Bab. 12
Dita menatap sendu pria yang berjarak dua langkah saja darinya itu. Selama satu minggu ini ia berusaha untuk tidak keluar dari jalurnya. Jalur yang mengarahkanya pada satu-satunya tujuan, yaitu kesuksesan. Kesuksesan yang akan ia raih jika memiliki karir yang baik. Makanya ia ingin melewati tiga bulan percobaan sebagai sekretaris dengan baik, sehingga ia bisa meneruskan karirnya di GWM.
Dita ingin tetap pada tujuannya, bukannya malah melenceng dengan menyukai bosnya sendiri. Sebuah perasaan bodoh yang tak seharusnya ia miliki untuk Arkha. Dita masih cukup waras untuk berpikir tentang 'siapa' dirinya dan 'siapa' Arkha. Untuk itu, debaran dada saat Arkha tak sengaja menatapnya, atau perasaan nyaman saat parfum beraroma musk milik Arkha tercium olehnya, selalu Dita coba lupakan setiap kali ia pergi tidur. Meski di pagi hari, bayangan Arkha tetap muncul lagi dan memompa semangatnya untuk segera berangkat bekerja.
Dan, tadi ia dengan nekat menerobos semua pagar yang ia bangun di antara dirinya dan Arkha. Perasaan tidak tega melihat pria itu bekerja sendirian di ruangannya, benar-benar menyiksa. Sekuat tenaga ia menampik perasaan yang ia punya untuk Arkha. Namun, seperti ada sisi lain dari dalam dirinya yang ingin memenangkan rasa yang masih bersifat semu itu.
"Dita!"
Dita tersentak keras, lalu refleks menoleh ke sekelilingnya. Hingga pandangannya jatuh pada Arkha yang sudah berdiri sekitar satu meter darinya. Pria itu sudah berada di luar lift, sementara ia masih bersandar di dinding lift itu.
Segera menguasai diri, Dita lantas berjalan keluar menghampiri Arkha yang menatapnya aneh. Otot-otot rahang Dita sepertinya sudah biasa membentuk sebuah lengkungan di bibir. Hingga ia menampilkan senyum saja, saat ia bertemu mata dengan Arkha.
"Apa yang membuat kamu tidak fokus? Ada masalah yang kamu pikirkan?" tuduh Arkha.
"Masalah? Tidak ada, Pak," jawab Dita cepat.
"Kamu bukan orang yang suka melamun, Dita," ucap Arkha kemudian melanjutkan langkah.
"Tapi, saya memang tidak memiliki masalah apapun, Pak." Dita terus menyangkal tuduhan Arkha.
"Kamu bohong." Nada bicara Arkha terdengar begitu tenang di telinga Dita.
"Kamu menyesal, kan, karena tadi bilang ingin berteman dengan saya?" Arkha menuduh lagi.
"Maksudnya, bagaimana ya, Pak?" Dita jelas tak mengerti.
"Saya bukan orang yang asik diajak berteman, Dita. Saya berpikir mungkin kamu tidak akan tahan menjalin hubungan pertemanan dengan saya."
Dita membeku di tempatnya. Membiarkan Arkha berjalan keluar menuju lobi lebih dulu. Ternyata selain irit bicara, pria yang ia sukai itu tukang asal tuduh.
***
"Kenapa masih ada di sini?" tanya Arkha pada gadis yang berdiri bersisian dengannya itu. Gadis itu tak lantas menjawab, melainkan memusatkan pandangan ke arah kanan mereka.
"Dita ...."
"Sebagai teman yang baik, saya akan menemani Bapak, sampai dijemput oleh supir," jawab Dita lalu menyunggingkan senyum untuk Arkha.
"Kamu selalu bersikap begini kepada semua temanmu?" tanya Arkha.
"Tentu, Pak. Tadi saja saya temani Tania sampai dia dijemput pacarnya." Jawaban Dita kali ini membuat Arkha memilih untuk tidak membalasnya.
Dua menit berlalu, Dita melirik Arkha yang bergerak gelisah. Ia sendiri resah karena sopir bosnya itu tak juga datang. Arkha sendiri mulai kesal karena tidak kunjung berhasil meminta gadis di sampingnya itu untuk pulang.
"Pak Arkha kenapa sih, nggak nyaman ya saya temani?" Dita mulai merasa tidak enak hati.
"Saya memang terbiasa sendiri," ucap Arkha tanpa menoleh pada Dita.
Dita merasakan aura di sekitarnya menjadi aneh. Ia menyesal sudah bersikap sok akrab pada Arkha. Mungkin saja sebenarnya pria itu yang tidak ingin berteman dengannya.
"Memang Pak Rusdi sedang apa ya, Pak? Kenapa lama sekali datangnya?" Dita berinisiatif memecah keheningan dengan menanyakan keberadaan sopir Arkha.
"Rusdi sedang saya minta untuk membeli sesuatu, di dekat rumahnya."
Dita manggut-manggut saja.
"Kamu sudah makan malam?"
Dita menoleh kaku pada bosnya itu, lalu menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban.
"Nongkrong dari jam enam sore sampai hampir jam sepuluh malam tadi, kamu ngapain saja sampai tidak makan malam?"
"Maaf Pak, maksudnya bagaimana?" balas Dita bingung.
"Mau makan malam bersama saya?" tanya Arkha lagi.
Dita hampir tidak bisa menguasai diri. Sial, ia kini tak bisa menganggap remeh perasaannya pada Arkha. Diminta makan malam bersama saja, ia seperti diajak terbang ke langit ke-tujuh oleh pria itu. Dita meneguk salivanya, lalu kembali mengendalikan dirinya yang serasa ingin terbang ke atas awan. Arkha sukses memporak-porandakan pertahanan Dita atas perasaannya selama ini.
Lebay, Dita. Cukup.
"Tapi, Pak. Mal sudah tutup. Kita mau makan di mana?" balas Dita akhirnya.
"Di mana saja. Saya ikut kemana kamu pergi."
Dita seperti tersihir. Ia lantas beranjak dari tempatnya berdiri, diikuti Arkha yang mengulas senyum tipis di belakang punggungnya.
***
Asap mengepul dari dua mangkuk sop iga yang baru diantarkan si penjaga warung. Dua nasi panas dan dua gelas Es jeruk peras juga mereka pesan. Arkha masih melipat tangannya di atas meja, sementara Dita mengambilkan Arkha sendok dan garpu lalu mengelapnya dengan tisu lalu memberikannya pada Arkha.
Arkha menerima sepasang alat makan itu tanpa mengucap terima kasih. Ia mulai menggunakan sendoknya untuk menyingkirkan bawang goreng dari atas nasi putih miliknya. Kegiatannya itu terhenti tatkala satu sendok bergabung membantunya menyingkirkan bawang goreng itu dari sana.
"Saya nggak pernah tahu, kalau Pak Arkha nggak suka bawang goreng. Padahal nasi liwet yang suka saya beli di restoran Sunda langganan Pak Arkha, kan ada taburan bawang gorengnya juga."
Penuturan Dita dibalas hening oleh Arkha. Dita yang sudah terbiasa, tak ambil pusing, ia beralih pada mangkuk sop iga milik Arkha mengambil bawang goreng malang yang mengambang di sana.
"Seledrinya sekalian." Arkha tiba-tiba memberi perintah.
Dita hanya tersenyum lalu menuruti permintaan Arkha. Setelahnya, Arkha mulai menyantap menu makan malamnya itu. Hingga Arkha lebih dulu menyelesaikan makannya, sementara Dita sendiri belum selesai karena sejak tadi ia menyantap makan malamnya sambil menatap layar ponsel.
"Itu Rany?"
Dita mengangkat wajah, mendapati Arkha yang tengah mengelap sekitar mulutnya dengan tisu. Arah pandang manik kelam milik pria itu mengarah pada posnelnya. "Iya, kok tau?"
"Saya ingat suaranya," jawab Arkha membuat Dita mengangguk saja.
"Kamu tidak coba mengikuti jejak adik kamu?" tanya Arkha lagi.
Senyum Dita yang merekah saat sang adik berkata lucu di siaran langsung instagramnya itu, mendadak hilang. Ia memandang Arkha sebentar, lalu menggeleng. "Tidak, Pak."
"Kenapa? Tentu dengan bantuan adik kamu itu, kamu akan mudah menekuni bidang itu. Kamu akan mendapat penghasilan tinggi, dan popularitas. Saya yakin kamu bisa ...."
Kalimat Arkha terhenti saat Dita tiba-tiba meletakkan sendok dan garpunya di atas nasinya yang tersisa separuh. Gadis itu menatapnya dalam diam. Untuk sesaat mereka saling memandang hingga Dita memutusnya lebih dulu dan menyimpan ponselnya ke dalam tas.
"Dita, kenapa? Saya salah bicara?" Arkha tentu peka dengan perubahan raut wajah Dita.
Dita tersenyum lebar lalu menggeleng. "Tidak, Pak. Tidak salah sama sekali. Karena Ibu saya pun pernah bertanya begitu."
"Lalu?"
"Saya hanya heran kenapa semua orang menyarankan saya agar seperti Rany. Sebegitu burukkah diri saya, dan sebaik itukah jika saya menjadi seperti Rany?"
Halo-halo, gimana masih seru kah ceritanya? Terima kasih buat vote dan komentarnya, ya 🥰
Nih, aku kasih bonus visual Arkha dan Dita. Mereka juga pasangan di dunia nyata, makanya serasi bangetttt. Tapi, kalau Arkha sama Dita, bakal serasi nggak sih 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro