Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 4

Waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi saat Dita turun dari ojek daring yang ditumpanginya. Dari indekosnya tadi dia bertolak pukul enam pagi menggunakan moda transportasi KRL untuk pulang. Sengaja mengambil keberangkatan paling pagi agar lebih cepat tiba di rumahnya ini.

"Aunty Dita!" Seruan manja dari Rany menyambut kepulangannya pagi ini.

"Chava!" Dita berlari kecil menghampiri sang ponakan yang tengah berjemur bersama ibunya. Rany dianugerahi seorang putri cantik yang diberi nama Chava.

"Hei! Jangan dekat-dekat!" tegur Miranti dari arah dalam rumah.

Dita yang memang sejak awal juga berniat menjaga jarak dengan bayi berusia 40 hari itu, diam di tempatnya. Menarik seutas senyum, Dita ingin bergegas menghampiri sang ibu. "Assala--"

"Kamu itu harusnya mengerti, kamu kan, baru saja sampai. Habis naik angkutan umum, banyak debu dan polusi yang menempel di tubuh kamu. Kamu mestinya menjaga jarak dengan Chava!" Miranti menatap tajam pada putri sulungnya.

"Tadi juga Dita nggak sampai dekati Chava, kok Bu!" sahut Rany.

"Itu kan karena ibu teriak dari dalam, coba kalau tidak?" Miranti mematahkan pembelaan Rany.

Ucapan salam yang sudah di ujung lidah tadi, kembali tertelan ke tenggorokan. Niat hati ingin mencium tangan ibunya, jadi ia urungkan, khawatir kuman yang mungkin menempel pada tangannya akan berpindah pada tangan sang ibu.

"Dita masuk dulu, Bu," pamitnya.

Begitu melewati Rany, ia merasakan tangannya mendapat usapan singkat dari adiknya itu. Ia tahu adiknya itu bermaksud memberinya kekuatan, tapi Dita sudah kuat lebih dari yang Rany tahu. Kekesalan ibunya itu bukan tanpa alasan. Dita jelas tahu ibunya sudah lama kecewa dengan dirinya yang tidak juga sukses. Berbanding terbalik dari Rany yang memiliki popularitas sebagai seorang artis instagram.

Dari ruang tamu, ia berbelok menuju kamarnya yang berada di ujung dekat dapur. Ia dan Rany, hanya dua bersaudara. Dibesarkan seorang diri oleh sang ibu yang menjanda sejak Rany balita. Mendiang ayah mereka yang seorang mandor proyek yang meninggal karena kecelakaan kerja.

Dita memilih indekos sejak hampir empat tahun yang lalu. Membuat rumah ini hanya ditempati ibunya, Rany dan Pras. Setelah meletakkan tasnya di kamar, Dita lantas menuju kamar mandi, untuk mencuci tangan, kaki dan wajahnya. Setelah itu niatnya, Dita akan berganti pakaian. Ia sudah tak sabar ingin bermain dengan keponakannya.

"Ibu kira, kamu nggak akan pulang."

Suara itu menyambut Dita begitu ia keluar dari kamar mandi. Sambil menjejakkan kakinya di keset, ia menoleh pada sang ibu yang tengah membereskan satu peti buah jeruk di dapur.

"Pulang dong, Bu. Dita sengaja ambil cuti. Kan, mau bantu-bantu acara syukuran 40 hari, Chava." Dita berjalan mendekati sang ibu.

"Kalau tidak ada acara syukuran kamu tidak pulang? Begitu?" balas Miranti.

"Bukan begitu ...."

"Karena pekerjaanmu? Jadi tidak sempat pulang? Kerja, kerja, kerja terus, tapi hidupmu begitu-begitu saja, Dita!" Miranti mengatakannya dengan keras sampai Dita refleks memundurkan wajahnya.

"Sepenting apa sih pekerjaan kamu, sampai tidak sempat pulang!" lanjut Miranti pada putri sulungnya yang duduk bersila di hadapannya.

"Kamu kerja sampai lupa pulang ke rumah, padahal gaji kamu juga jauh di bawah pendapatan Rany. Jabatan kamu mentok saja di Deputi Manajer. Umurmu sudah hampir kepala tiga, tapi masa depanmu masih belum kelihatan!" Miranti rupanya belum puas mengkritisi pencapaian putrinya yang menurutnya bergerak seperti keong.

Kata demi kata menyakitkan itu Miranti lontarkan tepat di depan wajah putrinya. Namun, Dita yang sudah mahir menekan perasaan sedihnya atas sikap Miranti padanya itu, tetap menunduk sambil mengelap jeruk-jeruk dari peti.

"Do'akan saja bu, agar Dita cepat naik jabatan," jawab Dita seraya mengulas senyum pada ibunya.

Wanita dengan daster yang panjangnya hingga ke mata kaki itu, hanya menoleh malas pada Dita. Tanpa menjawab, ia merubah posisinya menjadi berdiri. Kemudian melenggang pergi meninggalkan Dita sendirian.

***

"Udah, lo istirahat sana Dit. Biar gue aja yang beresin ini."

Dita menarik segaris senyum menanggapi ucapan adik iparnya itu. "Beneran nih, Pras?" tanyanya memastikan.

"Iya!" kata Pras lagi. "Lo pasti capek udah bantu-bantu dari pagi."

Pria tampan dengan baju koko berwarna moka itu mulai menggulung karpet yang digelar di halaman rumah. Meski sudah menjadi seorang selebgram yang cukup dikenal Pras dan Rany tetap menggelar acara syukuran tadi dengan sederhana. Rany dan Chava, serta Miranti sendiri sudah beristirahat di dalam sejak tadi setelah acara syukuran selesai.

Bukannya masuk ke dalam rumah dan beristirahat, Dita memilih duduk di bangku beton yang ada di depan rumahnya. Sekalian mengawasi para pekerja yang mulai membongkar tenda yang tadi juga digunakan untuk acara. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Masih terdengar sayup suara anak-anak remaja tengah bermain bola di lapangan kompleks yang berada tidak jauh dari rumahnya.

"Dit, nggak mau masuk? Udah malam!" Pras yang sudah selesai membereskan karpet itu berdiri di depan pagar rumah yang terbuka. Tenda juga sudah selesai dibongkar, para pekerja sudah memindahkan besi-besi itu ke atas mobil pick up.

"Sebentar lagi, Pras," jawab Dita.

Setelah mobil pick up itu pergi, Pras kemudian pamit untuk masuk. Sementara Dita masih setia menikmati angin malam yang membelai wajahnya. Gamis berwarna moka yang dipakainya, menutup tubuhnya dengan sempurna sehingga membuatnya aman dari gigitan nyamuk yang sedari tadi ramai berterbangan.

Besok pagi, ia harus sudah kembali bekerja. Namun, meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas, Dita tak mendapati dirinya mengantuk. Kata-kata pedas sang ibu sejak tadi menari-nari dalam pikirannya. Sebegitu burukkah dirinya di mata ibunya sendiri? Pikir Dita tak mengerti.

Ia tidak pulang hampir sebulan ini karena masih sibuk dengan pekerjaannya. Kursi Manajer Operasional masih kosong. Tanggung jawab tentunya diemban Dita sepenuhnya.

Dering ponsel dari saku gamisnya membuat Dita menarik pandangannya dari hitamnya langit di atas sana. Nama Pak Agung yang tertera di layar membuat ia terkekeh sendiri. Pasalnya ia juga baru saja mengingat Pak Agung.

"Halo, Pak!" seru Dita riang begitu menempelkan ponsel itu ke telinganya. "Ada yang bisa saya banting?"

Terdengar tawa geli dari seberang sana, hanya karena sebaris pertanyaan receh dari Dita.

"Saya cuma mau memastikan kehadiran kamu besok di kantor pusat."

"Ke kantor pusat? Untuk apa ya, Pak?" Dita mulai menegakkan posisi duduknya.

"Kamu lupa?"

Dita sekarang benar-benar sadar kalau ia tengah melupakan sesuatu yang mungkin saja sangat penting karena Pak Agung sampai menghubunginya malam-malam begini.

"Besok, jam sembilan pagi, jadwal kamu mengikuti tes dan wawancara menjadi sekretaris di kantor pusat GWM."

Dita menepuk keningnya sendiri dengam cukup keras. Heran sendiri karena bisa lupa dengan hal sepenting itu.

"Saya benar-benar lupa, Pak. Dan, belum ada persiapan," keluh Dita seraya menggigit bibirnya.

"Harusnya tidak sulit karena saya yang merekomendasikan kamu. Dan, saya yakin kamu juga bisa meski tanpa saya bantu. Percaya diri saja, seperti biasa, Dita!"

Dita refleks mengangguk. Senyum tipis terukir di wajahnya membayangkan status karyawan tetap yang akan segera ia sandang jika bekerja di kantor pusat GWM. Mengingat selama tujuh tahun ini berkarir di Mal, ia terus saha menjadi karyawan kontrak. Kenaikan gaji juga akan ia dapatkan jika lolos menjadi sekretaris Pak Agung. Dengan begitu, ia bisa menyisihkan uangnya lebih banyak dan menunjukkan pada sang ibu kalau ia kerja kerasnya selama ini tidaklah sia-sia.

Dita otw jadi Sekretaris, nih 😍
Buat yang udah baca, jika berkenan boleh baca lagi ya. Karena ada perubahan tipis-tipis di beberapa bagian.

Terima kasih buat vote dan komennya 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro