Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 3

Mata Arkha terbelalak sempurna begitu ia membuka pintu ruang kerjanya. Ia nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ruang kerja itu tampak familier. Tata letak kursi, meja, sofa untuk menerima tamu, lukisan, serta guci besar di sudut ruangan, semua tampak persis seperti ruang kerjanya di Grand Wisesa Resort (GWR). Ia tidak menyangka kakeknya seniat ini hanya agar ia nyaman bekerja di GWM.

Wisesa yang merasa sudah waktunya beristirahat, menyerahkan jabatannya sebagai Direktur Utama GWM pada sang cucu, Arkharega Wisesa. Sebelumnya, Arkha cukup lama menduduki jabatan Wakil Direktur Grand Wisesa Resort (GWR) yang berada di Lembang, Bandung. Posisi Dirut GWR sendiri dipegang oleh anak perempuan Wisesa bernama Selvi. Kesuksesan Arkha selama menjadi pimpinan di GWR menjadi cikal bakal alasan Wisesa mempercayakan GWM di tangan Arkha.

Arkha memilih duduk di sofa abu tua di ruangannya itu. Ia sebenarnya masih belum siap memimpin GWM. Kemarin, setelah ia dengan resmi dikenalkan pada seluruh pegawai di GWM, Arkha meminta izin pada sang Kakek untuk beristirahat sebelum memulai mengemban tugas. Dan, di hari ini ia masih juga belum merasa siap.

Ponsel dalam saku celananya bergetar, membuatnya sedikit mengangkat tubuhnya untuk mengambil ponsel.

Arshavina, calling ...

"Ya," jawab Arkha tak bersemangat.

"Kok lemes sih, sayang?"

"Jangan kasih aku pertanyaan, yang kamu tau jawabannya, Teh!"

Arkha merebahkan kepalanya di sandaran sofa yang bahkan dibuat dengan bahan yang sama seperti yang ada di GWR. Sementara itu kakak Arkha satu-satunya bernama Vina, tengah tertawa puas dari seberang sana.

"Pak Arkha harus semangat!"

Arkha hanya menggumam.

"Nanti, kalau sudah dapat pacar anak Jakarta, kasih tahu teteh, ya!"

"Pacar?" Arkha mendengus. "Urusan pekerjaan saja, aku masih belum yakin. Bagaimana caranya aku bisa mencari pacar?" balas Arkha.

"Kamu nggak perlu cari. Nanti, juga datang sendiri."

Arkha terdiam, berbicara urusan asmara, ia lantas mengingat sosok wanita yang selama ini menduduki tahta di ruang hatinya. Namun, tidak akan bisa ia miliki karena wanita itu sudah memiliki seorang anak yang lucu dan suami yang amat mencintainya. Nyatanya meski wanita itu sempat bercerai dengan suaminya, tidak cukup memberi jalan untuk Arkha merebut hati wanita yang sempat menjadi model papan atas itu.

"Sudah dulu ya, Teh. Arkha dipanggil Kakek," ucapnya berbohong.

Arkha mematikan panggilan secara sepihak. Ia terkekeh sambil menatap layar ponselnya dan menyimpannya kembali ke saku celana. Ia kemudian beranjak dari sofa yang ia duduki. Berjalan menuju rak buku di sudut ruangan, lalu beralih pada lemari penyimpanan dokumen GWM. Setelah mangkir satu hari kemarin, Arkha merasa ia harus mulai mempelajari GWM dengan segera.

Hari mulai malam, saat Arkha menyudahi aktivitas di hari pertamanya bekerja itu. Saat ia mengembalikan salah satu dokumen ke lemari, pandangannya tak sengaja jatuh pada JPO yang berada di sisi kanan seberang ruangannya ini. JPO tersebut tampak indah dengan lampu warna-warni di bagian luar sisi kanan dan kirinya. Meski di beberapa titik, lampunya mati.

Lalu lalang orang di sana tak sepadat siang tadi. Jarak pandang dari tempat Arkha berdiri dan JPO tersebut terbilang jauh, tetapi cukup jelas bagi Arkha untuk melihat seorang perempuan sedang berdiri, memandangi karut marut kemacetan jalanan yang mulai terurai.

Arkha ikut mengarahkan pandangannya ke titik yang sama dengan yang perempuan itu lihat. Pada gelapnya langit Jakarta yang dihiasi gemerlap lampu-lampu penerangan jalan, dan cahaya berkilauan dari gedung-gedung tinggi yang tampak megah. Sebuah pemandangan yang baru Arkha dapatkan, setelah selama ini tumbuh besar di wilayah dataran tinggi di Jawa Barat.

Arkha mulai terlarut dalam pemandangan di depannya, saat terdengar ketukan pada pintu ruangannya. Ia menoleh dan beringsut dari posisinya berdiri.

"Pak Rafi, belum pulang?" tanya Arkha pada seorang pria yang baru saja memasuki ruangannya.

"Justru, saya yang mau tanya Pak Arkha, ini kenapa belum pulang?" balas pria berusia empat puluhan yang merupakan asisten pribadi Wisesa.

"Sebentar lagi," jawab Arkha singkat.

Pak Rafi tampak mengangguk. "Kalau Pak Arkha berkenan, saya mau meminta kualifikasi tertentu dari Pak Arkha untuk calon sekretaris Pak Arkha nantinya." Pak Rafi menyerahkan lembaran dokumen permintaan karyawan untuk Arkha isi. "Jadi, besok saya akan langsung serahkan ke HRD, hingga bisa segera dilakukan proses perekrutan."

Arkha tersenyum kecil, lalu mengembalikan lembaran kertas itu. "Sepertinya saat ini, saya belum membutuhkan sekretaris, Pak."

"Tapi, ini perintah Pak Wisesa," balas Pak Rafi. "Lagi pula keberadaan sekretaris tentu akan sangat penting dalam pekerjaan Pak Arkha nantinya."

Arkha menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemarin saat bekerja di GWR ia memang bekerja sendiri, tanpa asisten pribadi ataupun sekretaris. Dan, mungkin Arkha yang belum memantapkan hati untuk menjadi Dirut GWM, jadi cukup terkejut dengan perubahan yang ada.

"Saya dengar, Kakek sedang butuh istirahat di rumah saja. Bagaimana sebagai gantinya, Pak Rafi yang membantu saya di sini?" tanya Arkha.

Pak Rafi terkekeh. "Yakin, Pak Arkha mau didampingi bapak-bapak tua seperti saya? Padahal Pak Arkha bisa meminta sekretaris yang muda, cantik, menarik, modern, pintar, serba bisa, berwawasan luas ...."

Arkha ikut tertawa. Sebelah tangannya terselip dalam saku celana, sementara sebelah tangannya lagi menepuk pundak Pak Rafi, menghentikan ocehan pria itu. "Kalau seperti itu kualifikasinya, seperti kualifikasi mencari jodoh ya, Pak?"

"Ya, bisa juga Pak, dari mendampingi di kantor jadi mendampingi di pelaminan!" gurau Pak Rafi.

Arkha terkekeh. "Saya serahkan kepada HRD saja, untuk urusan sekretaris saya nanti. Tapi, untuk sekarang saya mau Pak Rafi saja yang membantu saya beradaptasi di perusahaan ini. Saya masih butuh banyak belajar dan rasanya tidak efektif jika saya didampingi sekretaris baru."

Pak Rafi mengangguk setuju atas pendapat Arkha. "Saya akan bicara dengan Pak Wisesa dulu, kalau begitu."

"Saya juga akan minta izin ke Kakek nanti," timpal Arkha.

"Pak Arkha mau makan malam? Ayo, biar saya temani, atau mau saya pesankan?" tawar Pak Rafi kemudian.

"Terima kasih Pak, tapi tidak perlu. Saya mau ke GWM langsung saja, sekalian jalan-jalan," tolak Arkha.

Pak Rafi pun pamit. Arkha sendiri langsung meninggalkan ruangannya yang berada di lantai lima itu menuju GWM. Arkha mengedarkan pandangannya pada setiap sudut GWM. Menelisik hal-hal yang ada pada Mal kebanggaan sang kakek yang dipercayakan padanya itu.

Sebuah kedai kopi ternama menjadi tempat pertama yang ia datangi. Suasana tak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja yang terisi.

"Mbak Dita!"

Arkha yang sedang mengantri untuk memesan, sontak menoleh ke arah Barista yang setengah berteriak memanggil seseorang di luar kedai. Seorang gadis dengan blazer longgar berbahan denim sedang melambaikan tangan ke arah dalam kedai. Di lehernya tergantung lanyard berbahan leather dengan name tag GWM. Dia gadis yang selama dua hari kemarin ia temui.

"Dari mana lo?" tanya si barista bermata sipit pada Dita yang baru saja masuk. Arkha tebak, Barista itu mungkin seorang atasan di kedai itu, terlihat dari kemeja kremnya yang tampak beda sendiri dari pegawai lain.

"Nyari makan!" Gadis yang belum menyadari keberadaan Arkha itu menggerakkan dagunya menunjuk arah luar GWM.

Arkha menoleh ke arah yang Dita tunjuk. Kebetulan kedai kopi yang Arkha datangi ini berada di lantai dasar, dan tepat ada di depan JPO.

"Kopi, mau?"

"Mau, dong!" sahut Dita bersemangat.

"Tunggu aja dulu. Nanti gue bikinin!"

Dita mengacungkan dua jempolnya ke atas, dan berlalu dari sana. Sesaat kemudian, pesanan Arkha selesai. Arkha membawa americano dingin dan cinnamon cookies pesanannya menuju meja terdekat di sana, yang kebetulan bersebelahan dengan meja Dita.

Meja yang Arkha tempati hanya berbentuk meja kecil berkapasitas dua orang. Bangkunya memanjang, dengan meja yang berderet di depannya. Dita yang menunduk memainkan ponsel masih saja tak menyadari sosok Arkha di sampingnya.

Hingga sebuah suara menginterupsi Arkha maupun Dita. Namun, di sini Dita yang lebih bereaksi. Ia mengangkat wajah dan menegakkan tubuh, lalu menoleh ke kanan dan kiri seperti memastikan sesuatu. Dalam hitungan detik, suara itu kembali terdengar. Suara yang entah berasal dari dalam perut siapa. Hingga pandangan Arkha dan gadis di sampingnya bertemu. Gadis itu tersenyum sambil meringis pelan.

"Pak Arkha," sapa Dita malu-malu.

"Kamu, lapar?" tanya Arkha tanpa basa-basi. "Bukannya tadi kamu bilang habis cari makan?"

Yang ditanya, hanya mengerjap.

"Dita!" panggil si Barista tadi. Di tangannya menggenggam segelas es kopi dengan topping frappe.

"Thanks!" ucap Dita setelah menerima kopi itu.

Barista itu kemudian pamit untuk kembali bekerja. Dita terlihat menyeruput kopinya, tanpa mau menoleh pada Arkha.

"Kenapa berbohong, bilang sudah makan, padahal belum?" tanya Arkha lagi. "Dan, dalam keadaan perut kelaparan kamu malah minum kopi?"

Dita menoleh dan terperangah sesaat. Ia mengusap tengkuk dengan malu yang menguasai diri. Belum sempat Dita menyahut, sebungkus cookies terulur ke arahnya.

"Makan ini!" titah Arkha yang membuatnya tampak dingin dan hangat saat bersamaan. "Ayo, terima!" katanya lagi membuat Dita mau tak mau mengambil cookies itu dari tangan Arkha.

Terima kasih buat vote dan komennya temen-temen 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro