Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[V]. Insiden Kopi

Hal yang paling membahagiakan bagi Tata setelah melalui serangkaian perang dengan pekerjaannya adalah bisa tidur nyenyak. Dan inilah yang gadis itu dapatkan setelah hampir dua minggu ia diganjar begadang untuk iklan yang dikerjakannya. Apalagi dengan setelah prersentasi dan mendapatkan hasil yang memuaskan dari kliennya. Tata rasanya seperti menggenggam dunia. Dan akhir pekan ini begitu membahagiakan baginya karena dirinya bisa tidur dengan nyenyak tanpa diganggu pekerjaan.

Di rumah mungilnya yang asri, Tata menghabiskan sepanjang pagi dengan bergelung nyaman di kasurnya. Tak dipedulikannya panggilan dan ajakan hang out dari teman-teman yang tak memiliki pasangan di akhir pekan. Seperti Mira yang sejak semalam terus memborbardir Tata dengan pesan dan telepon. Namun tak sekalipun Tata menghiraukan panggilan Mira. Baginya akhir pekan adalah harinya. Miliknya yang ingin Tata habiskan tanpa gangguan dari siapapun. Bahkan Edo yang kerap kali selalu membantunya.

Namun sepertinya akhir pekan kali ini tak seperti biasanya. Karena pintu rumah Tata diketuk cukup keras dan berulang-ulang. Malas sekali rasanya Tata harus bangkit dari kasur empuknya hanya demi membuka pintu dan melihat siapa pengganggu harinya. Namun ketukan yang tak jua berhenti membuat Tata dengan terpaksa harus bangkit dan melangkahkan kakinya ke pintu depan.

“Kenapa buka pintunya lama sekali?”

Tata terhenyak. Kedatangan tiba-tiba sang ibunda ke rumahnya membuat Tata tak bisa berkata-kata. Gadis itu hanya terperangah bodoh di depan pintu memperhatikan ibunya yang sudah masuk ke rumah dan meletakkan beberapa barang yang beliau bawa.

“Ngapain kamu bengong di situ, Ta? Bukannya disambut Ibunya datang?” tegur Lestari pada putri semata wayangnya itu.

Tanpa pikir panjang Tata langsung menghambur memeluk tubuh kurus wanita yang sudah hampir enam bulan tak ditemui Tata. Bukannya tak ingin, tapi tuntutan pekerjaan tak membuat Tata memiliki waktu luang untuk sekedar menjenguk sang ibu di kampung halaman.

“Kangen Ibu...”

Di momen seperti inilah seorang Nirbita Btari bisa menunjukkan sisi lain dari dirinya. Di hadapan Lestari, anak perempuannya yang keras kepala itu bisa berubah menjadi sosok manja. Mengubah Tata yang biasanya mandiri menjadi seorang anak kucing menggemaskan di mata ibunya. Oh dan jangan lupa kalau Edo juga pernah melihat sosok Tata yang seperti ini. Karena beberapa kali pria itu ikut menghabiskan waktu liburnya menemani Tata pulang ke kampung halaman ibunya.

“Kenapa kamu lama benar bukain pintu buat Ibu?” tanya Lestari seraya menyiapkan sarapan untuk putrinya itu yang ia yakin belum mengisi perutnya dengan makanan pagi ini.

“Aku pikir siapa. Ini akhir pekan, Bu. Hari liburku. Dan aku nggak mau diganggu di hari bersantaiku.

“Bahkan Ibu telepon berkali-kali juga nggak diangkat.”

Tata tersenyum sumringah. “Aku kira itu Mira. Makanya nggak aku angkat.”

“Memang kenapa kalau Mira yang telepon?”

“Malas ah. Pasti ngajak jalan. Nggak punya pacar. Pasti aku terus yang jadi korban buat ngabisin waktu menyedihkannya buat nemenin Mira.”

“Lah, emang kenapa? Toh kamu juga masih sendiri kan? Nggak ada pacarnya?”

Tata cemberut. Ibunya kalau sudah bicara memang selalu benar. Walau Tata yang keras kepalanya minta ampun, selalu mampu dibuat bungkam oleh Lestari.

“Jadi... kapan kamu mau kenalin seseorang ke Ibu?” berondong Lestari.

“Kenalin apanya?”

“Laki-laki. Sebagai pacar kamu. Masa dari zaman kuliah laki-laki yang selalu beredar di sekeliling kamu itu-itu saja. Kalau nggak teman kuliah, ya rekan kerja. Dan paling sering malah Edo.”

Tata berdecak kesal mendengar penuturan ibunya. Apa hanya itu yang selalu Ibu Lestari ini pikirkan tentang anaknya? Hidup Tata tidak melulu perihal jodoh kan? Lagi pula ia masih 26 tahun. Usia yang masih cukup muda untuk menikah jika ditilik dari bagaimana peliknya kehidupan kota besar. Usia yang masih produktif untuk berkarya. Bukan sekedar mencari jodoh dan menikah. Tata tidak akan mengorbankan masa mudanya untuk cepat-cepat terkungkung dalam mahligai pernikahan.

“Kenapa kamu nggak coba sama Edo saja?”

Seketika Tata tersedak nasi uduk yang tadi dibawakan ibunya. Cepat-cepat Lestari menyodorkan segelas air putih untuk membantu pencernaan putrinya.

“Kenapa terkejut begitu?” tanya Lestari saat Tata menatapnya dengan pandangan horor.

“Nggak ada yang namanya mencoba sama Edo. Ibu harusnya tahu dong, aku sama Edo itu sahabat.”

“Nah justru itu. Kamu sama Edo sahabat. Rasanya nggak akan sulit menyatukan dua isi kepala kalian ini. Kalian sudah cukup lama saling kenal. Saling mengerti watak masing-masing. Lagi pula Edo itu kan baik. Cakep lagi. Apa yang salah?”

Tata diam, enggan menjawab. Sampai Lestari kembali mengeluarkan petuahnya.

“Mau sampai kapan kamu begini terus, Ta? Nggak mau mencoba sama siapapun? Ibu sudah sering ditanya-tanya soal kamu. Bahkan ada mulut-mulut usil yang seenaknya bilang kamu itu punya kelainan seksual karena nggak pernah kelihatan pacaran.”

“Nggak usah didengerin deh Bu.” Tata menyudahi sarapannya.

“Ta...” panggil Lestari sebelum putrinya itu beranjak ke kamar. “Bukan karena itu kan?”

Tata tahu apa yang dimaksud sang ibu. Walau sejujurnya hal itu juga menjadi salah satu faktor kenapa Tata sampai sekarang enggan menjalin hubungan. Namun untuk mengurangi kekhawatiran ibunya, Tata menggeleng sambil menyunggingkan senyum simpul. Lalu menghilang di balik pintu kamar.

...

Jika sebagian pekerja begitu mengagungkan jargon I hate Monday, maka tidak dengan Tata. Ia suka bekerja, karena itu tak ada kata benci pada hari senin dalam kamusnya. Perempuan gila kerja sepertinya memang sangat bersahabat dengan yang namanya week day. Saat semua karyawan menginginkan week day menjadi week end, hal sebaliknya berlaku bagi Tata.

“Apa ini?” tanya Tata saat Elena melemparkan sebuah map ke meja kerjanya.

“Iklan baru.”

“Iklan apa?”

“Lihat aja.”

Sesuai perintah Elena, Tata membuka map kuning yang kini berada di tangannya. Membaca detil yang tertera di kertas dengan seksama. Tata mengernyitkan dahinya saat merasa ada yang aneh dengan kontrak iklan tersebut.

“Harus banget pakai artis ini?” tanya Tata terdengar keberatan.

“Permintaan klien. Katanya sih itu anak masih kerabat yang punya perusahaan.”

“Nepotisme!” sindir Tata.

Elena tertawa. Ia sangat tahu Tata benci sekali dengan segala bentuk kemudahan dalam dunia kerja. Terutama yang berhubungan dengan praktek KKN. Dan itu salah satunya mengapa Tata sangat tidak terlihat antusias akan kehadiran Asanka di kantor mereka. Karena ia tahu ada embel-embel nama besar pemilik perusahaan yang melekat di belakang nama ECD mereka itu. Andai saja Tata tahu hubungan antara Asanka dan Elena, tak menutup kemungkinan gadis ini juga pasti akan memandang skeptis sang Creative Director.

“Kasih proyeknya ke tim lain deh.” Tata meletakkan map tersebut di atas mejanya kembali.

“Nggak bisa. ECD udah bagi jatah buat tim lain. Lagi pula si Bos kayaknya puas dengan hasil kerja kita kemarin. Makanya dia percayain proyek besar ini ke kita.”

Tata memberikan pandangan memelasnya membuat Elena gemas dan mengacak puncak kepala gadis itu. Kadang Tata memang bisa kekanakan seperti itu hanya dengan tatapannya.

“Udah jangan ngeluh. Ntar Edo balik, kita rapat buat bicarain konsepnya ya.”

Elena kemudian meninggalkan Tata yang terlihat putus asa setelah mendapatkan tugas barunya. Ia bahkan membenturkan-benturkan kepalanya ke meja hingga menimbulkan bunyi berisik. Membuat beberapa pasang mata menoleh kepadanya. Namun hanya gelengan kepala yang mereka berikan karena meliha ulah Tata.

Setelah menghadapi rapat selama hampir dua jam yang membuat kepala hampir pecah karena perdebatan yang alot, akhirnya Tata bisa melepaskan diri dari suasana panas ruang rapat. Secepat kilat gadis itu memilih melarikan diri ke kedai kopi langganan mereka. Tata butuh kafein untuk menjernihkan otaknya. Sementara Elena dan Edo masih betah berlama-lama di ruang rapat. Tanpa banyak kata Tata langsung bergegas menuju konter untuk melakukan pesanan. Seolah tahu kebiasaan Tata, sang Barista hanya mengangguk dan segera membuatkan pesanan pelanggan setianya.

“Satu esspresso double shoot!” Eki, sang barista yang sudah sangat di kenal Tata segera menyerahkan pesana Tata.

“Makasih, Ki.”

“Lembur?” tanya Eki. Tata menggeleng.

“Enggak. Mau pulang!” ucap Tata dengan nada menahan jengkel membuat Eki menyemburkan tawanya.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Tata langsung bergerak menuju pintu keluar. Namun nahas, karena tidak hati-hati ia bertabrakan dengan pengunjung yang hendak masuk ke kafe. Sialnya lagi, kopi yang dipegang Tata tumpah dan mengotori kemeja korbannya.

“Maaf.. maaf...” ucap Tata sambil berusaha membersihkan noda kopi pada orang yang bertabrakan dengannya.

Orang tersebut masih diam namun terlihat jelas berusaha menjauhkan tangan Tata dari tubuhnya.

“Tidak apa-apa,” balas suara yang cukup familiar di telinga Tata.

Tata langsung mendongak, menatap si korban. Dan betapa terkejutnya Tata saat mengetahui bahwa orang yang tak sengaja ia tabrak adalah bos besarnya di kantor.

“Pak A... Asanka?” sapa Tata terbata. Asanka hanya mengguman sebagai jawaban.

“Lain kali kamu mungkin bisa lebih hati-hati.”

Hanya itu jawaban pria itu. Membuat Tata merasa bersalah dan tak enak hati.

“Maaf Pak.”

“Tidak mengapa Nirbita. Hanya...”

“Iya saya tahu. Lain kali harus hati-hati.”

Entah dapat keberanian darimana hingga Tata tanpa ragu memotong ucapan Asanka. Hanya saja gadis itu jengkel mendengar nada suara Asanka yang seolah menyudutkannya. Bukan Tata sengaja. Ini juga pertama kalinya ia bertindak ceroboh seperti ini. Tapi nada suara Asanka seolah Tata orang paling bersalah dalam insiden kopi ini.

“Kamu...”

“Saya minta maaf. Mungkin sebagai ganti rugi saya bisa bayar biaya laundry untuk kemeja Bapak?”

Asanka mengerjapkan mata menatap gadis di depannya ini. Di satu sisi ia sebenarnya tak ingin mempermasalahkan hal ini. Tapi di sisi lain, otak kecilnya berkata bahwa ini kesempatannya untuk menuntaskan rasa penasaran akan sosok Tata yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Jadi tanpa ragu Asanka mengangguk membuat Tata yang berganti menjadi terkejut karena tak menyangka bos besarnya menerima tawarannya.

Note : selamat membaca. Oh ya, ini hari terakhir PO Senandung Melody. Yang sudah ikutan, terima kasih. Yang belum sempat, mungkin nanti pas ada rejeki bisa beli 💙🤗

Isekai, 30/04/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro