Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 88

    Di dalam sel tahanan yang dingin itu tubuh Kihyun tergeletak tanpa ada sehelai kain pun yang menutupi punggungnya. Tampak luka yang masih baru dan begitu mengerikan di punggung pemuda itu. Tanpa perlu ditanya lagi, sudah bisa dipastikan bahwa pemuda itu tak baik-baik saja karena meski masih terjaga, tak banyak pergerakan yang dilakukan oleh pemuda itu.

    Udara dingin dini hari menyusup melalui jendela kecil di atas kepala. Membawa tubuh Kihyun meringkuk kala udara di penghujung musim gugur itu terasa sangat menyakitkan bagi punggungnya.

    Sekali lagi di malam itu, terdengar seseorang yang tengah membuka pintu sel tahanan. Namun seperti yang sudah-sudah. Kihyun sama sekali tak menunjukkan pergerakan selain hanya kelopak matanya yang terbuka dengan pelan. Menunjukkan tatapan sayu yang terlihat menyedihkan.

    Terdengar langkah kaki mendekat. Bisa dirasakan oleh Kihyun bahwa seseorang tengah berdiri di samping kepalanya saat ini. Namun sayangnya ia tak lagi mampu untuk sekedar menggerakkan tangannya.

    Lim Changkyun, pemuda yang baru saja membunuh ayahnya sendiri itu pada akhirnya sampai di tempat itu setelah sempat membunuh beberapa penjaga. Tatapan sayu itu menghilang. Menjadi dingin dan bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Changkyun lantas menjatuhkan satu lututnya. Menarik pelan kedua bahu Kihyun dan meletakkan pemuda itu pada punggungnya.

    Wajah Kihyun mengernyit menahan sakit, namun dengan sisa kesadaran yang masih ia miliki, ia berhasil mengenali sosok yang kini menggendongnya dan membawanya meninggalkan tempat itu.

    "Lim Changkyun? Kenapa?" suara lemah itu terdengar tepat di samping telinga Changkyun ketika Kihyun menaruh dagunya dengan pasrah di bahu Changkyun.

    Tak mendapatkan respon dari Changkyun. Kihyun kembali berucap dengan suara yang lebih lirih, "kau ... tidak boleh seperti ini. Pergilah ... sampai aku mati sekalipun, aku ... tidak rela jika tinggal di sini. Sekarang pergilah ..."

    "Mohon jangan berbicara lagi," kalimat yang terucap dengan formal itu lantas keluar dari mulut Changkyun dan sedikit mengejutkan Kihyun yang tak mampu menunjukkan reaksi apapun selain kesakitan.

    Seulas senyum tipis menyedihkan terlihat di wajah pucat Kihyun. Kelopak mata itu perlahan kembali menutup, membimbing lisannya untuk kembali berucap.

    "Aku ... kecewa padamu, Lim Changkyun." Satu tetes air mata kembali meloloskan diri dari salah satu sudut mata Kihyun.

    Dini hari itu Changkyun membawa Kihyun menyusuri pintu rahasia. Dan setelah perjalanan yang cukup panjang serta beberapa kali mengambil waktu istirahat. Changkyun menapakkan kakinya di Bukit terlarang tanpa melewati pemukiman Distrik 9 terlebih dulu.

    Tak lagi bisa ia rasakan lelah meski telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Di ujung timur, garis cahaya itu mulai terbentuk. Menandakan bahwa hari benar-benar telah berganti. Saat itu Changkyun berhasil menjangkau gubuk, tempat rahasia mereka yang sudah diketahui banyak orang.

    Changkyun menurunkan Kihyun dengan hati-hati dan membaringkan Kihyun dalam posisi tengkurap, mengingat luka di punggung Kihyun yang masih baru. Sedangkan Kihyun sendiri sudah tertidur sejak sebelum keduanya menginjakkan kaki di wilayah Distrik 9.

    Changkyun pergi ke sudut lain dan kembali membawa selimut yang kemudian ia gunakan untuk menyelimuti Kihyun hingga sebatas area di bawa luka itu. Setelah itu, pemuda itu duduk di bawah. Memperhatikan wajah kesakitan Kihyun yang semakin memperburuk suasana hatinya.

    Tampak menggigil. Changkyun kemudian meraih telapak tangan Kihyun dan menggenggamnya. Mencoba memberikan sedikit kehangatan yang mungkin akan sia-sia.

    Semua terasa begitu hening sebelum nyanyian alam mulai terdengar untuk menyambut kehadiran sang penguasa di langit kala rembulan telah turun dari tahtanya. Changkyun mendekatkan wajahnya pada tangan Kihyun. Membuka telapak tangan dingin itu lalu menempelkannya pada wajahnya.

    Pemuda itu kembali menangis dalam diam. Menyampaikan penyesalannya terhadap apa yang terjadi pada satu-satunya orang yang bisa ia anggap sebagai keluarga. Namun nyatanya pemuda itu tak sekuat yang terlihat. Bahu yang perlahan berguncang itu lantas membimbing sebuah isakan lolos dari mulutnya.

    Tanpa ada kata yang bisa mewakilkan semuanya. Pemuda itu terisak dalam penyesalannya. Meski ia telah memutuskan bahwa ia akan memperbaiki semuanya, akankah Kihyun bersedia menerimanya kembali setelah apa yang ia lakukan sebelumnya?

    Sejujurnya, Changkyun tak bisa lagi menganggap dirinya sebagai manusia setelah menghabisi nyawa ayahnya sendiri. Masih adakah maaf yang tersisa untuk seorang pengkhianat di saat Kihyun sendiri tak akan pernah memberi maaf pada seorang pengkhianat?

    Kegelapan di langit terbelah oleh cahaya. Membawa kembali sinar sang surya yang merebut tahta dari sang rembulan yang nyatanya masih berada di langit yang sama pagi itu. Jooheon keluar dari pintu samping Gereja. Memperhatikan area sekitar sebelum Hyunjin menyusul dari belakang.

    "Hyeong ingin pergi ke mana?"

    Jooheon segera berbalik. "Kenapa kau kemari?"

    "Hyunwoo Hyeong melarang kita pergi ke mana-mana."

    "Jangan konyol. Jika kita tidak pergi, kau pikir kita akan makan apa? Kembalilah ke dalam, aku akan memeriksa keadaan."

    Changbin turut keluar. "Ada apa?"

    "Jooheon Hyeong ingin kembali ke pemukiman."

    "Bagaimana jika mereka masih di sana?"

    Jooheon menjawab dengan acuh, "kau pikir mereka tidak memiliki pekerjaan. Jika mereka masih di sana, bunuh saja mereka. Sudah, jangan menyusahkanku. Masuk sana!"

    Jooheon lantas pergi, melangkahkan kakinya menuju halaman depan.

    "Kembalilah ke dalam, aku akan pergi dengan orang itu," ujar Changbin yang kemudian menyusul Jooheon. Sedangkan Hyunjin segera kembali masuk.

    Jooheon yang merasa diikuti pun langsung menghentikan langkahnya dan berbalik dengan wajah yang terlihat kesal meski dia tidak merasa kesal.

    "Kau ingin pergi ke mana?"

    "Membantu Senior."

    "Membantu apa? Memangnya apa yang akan kulakukan?"

    "Aku tidak berniat menjadi beban untuk kalian."

    "Pagi-pagi bicara sembarangan. Awas saja sampai kau membuat masalah. Aku tidak akan peduli padamu."

    Jooheon kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Changbin berjalan di belakangnya. Aktivitas distrik pagi itu sudah dimulai, beberapa perwira pun tampak melakukan patroli dan hal itu membuat Jooheon serta Changbin sempat beberapa kali mengambil jalan memutar sebelum akhirnya sampai di rumah Kihyun.

    Jooheon membuka pintu dan saat itu keduanya dikejutkan oleh keadaan rumah yang berantakan, seperti bangunan itu yang baru saja dijarah oleh seseorang. Keduanya kemudian masuk.

    "Apa yang terjadi di sini?" gumam Changbin.

    "Tutup pintunya."

    Jooheon mulai memeriksa bangunan itu dengan Changbin yang mengikutinya. Menuju kamar Kihyun, netra sipit Jooheon itu semakin menyipit ketika pandangannya menangkap beberapa tumpukan peti kayu di tengah ruangan yang tampak berantakan itu.

    Tampak wawas, tatapan Jooheon menajam ketika langkahnya berjalan masuk. Namun saat itu dengan cepat ia bergerak ke samping. Mendapatkan kerah baju orang asing yang berdiri di samping pintu dan hampir menikam pria itu menggunakan pisau yang sebelumnya ia ambil dari balik bajunya sebelum pergerakannya terhenti saat ingatannya mengenal sosok perwira itu. Changbin yang sempat terkejut pun langsung masuk.

    "Kau?" Jooheon menarik tangannya dan sedikit mundur. Memberikan ruang bagi Mark yang hampir saja menjadi korbannya pagi itu.

    "Kau harus berhati-hati dengan pisaumu, Bung."

    Pandangan kedua pemuda distrik itu mengarah pada sudut lain, dan di sana mereka menemukan Wang Jackson. Pandangan Jooheon lantas kembali mengarah pada Mark.

    "Kalian yang sudah menjarah rumah ini?"

    Jackson menyahut dengan senyum yang tersungging sebagai respon awal. "Bicara sembarangan. Memangnya apa yang kalian simpan di rumah ini? Semua sudah seperti ini ketika kami datang. Gunakan sedikit saja sopan santunmu."

    Jooheon menatap tanpa minat. "Kenapa kalian ada di sini?"

    "Di mana Kihyun?" tanya Mark.

    "Ada perlu apa?"

    "Jawab saja pertanyaannya, kenapa sulit sekali?" sahut Jackson.

    "Diamlah, tidak ada yang bicara padamu," ucap Jooheon dengan malas dan kembali pada Mark. "Apa keperluanmu mencari kakak kami?"

    "Ada hal yang harus kubicarakan padanya."

    "Katakan saja padaku."

    "Kau tidak akan mengerti apapun." Mark berjalan melewati Jooheon dan hendak keluar dari ruangan itu.

    "Dia menghilang," suara Jooheon yang terdengar lebih serius berhasil menghentikan langkah Mark yang kemudian berbalik.

    "Apa maksudmu?"

    "Dia tiba-tiba menghilang tepat ketika Kantor Kepala Distrik terbakar."

    "Di mana terakhir kali kalian melihatnya?"

    "Malam itu dia berpamitan ke Gereja. Dugaan kami, dia pergi ke Distrik 7."

    "Untuk apa dia datang ke sana?"

    "Beberapa hari yang lalu Lim Changkyun pergi ke sana dan tidak kembali. Jika tidak keberatan, kau bisa memastikan keadaannya untuk kami."

    "Kau tidak tahu bagaimana cara untuk meminta tolong, Bung? Perkataanmu itu terkesan memaksa," sahut Jackson.

    "Aku tidak bicara denganmu, jadi diam saja," balas Jooheon.

    Mark kemudian pergi tanpa mengucapkan apapun, dan setelahnya Jackson menyusul. Perwira itu berhenti di samping Jooheon dan menaruh telapak tangannya pada bahu pemuda itu.

    "Aku menantikan kejutan darimu dan teman-temanmu. Aku harap kau tidak salah dalam mengenali lawanmu."

    "Maka dari itu bawa lari semua teman-temanmu. Aku tidak peduli pada mereka. Siapapun yang berada di hadapanku, kupastikan dia tidak akan selamat."

    Senyum Jackson tersungging. "Tuhan memberkatimu," ucap perwira itu, menepuk sekilas bahu Jooheon sebelum pergi menyusul rekannya.

    "Apa yang mereka lakukan di sini?" tanya Changbin setelah hanya ada mereka berdua di sana.

    "Tidak ada yang peduli dengan hal itu," acuh Jooheon yang kemudian mendekati tumpukan peti, lalu diikuti oleh Changbin.

    Jooheon membuka satu peti di hadapannya, dan saat itu netranya memicing ketika Changbin sendiri tampak terkejut saat melihat beberapa senapan laras panjang di dalam peti itu.

    Jooheon mengambil satu senapan laras panjang, dan kemudian senyum itu tersungging di wajahnya. Sudah jelas bahwa yang membawa peti-peti itu ke sana adalah dua perwira yang sebelumnya meninggalkan tempat itu.

    "Kenapa ini bisa ada di sini?" tanya Changbin, terlihat kebingungan di wajahnya.

    Jooheon lantas menjawab dengan suara yang lebih serius, "persiapkan diri kalian, kita akan benar-benar berperang sekarang."

    Changbin terkejut. "Bagaimana dengan senior yang lain?"

    "Mereka masih bernapas dan bisa berpikir. Mereka tahu harus pergi ke mana ... aku tidak peduli mereka kembali atau tidak. Yang jelas, kita akan segera memulai semuanya dengan atau tanpa mereka sekalipun," tandas Jooheon.









Selesai ditulis : 04.07.2020
Dipublikasikan : 06.07.2020

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro