Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 20

Perhatian! Jika kamu mendapati Bab dari cerita ini acak, kamu hanya perlu ikuti judul Bab untuk baca secara berurutan ya. Mohon maaf atas ketidaknyamannya 🙏

-----‐-------------------‐-----‐-------------------‐-----‐------------

Arkha baru menyadari sosok Dita tidak ada di belakangnya ketika ia sudah melewati pintu kaca otomatis lobi GWA. Ia meneliti ke arah dalam, heran mengapa Dita tiba-tiba tidak ada. Ia mencoba mengingat, tadi Dita bahkan tidak mengatakan apapun.

Namun, sentuhan di belakang pundak kirinya membuat ia kembali memutar tubuh ke arah depan. Senyum merekah di wajah cantik wanita di depannya, membuatnya melupakan niatnya mencari keberadaan Dita.

"Sha!" serunya dengan sorot mata penuh kerinduan. "Sendirian?"

Wanita itu mengangguk. "Si kecil baru imunisasi tadi. Jadi aku titip sama Attar karena nggak mungkin aku ajak ke sini," ucapnya membuat Arkha mengingat fakta wanita itu semakin mustahil untuk diraihnya.

Arkha hanya tersenyum tipis, menyembunyikan rasa sedihnya atas kisah kasih tak sampainya pada wanita bernama lengkap Ganesha Claudia itu. Sasha, akrab ia disapa, merupakan seorang mantan model di tanah air yang cukup terkenal.

"Kha, kamu kok nggak bekerja?" tanya Sasha menyadari penampilan Arkha saat ini.

Arkha meringis, lalu tangannya mengusap tengkuk salah tingkah. "Aku ...."

"Badan kamu hangat!" seru wanita yang kini memiliki tubuh sintal pasca mengandung dan melahirkan itu. "Kamu sedang sakit?" Tangannya sudah kembali ditariknya dari lengan Arkha yang tak sengaja ia sentuh.

"Sudah lebih baik, Sha." Arkha memang sudah berniat masuk kantor siang ini. Namun, sang kakek yang mengetahui hal itu dari Pak Rafi lantas menghubunginya lalu melarang keras dirinya untuk datang ke kantor. Makanya tadi ia tetap di rumah dan Dita datang mengantarkan dokumen, menggantikan Pak Rafi.

"Bolos ngantor, lalu keluyuran sama aku di GWM? Bos macam apa kamu ini?" Sasha tersenyum miring dengan tangan bersedekap di atas dada.

"Jadi?" Arkha menatap nelangsa pada Sasha. Ia tahu wanita itu pasti akan membatalkan rencana mereka untuk jalan-jalan di GWM.

Benar saja, Sasha menarik lengan Arkha kembali masuk ke dalam apartemen. "Lagipula urusanku di GWO sudah selesai. Senin nanti mulai persiapan untuk operasional kantor baru di sana," lapor Sasha yang memang tujuan utamanya datang ke Wisesa Superblok ini adalah untuk menyewa kantor di GWO untuk agensi model yang baru ia rintis sendiri itu.

Arkha mengangguk saja saat Sasha memutuskan untuk mampir ke apartemennya. Membiarkan Sasha berjalan mendahuluinya masuk ke dalam lift. Sementara itu di salah satu sudut lantai dasar apartemen itu, Dita menyaksikan pemandangan itu dengan pedih. Arkha yang ia kenal selalu bersikap dingin dengan ekspresi wajah yang datar, kini tengah berbicara akrab dengan raut wajah yang sangat bahagia.

Dita menjejakkan kakinya di lantai kantornya berada dengan perasaan yang kosong. Memang ia juga tidak pernah membayangkan Arkha membalas perasaannya, tapi sakitnya patah hati tidak dapat ia hindari kini. Mencoba tegar, Dita merapikan dokumen, memilahnya untuk ia kembalikan ke departemen terkait. Sampai sore datang, Dita bekerja dengan wajah Arkha bersarang di kepala.

Rany : Ta, lo balik, kan? Chava kangen, nih!

Sebuah pesan dari Rany masuk ke ponselnya. Kalau dalam situasi normal, ia mungkin akan dengan cepat membalas Rany. Mengatakan pada Rany kalau yang merindukan dirinya bukan keponakannya, Chava. Tetapi, Rany sendiri.

Dita baru saja mempertimbangkan apa seharusnya ia pulang? Hingga sebuah pesan dari Rany kembali ia terima.

Rany : Nyokap juga kangen!

Dita tersenyum miring. Adiknya itu memang mahir sekali berbohong. Namun, yang ia lakukan justru merapikan meja kerjanya dengan cepat. Menyambar tasnya lalu berjalan cepat menuju lift. Tak sabar untuk segera pulang ke rumah. Mungkin dengan bertemu keluarga, akan membuatnya pulih dari luka patah hatinya hari ini.

***

Kepulangan Dita di malam Sabtu itu disambut hangat oleh Rany. Mengingat terakhir kali Dita pulang, Dita malah memilih kembali ke Indekos. Sementara itu Miranti juga bersikap biasa saja, seperti tak pernah berbuat salah pada putri sulungnya. Dita sendiri sudah berbesar hati, tak mau mengingat kejadian itu. Justru ia merasa bersalah karena sempat melawan sang ibu malam itu.

Sabtu pagi, Rany sudah berangkat pagi-pagi sekali bersama suaminya. Keduanya ada pekerjaan di luar sampai sore hari. Sejak pagi juga Dita sudah bersama Chava. Bayi berusia tiga bulan itu sepertinya benar merindukan tantenya itu. Bahkan semalam, Chava sempat tidak mau lepas dari gendongan Dita.

"Makan siang dulu, Dita. Biar Chava dengan Ibu," ucap Miranti menghampiri Dita di teras rumah. Di pangkuan Dita, ada Chava yang tertidur pulas.

"Iya, Bu," Dita menyerahkan Chava ke tangan ibunya sepelan mungkin, agar tidak mengganggu tidur Chava. Namun, bayi lucu itu malah membuka mata begitu berpindah ke gendongan Miranti. Mata beningnya berbinar lucu mengundang tawa tante serta neneknya itu.

"Sudah kamu makan siang saja," titah Miranti pada Dita.

Dita mengangguk patuh, berjalan menuju dapur diikuti Miranti dan Chava di belakangnya. Sudah pukul dua belas siang, Miranti sudah memenuhi meja makan dengan masakannya. Selama Dita menjaga Chava, Miranti memang sibuk memasak.

"Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya Miranti begitu Dita menyelesaikan suapan terakhirnya. Tumis kacang panjang dan ikan goreng dengan sepiring nasi ia habiskan dalam waktu sekejap.

"Baik, Bu," jawab Dita. Meski resah kembali muncul mengingat ia hanyalah pegawai berstatus percobaan selama tiga bulan.

"Sepertinya Bos kamu, baik, ya?" tanya Miranti lagi.

Dita mengangguk. "Baik sekali, Bu. Dia saja mau menolong Rany waktu itu. Dia juga banyak membantu Dita selama bekerja." Dita menuturkan kebaikan Arkha itu sambil tersenyum.

"Kamu tidak menyukai dia, kan?" Pertanyaan itu hanyalah kiasan. Miranti tentu dengan mudah membaca pikiran putri yang ia lahirkan itu.

Dita terdiam. Kini mendung membingkai wajah cantiknya. Ia menunduk salah tingkah.

"Ibu harap, kamu tidak memiliki perasaan untuk dia. Ingat kita itu siapa, Dita. Tahu diri sedikit."

Dita lantas mendongak. Kalimat terakhir dari ibunya benar-benar memukul hatinya telak. Perlahan Dita mengangguk. Semua nasehat sang ibu selama ini selalu Dita sanggupi. Kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut ibunya selama ini juga Dita dapat memaklumi. Namun, kali ini Dita merasa ada yang kembali patah di dalam sana.

Miranti lalu beranjak dari duduknya, pergi membawa Chava yang sudah kembali tertidur pulas. Dita juga ikut berdiri, membawa piring kotornya ke kitchen sink. Memasuki kamar, Dita menaiki tempat tidurnya. Tidur siang mungkin akan membuatnya lebih tahu diri ketika bangun nanti.

Butuh waktu lama bagi Dita untuk tertidur. Namun, saat membuka mata kembali nama Arkha yang pertama kali dilihatnya. Nama bosnya itu terpampang di layar ponselnya, seiring dengan bunyi nyaring yang terdengar. Dita mendesah lelah, tanpa ragu menekan ikon gagang telepon berwarna merah di layar ponselnya itu.

"Astaga Arkha!" Dita berseru kesal saat ponselnya kembali bersuara. Masih di atas tempat tidur, Dita mengabaikan panggilan itu dengan menutupnya memakai bantal.

Panggilan itu tak henti berbunyi. Dan, Dita semakin muak dengan halusinasi tentang Arkha yang menyiksanya sejak tadi. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, mengambil ponselnya dan mengusap layarnya dengan kasar. Menempelkannya ke telinga, Dita bersiap untuk berteriak.

Umpatan yang ada di ujung lidah, kembali tertelan semuanya. Tanpa menjawab, Dita membiarkan Arkha mengomel karena ia dengan tidak sopan sempat menolak panggilan masuk dari Arkha tadi. Arkha kini sudah mematikan sambungan telepon mereka, dan baru Dita sadari pria itu sudah mencoba menghubunginya sejak setengah jam yang lalu. 

Baru aja mau tahu diri, eh si Bos telepun 🙄

Buat temen-temen pembaca baru, selamat datang ya. Kalau suka dengan cerita ini, tinggalkan jejaknya, boleh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro