[VI]. Laundry
Sesuai kesepakatan bahwa Tata akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membayar biaya laundry. Keduanya berjalan berdampingan menuju kios binatu yang letaknya masih di lingkungan yang sama dengan kantor Digdaya Advertising. Selama berjalan tak ada satupun yang berusaha memecah keheningan. Keduanya bagai dua orang asing yang terpaksa bersama. Atau memang benar terpaksa bersama karena insiden kopi.
Setiba di binatu pun keduanya tetap membisu. Hanya saat petugas menyapa, Tata mengatakan bahwa mereka ingin layanan dry cleaning untuk kemeja yang dikenakan Asa.
“Silakan buka kemejanya Pak,” pinta petugas binatu.
Asa nampak enggan. Ia menatap Tata yang balas menatapnya dengan kernyitan di dahi.
“Kenapa?”
“Apa ada pakaian cadangan? Kaos dalam begitu?” tanya Asa pada petugas yang dibalas dengan gelengan.
“Kenapa?” tanya Tata sekali lagi.
Asa mendesah pelan. “Saya tidak pakai kaos dalam, Nirbita.”
Awalnya Tata memasang wajah biasa saja. Belum mencerna sepenuhnya informasi apa yang disampaikan Asa. Hingga beberapa saat mata gadis itu melebar.
“Itu...” Asa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Tata yang belum terlontar sempurna. “Terus?”
“Apa tidak ada pakaian ganti yang bisa saya gunakan?” tanya Asa dengan wajah memelas.
Petugas binatu tampak meringis kecil. Merasa tak enak hati. “Maaf Pak. Tapi kami tidak menyediakan pakaian ganti.”
Asanka menghela napas lagi. Pasrah. Sementara Tata juga ikut meringis. Bingung akan situasi yang akan mereka hadapi. Mana mungkin ia meninggalkan Asa seorang diri di tempat ini. Di mana sikap tanggung jawab yang tadi diutarakan Tata.
“Kalau ruangan tunggu khusus ada? Tanpa pelanggan lain?” tanya Asanka lagi.
Melihat wajah bingung petugas, Asa tahu apa yang diinginkannya jelas tak masuk akal. Namun membayangkan harus bertelanjang dada di depan pelanggan lain, jelas bukan pilihan yang Asa inginkan.
“Tolong sekali. Saya rela membayar untuk ruangan khusus selama menunggu asal tidak bersama dengan pelanggan lain.”
Mendengar nada permohonan dari Asanka membuat si petugas luluh. Iapun mengantarkan keduanya ke ruang khusus tunggu. Setiba di sana, tanpa canggung Asa membuka kemejanya. Mempertontonkan perutnya yang terbentuk sempurna hasil ketekunannya dalam berlatih. Menyerahkan kemejanya pada petugas yang segera berlalu meninggalkan Tata dan Asa di ruangan hanya berdua.
Demi semesta, Tata tak pernah seterperangah ini. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat pria bertelanjang dada dengan matanya sendiri selain dari majalah dan media sosial. Bahkan Edo yang memiliki bentuk tubuh yang kata seisi kantor begitu WAH saja tak pernah Tata lihat mempertontonkan bentuk tubuhnya. Dan kini, di hadapannya Asanka mempertontonkannya. Seolah melupakan keberadaan Tata. Dan Tata mau mati saja kehabisan pasokan udara. Ruangan yang pendingin ruangannya menyala sempurna serasa sesak dan panas. Gadis itu mengipasi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bernapas dengan kasar hingga membuat Asanka menoleh padanya.
“Kamu kenapa?” tanya Asanka menaikkan sebelah alisnya.
Tata tersentak kaget. Gadis itu gelagapan. Ingin menghindar menatap Asa, tapi jelas itu bukan sikap yang sopan bagi karyawan pada atasannya. Terpaksa Tata menatap Asa dengan setengah hati dan mata yang jelalatan ke sana kemari. Asal jangan menatap perut liat berotot milik Asa yang putihnya bukan main. Kulit Tata saja bahkan tak seputih Asa. Membuatnya merasa agak minder terhadap Bosnya ini karena warna kulit mereka.
“Kamu kenapa Nirbita?” tanya Asanka lagi karena Tata tak juga menjawab.
“Ah? Oh, baik, Pak. Saya cuma agak sesak saja.”
Senyum miring Asanka terbit. Ia tahu jelas gadis ini berbohong. Bagaimana bisa ia merasa sesak di ruangan seluas ini yang hanya dihuni mereka berdua. Dengan pendingin ruangan yang menyala pula.
Tata berpura memfokuskan matanya pada layar ponsel. Gadis itu mengambil posisi duduk di sofa yang cukup jauh dari Asanka. Membuat pria itu yang mengetahui Tata gugup berada di dekatnya hanya bisa mengulum senyum.
“Kenapa kamu duduk sejauh itu Nirbita?”
“Hah?” Tata mendongakkan kepalanya dan jelas itu sikap yang salah.
Seketika mata nakal Tata dengan kurang ajarnya menatap tepat pada perut sempurna Asanka. Dan pikiran kurang ajarnya segera mengambil alih. Sisi liar Tata membayangkan bagaimana rasanya ia memegang perut berotot liat tersebut.
Hentikan Tata!
Tata menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan pikiran nakalnya. Membuat Asanka tak bisa menyembunyikan tawanya.
“Pak, saya tunggu di luar saja ya?” pinta Tata.
“Kenapa?”
Karena saya bakal mikir kurang ajar tiap lihat dada Bapak! Jelas Tata tak menyuarakannya. Mau diletakkan di mana wajahnya jika ia bersuara seperti itu.
“Temani saya Nirbita sampai kemeja saya selesai. Sebagai bentuk tanggung jawab kamu.”
Nada final dari Asanka membuat Tata mengangguk patuh. Sudah. Yang Tata bisa hanya berdoa pada Tuhan agar selama mereka bersama pikiran laknatnya tidak merajalela.
...
Bekerja jika dilakukan setengah hati jelas tak akan mendatangkan hasil yang baik. Begitu pula yang Tata alami saat ini. Karena setengah hatinya pula proses syuting TVC* yang mereka lakukan harus mengambil take berkali-kali. Inilah jika Tata harus bekerja sama dengan talent yang menurutnya tidak kompeten.
Hanya karena artis yang mereka gunakan memiliki hubungan kerabat dengan klien, maka mereka harus menerima dengan pasrah saja. Tapi tidak dengan Tata. Berkali-kali ia melayangkan protes atas kerja si artis. Hingga proses syuting berakhir sengit dengan Tata dan si artis yang saling adu debat. Edo dan Elena yang merasa bahwa suasan syuting sudah tidak kondusif lagi, meminta pada sutradara untuk mengakhiri sesi syuting kali ini dan melanjutkannya besok.
“Jangan panas gitu dong Ta. Nih, ademin hati kamu.” Edo menempelkan kaleng minuman dingin ke pipi Tata yang sudah membaringkan kepalanya di meja kafetaria kantor.
“Makasih Do,” balas Tata langsung membuka minuman dan meneguk isinya.
“Lagian sensi banget sih sama tuh artis?”
Tata langsung menegakkan tubuhnya. “Aku tuh enggak sensi. Emang dasar itu anak enggak berbakat. Aktingnya jelek. Enggak natural. Menang cantik sama koneksi. Itu makanya aku benci kerja dengan orang-orang yang punya koneksi dengan para petinggi. Mereka enggak becus. Enggak kompeten!” ujar Tata berapi-api.
“Ya tapi kan nggak bisa gitu juga Ta. Namanya juga bisnis.”
“Klien mau hasil sempurna. Tapi talent yang mereka mau pakai jelek begitu. Mikir dong!”
Edo terperangah dengan luapan emosi gadis di depannya ini. Namun tak ayal senyumnya terbit karena gadis keras kepala ini.
“Udah. Besok kalau enggak, kamu nggak usah ikut proses syuting. Biar enggak berantem lagi sama talent,” saran Edo.
“Enggak bisa begitu dong. Gimanapun aku bagian dari tim. Aku harus ikut andil dong.”
“Tapi kalau kamu terus-terusan berdebat sama talent, kerjaan kita nggak kelar. Dan klien bisa complain. Bos bisa ngamuk kerjaan kita nggak beres.”
“Makanya itu artis kacangan diganti,” balas Tata tak mau kalah. “Lagi pula semua salah si Bos lah. Ngapain tetap ngotot ikuti maunya klien buat pakai artis nggak bisa akting kayak dia.”
“Jadi semua salah saya?”
Baik Edo dan Tata tersentak kaget. Di depan mereka sudah duduk Asanka dengan wajah datarnya. Pria itu meletakkan lengannya yang ia lipat di meja. Matanya menatap intens pada Tata. Membuat gadis itu menggigit bibirnya gugup. Jantung Tata hampir copot kala mendengar suara Asanka yang tiba-tiba muncul di depannya. Matilah ia kali ini karena kedapatan menyalahkan titah Bos besar. Di saat Tata gugup setengah mati, Edo malah duduk santai sambil melipat lengannya di atas meja. Postur yang sama dengan yang Asanka tampilkan.
“Jadi Nirbita... semua itu salah saya hingga proses syuting hari ini tidak berjalan lancar?” kembali Asanka bertanya dengan tatapan yang tak lepas dari Tata.
Gadis itu meneguk salivamya. Membasahi bibir sebelum menjawab. “Ya...”
“Silakan bicara Nirbita.”
Mendengar perintah Asa untuk Tata bicara, tanpa ragu gadis inipun mengemukakan pendapatnya.
“Ya, sebaiknya talent yang saat ini kita gunakan diganti. Artis itu sama sekali tidak punya skill. Akting dan tatapannya tidak natural. Dia bahkan tidak bisa menampilkan senyum tulus dari hati. Bagaimana bisa dia memersuasi penonton untuk membeli produk jika dia sendiri tidak yakin dengan produk yang dia iklankan. Tidak ada kesatuan antara produk dan artisnya. Percuma iklan mau dibuat sebagus apapun tapi kalau artisnya tidak menyatu dengan konsep iklan dan produk, hasilnya tidak akan sempurna.”
Pria di depan Tata tampak takjub dengan keberanian gadis ini berpendapat. Selama bekerja, Asanka akui tak ada satupun karyawan yang menolak perintahnya. Semua hanya menjalankan titah apapun yang Asa berikan. Dan kali ini ia dibuat takjub oleh gadis di depannya ini.
“Tapi sayangnya, Nirbita, klien lah pemegang kendali di sini.”
Selepas mengatakan hal itu, Asa berlalu meninggalkan keduanya. Tata mendengkus kasar. Jika hanya itu tanggapan Asanka, untuk apa pria itu repot-repot meminta pendapatnya.
“Jadi Tata... bekerja lah sesuai permintaan klien,” ledek Edo.
Kembali Tata dibuat mendengkus jengkel karena Edo yang sependapat dengan Bos besar mereka. Kenapa semua orang di kantor ini selalu bertentangan dengannya. Sepertinya Tata harus mulai berburu kantor baru yang bisa menerima gebrakan darinya. Atau... Tata mendirikan sendiri perusahaannya.
...
Note : terima kasih untuk semua teman² yang sudah ikutan PO Senandung Melody. Yang belum sempat, mungkin nanti pas ada rejeki bisa ikutan peluk Melody dan Ibu Sena 💙🤗
*Tvc : Tv commercial
Isekai, 01/05/21
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro