Bab. 10
Dita masih mengeringkan rambutnya saat ponselnya terus berdering tak sabar. Bahkan ponselnya itu sudah berbunyi sejak ia masih di dalam kamar mandi tadi. Nama Rany yang tertera di layar membuatnya kembali berdecak. Ia menjawab panggilan video itu, ingin segera mengomeli sang adik yang menghubungi tanpa tahu waktu.
Namun, wajah lucu keponakannya membuat umpatan yang siap ia lomtarkan untuk Rany, terpaksa ia telan kembali ke tenggorokan. Berganti dengan sapaan riang untuk Chava.
"Halo, Chava sayangnya aunty!"
"Halo juga, aunty Dita!"
"Ta, gimana hari pertama kerja kemarin? Sombong ya lo chat gue nggak dibales!" tanya Rani kemudian.
Dita mengerucutkan bibirnya mengingat hari pertamanya kemarin. Diawali dengan kabar buruk, lalu menangis, dituduh diare hingga akhirnya ketahuan menangis.
"Doain aja, Ran," ucap Dita. "Gue sambil siap-siap ya!" Dita meletakkan ponselnya di atas buffet menyandarkannya pada dinding.
"Kok lo, kayak sedih gitu, Dit? Lo baik-baik aja, kan?"
Tidak langsung menoleh ke arah ponselnya, Dita tersenyum tipis sambil membuka pintu lalu menjemur handuk di teras kamar. Adiknya itu memang sangat peka dengan apa yang ia rasakan.
"Pak Arkha, bos yang galak ya, Dit?"
"Nggak kok, dia itu bos yang ganteng," jawab Dita mengundang sorak riang dari seberang sana.
"Terus yang bikin lo sedih, apa?"
"Siapa yang sedih sih? Sok tau lo! Gue malah seneng di hari pertama kerja gue ditraktir makan pecel lele sama Pak Rafi asisten Pak Wisesa."
Rany memasang wajah geli. Kesenangan sang kakak hanya sebatas ditraktir pecel lele. Meski Rany juga tahu, bagaimana kehidupan Dita selama ini. Dita hidup irit demi bisa menabung.
"Makan yang banyak, jadi sekretaris itu berat!" gurau Rany akhirnya.
"Iya, kayaknya gue udah nggak kebagian makanan gratisan dari anak tenant di Mal!"
Rany tersenyum kecil seraya menipiskan bibir. Kakaknya itu memang pejuang gratisan.
"Salam ya, buat Pak Arkha," kata Rany lagi.
"No!" teriak Dita yang sibuk mencatok rambutnya.
"Kenapa gue nggak boleh titip salam?Jangan bilang lo naksir Bos lo sendiri?"
Dita hanya mengulum senyum. Sengaja membuat Rany gila sendiri tanpa memberi jawaban.
"Syukurlah kalau lo udah move on dari Aji!"
Dita terenyak mengingat nama itu. Empat tahun lamanya, sosok itu Dita coba enyahkan dari hatinya. Seiring dengan pria yang dulu merupakan tetangganya itu menghilang tanpa kabar berita. Membuat Dita hanya bisa berdoa agar pria itu baik-baik saja dimanapun ia berada.
"Menurut gua, Pak Arkha itu baik, kok Ta. Cerdas dan nggak banyak bicara. Tipe lo banget!"
"Iya dia tipe gue, tapi gue yang bukan tipe dia!" Rany sontak terbahak-bahak mendengar balasan Dita untuknya itu.
"Nggak gitu lah, Dit. Kalau dia jomlo, mending lo langsung deketin aja. Siapa tau, jadi."
"Iya jadi, jadi ngawur lo, Ran!" sentak Dita. "Gue nggak ada kepikiran kesana, ya meskipun Pak Arkha memang menarik. Gue masih mau meniti karir."
"Meniti karir ya boleh aja, Dita. Tapi nggak harus menutup diri lo dari sebuah hubungan sama laki-laki, lah! Balance aja, Dit. Jangan karena nyokap selalu menuntut lo buat sukses, lo jadi menutup hati lo dari laki-laki di sekitar lo!"
Ucapan Rany memukul telak kokohnya prinsip yang ia bangun selama ini. Dita bahkan tidak ingat kapan ia terlibat kisah asmara dengan seorang pria. Ia selalu terfokus pada karir sejak Miranti selalu membandingkan pencapaian ia dan Rany. Ia tanpa sadar mengangguk sendiri. Rany tentu kembali heboh karena dugaannya akan Dita yang tengah menyukai seseorang adalah benar adanya.
"Jadi, lo beneran naksir Pak Arkha, ya?"
Dita bertanya pada dirinya sendiri dalam hati. Apa benar ia menyukai Arkha?
"Gue doain dari sini ya Ta, semoga Pak Arkha balas perasaan lo! Semoga kalian segera menjalin hubungan."
Dita tak tahan ingin menjitak kepala sang adik yang sedang konslet itu. "Nggak mungkin Pak Arkha balas perasaan gue. Ngekhayal aja lo pagi-pagi!" omel Dita.
"Lagian, untuk membangun sebuah hubungan, nggak bisa kalau cuma modal perasaan. Setidaknya diperlukan kasta yang sama untuk sebuah hubungan sempurna. Gue bukan Cinderella dan Arkha bukan pangeran di cerita dongeng, Ran!"
***
Dita sedang menunggu Arkha yang tengah memeriksa pekerjaannya. Ia berdiri dengan jarak hampir satu meter dari depan meja Bosnya. Hingga ia menyadari kotak makan siang Arkha di atas meja tamu masih seperti semula saat ia meletakkannya sekitar dua jam lalu. Dita pun mengingat, ini bukan kali pertama Arkha tidak langsung menyantap makan siangnya. Satu minggu bekerja, Dita mulai hafal dengan kebiasaan kecil Bosnya.
"Ada apa, Dita?"
Dita menoleh cepat pada Arkha. Ia sebenarnya sangat terkejut dengan suara Arkha yang tiba-tiba muncul. Namun, tentu bukan Dita namanya jika tak mampu menguasai diri.
"Ada apa?" ulang Arkha.
"Itu Pak, saya lihat makan siang Pak Arkha belum dimakan."
"Kenapa? Kamu mau?" tanya Arkha lagi.
"Tidak Pak, terima kasih," ucap Dita sopan. "Tapi, Pak menurut saya setelah ini Pak Arkha langsung makan, ya. Jangan keseringan menunda makan ya, Pak. Lebih baik kita mencegah penyakit daripada mengobati."
Dita hampir saja akan lanjut berbicara sebelum menyadari Bosnya sedang menatapnya dengan datar. "Maaf, Pak. Saya cuma nggak mau Pak Arkha sakit."
Arkha masih tak bersuara, bahkan saat menyerahkan dokumen milik Dita yang sudah ia periksa. Dita sontak merasa bersalah atas sikap lancangnya tadi. Ia lupa kalau Arkha bukanlah Pak Agung yang membuatnya bebas berbicara apa saja.
Arkha itu cucu pemilik perusahaan, Dita. Cucu pemilik perusahaan!
"Belum lama ini saya juga bertemu seseorang yang sepertinya menunda makan sampai perutnya bunyi karena kelaparan. Saya sendiri nggak tahu apa penyebab orang itu menunda makan bahkan sampai berbohong ke orang lain. Jadi, kamu bisa bantu ingatkan orang itu juga untuk tidak menunda makan demi menjaga kesehatan?"
Dita memeluk erat dokumen di tangannya. Bosnya itu jarang bicara, tapi sekalinya bicara kenapa telak sekali. Ia hanya bisa tersenyum tipis sambil mengangguk kecil.
"Saya permisi kalau begitu, Pak!" pamit Dita kemudian.
"Dan, saya masih ada satu pesan lagi untuk orang itu."
Dita merutuki diri tanpa henti di dalam hati. Ia terpaksa memutar tubuh menjadi menghadap Arkha.
"Tolong jangan minum kopi di saat perut kosong, meski itu kopi gratisan yang sayang untuk dilewatkan. Karena dampaknya akan sangat berbahaya untuk tubuhnya."
Dita hanya bisa meneguk ludah. Ia tidak kuasa menyahut. Tangannya terulur kedalam saku blazer, memgambil satu bungkus cinnamon cookies gratisan saat pagi menyambangi kedai kopi di GWM.
"Terima kasih pesannya Pak. Terima kasih juga atas kepedulian Pak Arkha malam itu. Ini cookies dari saya untuk Pak Arkha. Mungkin bisa mengganjal perut Pak Arkha kalau masih tidak berselera untuk makan nasi," kata Dita seraya berjalan mendekat ke meja Arkha.
Sungguh, Dita tak sengaja membalikkan keadaan. Karena, kini Arkha yang dibuat tak mampu berkata-kata setelah menerima cookies pemberiannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro