Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 11


Setelah rapat rutin bersama para tim eksekutif tadi, Arkha mengatakan pada Dita kalau ia akan pulang jam enam sore. Dita bersorak kegirangan dalam hati saat mengetahuinya. Artinya ia bisa pulang dengan cepat, dan tidak perlu menunggui Arkha yang jam pulangnya tidak jelas. Gadis itu pun langsung mengiyakan ajakan Tania-Manajer Pemasaran GWM-untuk nongkrong dulu setelah jam kerja mereka usai.

Dita mengetuk pintu ruangan Arkha sebanyak tiga kali. Di tangannya ada beberapa dokumen dari departemen pemasaran untuk Arkha tanda tangani. Senyum terpatri di wajah Dita begitu mendorong pintu itu. Sosok tinggi tegap itu tetap tampak tampan meski Dita hanya melihat punggungnya saja.

"Pak Arkha," panggil Dita pada pria yang sedang berdiri di depan mesin kopi miliknya yang ada di sudut ruangan.

Pria itu tampak bergerak kaku, memutar tubuhnya menjadi menghadap Dita. "Ya," jawabnya.

"Pak Arkha, mau minum kopi? Biar saya buatkan, Pak." Dita menawarkan bantuan.

"Tidak. Saya tidak ingin minum kopi," jawab Arkha masih belum bergerak dari tempatnya berdiri.

"Ini ada dokumen dari tim pemasaran, untuk Bapak tanda tangani. Tapi, jika memang tidak keburu waktu, bisa ditandatangani besok pagi saja, Pak. Pak Arkha jadi pulang jam enam sore kan?" tanya Dita lalu melempar pandangannya ke arah jam di dinding.

Arkha refleks melihat objek benda yang sama dengan Dita. Lalu kembali menarik pandangannya ke arah gadis yang tampak manis dengan blazer berwarna fuchsia itu. "Jadi," jawabnya lalu kembali memunggungi Dita.

"Saya pamit kalau begitu, Pak," ucap Dita lagi lalu segera meninggalkan ruangan itu.

Arkha menoleh pada pintu ruangannya yang tertutup. Seraya tersenyum tipis, ia melanjutkan kegiatannya menyeduh kopi.

***

Lantunan syahdu lagu Glimpse Of Us milik Joji terdengar di seantero GWM. Dita menghirup dalam-dalam aroma khas GWM yang lama tak menyapa indera penciumannya. Karena selama satu minggu ini ada aroma baru yang setia menemani hari-hari Dita. Ya, aroma musk milik Arkha yang membuat Dita semakin betah berada di samping pria itu.

"Mbak Dita, apa kabar?" sapa barista di kedai kopi yang Dita datangi.

"Baik Jon," balas Dita ramah. "Ada Tania, ya?" tanyanya kemudian.

"Ada di samping, Bu," balas Joni si barista itu. "Bu Dita mau minum apa?"

Seperti menjadi tradisi, setiap kali Dita datang selalu saja ditawari minuman. Dita pun refleks mengingat Arkha, sambil menggelengkan kepalanya pelan.  "Nggak usah, Jon. Aku ke Tania dulu, ya."

"Tumben lo balik cepet!" sambut Tania begitu Dita tiba di mejanya.

"Demi elo, nih!" balas Dita kemudian meletakkan tas miliknya di meja bundar yang memisahkan dirinya dan Tania. Ia lalu duduk di kursi empuk berwarna coklat gelap, senada dengan warna meja.

Dita cukup akrab dengan Tania. Meski tidak sedekat layaknya sahabat. Keduanya merasa cocok baik di dalam maupun di luar urusan pekerjaan. Seperti sekarang, Tania meminta bertemu karena ingin curhat dengan Dita tentang keadaan GWM tanpa adanya Dita.

"Si Wahyu, seenaknya banget. Sumpah, gue nggak tahan, Dit. Kinerja dia nol besar, tapi gayanya udah kayak yang paling hebat!" ungkap Tania berapi-api menceritakan Spv Operasional yang naik jabatan menjadi Deputi Manajer Operasional menggantikan Dita.

"Lo sadarin lah, dia pasti mau dengerin lo." Dita memberi saran.

"Ogah, Dit! Please, lo balik lah ke GWM!" balas Tania.

"Mana bisa," jawab Dita lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu menyilangkan kedua tangannya ke depan dada.

"Terus, Manajer Umum bukan Pak Agung lagi, kan? Tuh orang ke mana sih?" tanya Tania.

Dita hanya mengedikkan bahu. Ia sendiri sudah kesal sendiri dengan Pak Agung yang tiba-tiba menghilang. Dita sempat mencari tahu ke departemen HRD, katanya Pak Agung dipindahtugaskan ke Grand Wisesa Resort (GWR) di Lembang, Bandung. Yang membuat Dita kesal, Pak Agung seolah memutus kontak dengan dirinya. Padahal Dita sendiri tidak merasa membuat kesalahan apapun.

Sudah cukup puas menuntaskan rindu dengan Tania, Dita pamit untuk pulang. Tania sendiri pulang bersama sang kekasih yang menjemputnya. Arloji di pergelangan tangan kiri Dita menunjukkan pukul sembilan malam.

Namun, saat melihat baterai ponselnya yang sudah mencapai lima persen, Dita mendadak mengingat pengisi daya ponselnya yang sepertinya tertinggal. Memeriksa tasnya, benar saja Dita tidak menemukan pengisi daya miliknya itu. Dan, ia tidak mungkin pulang dan membiarkan ponselnya mati sampai besok pagi. Ia memutar arah dan kembali menuju gedung kantornya yang berada persis di sebelah kiri GWM.

Dita berlari kecil melewati area resepsionis yang sudah sepi. Beberapa petugas sekuriti menyapanya saat ia melewati gate menuju lift. Ruangan bosnya menjadi tujuan Dita saat ini. Ia ingat sekali tadi mengisi daya ponselnya saat membereskan lemari penyimpanan dokumen di ruangan bosnya itu. Tepatnya di stop kontak bawah dekat sofa.

Dita menambah kecepatan larinya begitu hampir tiba di depan ruang kerja Arkha. Lalu menyambar handle pintu di ruangan itu dan membukanya dengan kasar. Namun, di sofa panjang ruangan itu, Dita tidak hanya menemukan pengisi daya miliknya. Tapi juga, Arkha yang menatapnya dengan tajam.

"Pak Arkha!" Gadis itu berseru lirih, seraya menurunkan tangannya dari pegangan pintu.

Arkha menurunkan sendiri tangannya dari atas dada, setelah terkejut setengah mati akibat pintu ruangannya yang dibuka mendadak oleh Dita. Mengembalikan arah pandangnya ke arah berkas yang berserakan di meja, ia kemudian merapatkan jasnya lalu beranjak dari sofa yang ia duduki menuju meja kerjanya.

"Pak Arkha! Saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau masih ada orang di ruangan ini. Karena tadi Pak Arkha bilang kan mau pulang jam enam sore," kata Dita lagi.

"Ada perlu apa datang ke ruangan saya?" tanya Arkha dingin.

"Ambil ... charger, Pak," jawab Dita gugup.

Arkha hanya berdeham pelan, lalu menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya. Dengan mengendap-endap Dita melangkahkan kakinya menuju ujung sofa. Diliriknya dokumen yang tampak berserakan di meja dekat sofa, lalu pandangannya beringsut pada Arkha di mejanya. 

"Pak Arkha, kenapa belum pulang?"

Arkha mengangkat wajah sebentar, hanya sebatas menunjukkan wajah datarnya lalu kembali berkutat dengan laptop. Sementara itu, Dita masih tidak berniat beranjak dari sofa yang ia duduki. Rencananya ia akan menunggu Arkha menyelesaikan pekerjaannya, baru akan pulang.

"Kamu sedang apa di sana?" tanya Arkha yang membuat Dita tersentak.

"Pekerjaan bapak, belum selesai? Biar saya bantu, Pak," balas Dita.

"Sudah selesai." Arkha menjawab bahkan tanpa mengangkat wajahnya. Ia masih menunduk memandangi laptopnya.

"Kalau begitu, saya bantu bereskan meja ini ya, Pak," ujar Dita yang sepertinya sudah tidak berharap Bosnya akan menyahut.

Selesai mengembalikan beberapa dokumen itu ke lemari penyimpanan, Dita kemudian menghampiri Arkha yang masih setia duduk di kursinya. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?"

Arkha akhirnya mengangkat wajah, "tidak," jawabnya.

"Pak Arkha mau pulang jam berapa?" Dita terus bertanya.

Arkha terpaksa mendongak lagi lalu menatap sekretarisnya yang mulai cerewet itu. Dita sendiri membalas tatapan Arkha, mengulas senyum seperti biasanya. Namun, seperti yang sudah-sudah, Arkha terlihat kembali mengabaikan Dita.

"Pak ...."

"Lima belas menit lagi," sela Arkha memutus kalimat Dita.

Senyum Dita kian melebar, ia memutar tubuh dan berjalan menuju sofa, lantas mendudukinya. Arkha sendiri berusaha mengabaikan Dita, tapi juga heran dengan gadis itu yang memilih duduk di sofa sambil menatapnya dari kejauhan.

"Kamu sedang apa?" tanya Arkha akhirnya.

"Lima belas menit lagi, kan, Pak? Saya tunggu bapak sampai selesai di sini saja, boleh?"

Embusan napas lelah keluar dari bibir Arkha. Ia jelas tahu selama ini Dita tidak akan pulang jika ia belum pulang. Makanya hari ini ia dengan rela berbohong kalau akan pulang cepat, agar gadis itu pulang cepat juga. Tetapi, kenapa gadis itu datang kembali ke kantor setelah beberapa jam berlalu?

Gestur tubuh gadis itu juga tampak nyaman di sofa, padahal hari sudah malam.  Bukankah sebaiknya dia pulang dan beristirahat, daripada menungguinya begini.

"Sepertinya kamu itu lebih senang pulang malam, ya?"

"Saya, pak?" Dita menunjuk dirinya sendiri.

Arkha memberi raut wajah malas menanggapi pertanyaan Dita, yang direspon gadis dengan ikatan rambut ekor kuda itu dengan senyum yang sangat manis karena berhasil menggoda bosnya.

"Bukan begitu, Pak. Tadi saya nongkrong sebentar dengan teman. Lalu teringat charger saya ketinggalan. Terus ada Pak Arkha di sini, saya mau temani Pak Arkha sampai selesai," tutur Dita.

"Tapi saya tidak minta ditemani," ungkap Arkha membuat Dita terdiam sesaat.

"Jadi, bapak mau saya pergi?" balas Dita akhirnya.

"Kamu mau pergi?" Arkha balik bertanya.

"Tidak, Pak," jawab Dita tegas.

"Kenapa?" Arkha menekuk sikunya ke meja, lalu menopang dagu dengan tangannya.

"Bukankah tugas saya di sini untuk mendampingi Pak Arkha?"

"Tapi sekarang sudah diluar jam kerja. Kamu bukan lagi sekretaris saya."

"Walaupun kita masih berada di kantor ini?"

"Ya," jawab Arkha tanpa ragu. Berharap gadis itu merasa kalah dan angkat kaki dari ruangannya ini. Sungguh hari sudah malam dan tidak baik untuk gadis itu pulang seorang diri.

"Kalau begitu, saya akan tetap menemani Bapak. Bukan sebagai sekretaris, tapi sebagai teman Pak Arkha. Bagaimana?"

Entah kenapa Arkha seperti kehabisan jawaban untuk Dita. Ia terdiam menunduk lalu menutup laptop miliknya. Berinteraksi dengan gadis itu, berdua saja, di jam sepuluh malam begini, bukanlah ide yang bagus.

Terima kasih buat vote dan komentarnya temen-temen 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro