedang mengambil cuti untuk pemulihan pasca operasi. Karena itu tanggung jawabnya diserahkan pada Tata. Tak sulit bagi Tata bekerja sama dengan tim yang dipimpin Nero tersebut. Namun ada yang tak biasa dalam rapat kali ini. Ketidak hadiran Asanka selaku pemimpin membuat Tata cukup terkejut.
“Mas Nero...” panggil Tata sebelum mereka meninggalkan ruang rapat.
“Ya, Ta?”
“Pak Asanka...”
Nero tersenyum simpul mendengar ucapan gadis itu. “Asanka lagi ada urusan di luar kantor katanya beberapa waktu ini. Kenapa, kangen ya?” Nero balik bertanya.
Tata hanya tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya. Gadis itu memilih berpamitan pada Nero untuk kembali ke kubikelnya. Memilih untuk fokus bekerja dibandingkan kepalanya harus terus memikirkan seorang Asanka.
Begitu larutnya Tata dalam bekerja sampai ia tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia bahkan tak sadar kehadiran Edo yang sudah mennunggunya sejak tadi. Itu dikarenakan Tata bekerja sembari memasang headset di telinganya. Hinggga ia tak sadar bahwa ruangan sudah ditinggalkan para penghuninya.
Gemas pada sahabatnya yang tak juga beranjak dari pekerjaannya, Edo melepas sebelah headset yang ada di telinga Tata. Membuat gadis itu menoleh dan mengerjap bingung karena kehadiran Edo..
“Sejak kapan kamu ada di sini, Do?” tanya Tata.
“Sejam-an yang lalu Nirbita Btari...”
Tata tersentak dengan panggilan itu. Hanya ada satu orang di kantor ini yang selalu memanggilnya dengan nama aslinya. Dan ia merindukan panggilan itu? Tata menggelengkan kepalanya pelan untuk menghilangkan pikiran gila itu. Kenapa ia harus mengingat Asanka? Bukankah bagus jika pria itu menjauh? Akhirnya pria itu sadar, tak ada gunanya melakukan permainan konyol menantang Tata untuk jatuh cinta padanya.
“Tata...”
“Ya?” tanya Tata saat Edo memanggilnya dengan cukup keras. Membuyarkan Tata dari segala pemikiran yang berkecamuk di kepalanya.
“Kamu kenapa?”
“Kayaknya aku butuh makan, Do.”
“Ayo.”
Edo membawa Tata ke restoran steak karena Tata tiba-tiba mengatakan ia ingin makan steak. Keinginan yang membuat Edo menatap curiga padanya. Langsung saja Tata melayangkan pukulan kesal pada pria itu yang Tata tahu mencurigainya dengan isu paling anyar seputar keinginan atau yang biasa disebut ngidam. Bagaimana mungkin Tata bisa hamil jika ia tidak pernah berhubungan dengan pria manapun. Apa sekedar berpelukan bisa menyebabkan kehamilan?
Edo memilihkan meja yang tak terlalu jauh dari pintu keluar. Setelah menyebutkan pesanan pada Pramusaji, Edo menatap ke arah Tata yang kini sibuk memerhatikan interior di dalam restoran. Senyum tersungging di bibir Edo kala melihat Tata yang di matanya begitu cantik. Bagi Edo yang sejak dulu mengagumi sosok Tata, tak ada perempuan yang mampu membuatnya melihat mereka seperti Edo memandang Tata. Entah apa yang dimiliki gadis paling skeptis ini hingga mampu menarik perhatian Edo yang sebenarnya juga banyak menarik perhatian perempuan di sekitar. Tapi entah mengapa Edo hanya memfokuskan pandangannya pada Tata. Tak berusaha untuk melihat perempuan lain. Meskipun ia tahu tak ada yang ia dapatkan selain persahabatan dari seorang Tata.
“Steaknya enak ya. dagingnya lembut. Bumbunya juga meresap banget,” komentar Tata kala mereka menikmati hidangan yang sudah disajikan.
“Iya, enak. Tapi makannya jangan belepotan gini dong. Kayak anak kecil aja.” Edo membersihkan sudut bibir Tata dengan napkin. Tata hanya tertawa melihat perhatian kecil pria ini.
Keduanya kembali menikmati hidangan. Hingga mata Tata menangkap sekelebat sosok yang sangat ia kenali. Sosok yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran Tata. Asanka. mata Tata dan Asanka bersirobok. Namun secepatnya pria itu memutus kontak mata di antara mereka membuat Tata menghela napas kecewa.
Kecewa?
Tak ingin merusak suasana hatinya, Tata memilih mengenyahkan segala macam pemikiran apapun yang ada di benak Tata perihal pria itu. Tidak ada urusan dengannya. Mau Asanka makan malam dengan siapapun itu. Terlebih dengan sosok wanita yang tempo hari Tata temui di kediaman Paman Asanka.
Hentikan Tata!
“Ada yang salah?” tanya Edo membuyarkan segala kecamuk di benak Tata.
Gadis itu menggeleng. “Enggak.”
Walau tahu ada yang mengganjal di hati Tata, Edo memilih diam. Ia tak ingin memaksa Tata untuk bicara. Keduanya kembali melanjutkan makannya. Hingga dari arah pintu masuk, Tata kembali melihat sosok yang kali ini membuat matanya terbelalak. Ia tiba-tiba berdiri. Membuat Edo juga terlonjak kaget.
“Ada apa, Ta?”
“Aku mau pulang, Do.” Ada nada gusar dalam suara Tata.
“Iya, tapi makanan kita belum habis, Ta.”
“Do, aku mau pulang!” kali ini nada tegas tak terbantahkan.
Edo mengalah dan memanggil pramusaji untuk meminta bill pembayaran. Setelahnya urusan pembayaran ia bergegas mengejar Tata yang sudah melangkah lebih dulu keluar dari restoran. Tanpa Tata tahu dua sosok yang bertemu pandang dengannya menatap kepergiannya dengan penuh tanya.
…
Terulang lagi. Asanka kembali merasa marah melihat kedekatan Tata dan Edo. Bukankah ia sendiri yang belakangan menjaga jarak? Tapi kenapa ia kembali tak terima kala melihat Tata dan Edo makan bersama. Asanka berusaha menuruti keinginan ayahnya dengan mulai mendekatkan diri pada Junita. Tapi hasilnya nihil. Sebaik apapun Junita, di mata Asa, wanita itu hanya layak dijadikan teman terbaik. Bukan seorang pasangan. Dan pandangan Asanka terhadap Junita sepertinya tak akan berubah setelah ia menghabiskan beberapa waktu kebersamaan dengan wanita itu.
Dan kembali melihat Tata, rasanya ada yang mendidih di kepala dan hatinya. Berkali Asanka meyakinkan diri itu hanya reaksi wajar dari seorang pria yang egonya tersentil karena tak dapat menaklukkan wanita. Bukan dalam bentuk rasa cemburu terhadap seorang wanita. Lagipula Tata bukanlah seseorang yang menjalin hubungan romansa dengannya. Hanya sebatas rekan kerja dan mungkin wanita yang bermain dalam taruhan gila yang ditawarkannya. Jadi punya hak apa Asanka merasa marah melihat Tata dan Edo bersama? Bukankah ia tak memiliki perasaan yang bernama cinta terhadap gadis itu?
“Tak cinta tapi berakhir di depan rumah gadis itu. Bukankah ini luar biasa, Asanka?” ejek Asa pada dirinya sendiri.
Mobilnya memang tepat berada di depan rumah Tata. Entah apa yang membawanya. Tapi Asanka hanya mengikuti kata hatinya. Dalam diam ia memerhatikan rumah sederhana yang lampu depannya masih menyala tersebut. Asanka tahu sang empunya rumah belum tidur. Mungkin Tata masih menonton televisi atau melakukan apa.
Kadang rasa khawatir muncul saat Asanka tahu Tata tinggal seorang diri di rumahnya. Yang ia tahu, Ibu Tata tinggal di kota yang berbeda. Sedang ayahnya sendiri, Asanka tak pernah mendengar informasi apapun mengenai ayahnya. Informasi kantor hanya menyebutkan nama ibu di dalam data Tata. Namun kekhawatiran itu nampaknya tak diperlukan karena Tata bisa membuktikan selama beberapa tahun ia bisa hidup dengan aman walau hanya seorang diri.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Tata membuka pintu depan rumahnya. Ia berdiri di teras kecil seraya memandang langit malam. Dan saat matanya menangkap benda yang tak asing dari depan rumahnya, Tata membeku. Walau terhalang kaca depan mobil, namun Tata dan Asanka bisa saling melihat. Keduanya masih memandang dalam diam. Hingga Asanka memilih keluar dari dalam mobil dan menghampiri Tata yang masih membeku di teras rumah.
“Kenapa kamu keluar?” tanya Asanka saat sudah berhadapan dengan Tata.
“Kenapa Bapak ke sini?” Tata balik bertanya.
Dan tanpa diduga, Asanka memeluk tubuh gadis itu. Membuat Tata membeku.
“Entah kenapa saya rindu kamu,” gumam Asanka di pelukan Tata yang bahkan tak bisa menjawab apapun.
…
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro