Lembar 84
Masih di malam yang sama. Pintu yang menjulang tinggi itu terbuka dengan kasar, menampilkan siluet hitam yang berdiri di depan pintu. Yoo Kihyun, menginjakkan kakinya di gedung kosong yang menyerupai pergudangan. Menyampirkan ujung karung di tangannya pada bahu, pemuda itu menyeret karung yang terlihat cukup berat itu untuk memasuki bangunan tersebut.
Tak ingin repot-repot berbalik, pemuda itu menutup pintu menggunakan kakinya. Pintu berdebum dengan keras, lantas membimbing langkah Kihyun untuk menghampiri sebuah perapian yang berada di ujung ruangan besar dan kosong itu. Terlihat sedikit kesulitan untuk menarik karung tersebut. Dan sedikit cahaya yang berhasil menemukan sosoknya memperlihatkan noda kemerahan pada ujung karung yang bersentuhan dengan lantai dan mengotori lantai yang ia lewati.
Berhenti pada jarak satu meter dari perapian, Kihyun mengerahkan tenaganya untuk melemparkan karung yang bersimbah darah tersebut hingga terjatuh tepat di dekat perapian. Napas pemuda itu sedikit memburu. Dilihatnya kedua telapak tangan yang dipenuhi oleh darah yang terlihat masih basah.
Setelah sebelumnya membunuh Hyunjae. Kihyun memutuskan untuk memasukkan jasad pria itu ke dalam karung dan membawanya ke sana. Kihyun berniat membakar jasad Hyunjae untuk menghilangkan jejak pria itu, meski setelah ini ia akan menemui Hyungwon dan mengakui apa yang sudah ia lakukan pada ayah pemuda itu.
Bukan karena takut pada Hyungwon, Kihyun melakukannya karena ia berpikir bahwa Hyunjae tidak pantas mendapatkan pemakaman yang seharusnya. Ingatlah satu fakta penting, bahwa tuan Yoo Kihyun adalah seorang pendendam.
Tak membiarkan menit berlalu terlalu banyak, Kihyun mendekati jasad Hyunjae. Namun saat itu suara langkah kaki berhasil ditangkap oleh pendengaran Kihyun. Pemuda itu perlahan berbalik ke sumber suara dan terkejut ketika melihat Changkyun berada di sana. Melupakan jasad Hyunjae, Kihyun bergegas menghampiri Changkyun.
"Kau di sini?" Kihyun langsung memegang kedua bahu Changkyun dengan tatapan khawatir. "Kau baik-baik saja?"
Pandangan Changkyun terjatuh pada tangan Kihyun yang memegang lengan kirinya dan membuat lengan kaos yang ia kenakan terkotori oleh darah. Setelah itu, Changkyun kembali memandang Kihyun. Masih dengan raut wajah yang tak menunjukkan perasaan apapun.
"Jangan diam saja dan katakan sesuatu padaku."
"Siapa, yang baru saja Hyeong bunuh?"
Kihyun yang tersadar lantas segera menurunkan tangannya dan mendapati lengan kaos Changkyun yang terkotori oleh tangannya. "Maaf."
"Siapa yang Hyeong bunuh?"
"Bukan siapa-siapa, kau tidak perlu tahu. Sekarang katakan bagaimana kau bisa kembali ke sini."
Changkyun terlihat ragu-ragu dan menghindari kontak mata dengan Kihyun.
"Lim Changkyun, cepat jawab pertanyaanku."
Changkyun kembali memandang Kihyun. "Aku ingin bicara dengan Hyeong."
"Kalau begitu bicaralah."
"Tidak di sini."
Sebelah alis Kihyun terangkat. "Kenapa?"
"Kita bicara di tempat lain." Changkyun keluar lebih dulu dari bangunan itu.
Kihyun ragu dan sempat memandang jasad Hyunjae sebelum memutuskan untuk mengikuti Changkyun. Kihyun tak tahu ke mana Changkyun akan membawanya. Tak terlalu khawatir karena perhatian semua orang tertuju pada kebakaran di Kantor Kepala Distrik yang tampaknya belum juga bisa dipadamkan.
Berjalan cukup jauh, Changkyun membawa Kihyun memasuki sebuah bangunan hingga pada akhirnya keduanya berdiri berhadapan dalam jarak satu meter. Saat itu Kihyun sejenak memandang ke sekeliling sebelum kembali pada Changkyun.
"Sekarang katakan."
"Maaf," satu gumaman di susul oleh langkah yang bergerak mundur membuat sebelah alis Kihyun kembali terangkat.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
Kihyun merasa bingung. Pemuda itu hendak menghampiri Changkyun, namun baru satu langkah seseorang tiba-tiba menutupi kepalanya menggunakan karung yang terbuat dari kain berwarna hitam dari arah belakang. Kihyun memberontak, namun pemuda itu tumbang ketika satu pukulan menghantam tengkuknya.
Dari arah belakang Changkyun, Kolonel Shin datang dengan tawa sinisnya bersama dua orang perwira lainnya. Berdiri di samping Changkyun, Kolonel Shin menepuk puncak kepala pemuda itu beberapa kali.
"Kerja bagus, Bocah. Kau membuktikan bahwa kau anak yang berbakti dengan mendengarkan ucapan ayahmu."
Changkyun memalingkan wajahnya. Tak ingin mengakui bahwa ia telah mengkhianati Kihyun dengan menuruti perintah sang ayah untuk membawa pemuda itu ke Distrik 7.
Tangan Kolonel Shin lantas berpindah pada bahu pemuda itu. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."
Tak bisa melawan, Changkyun hanya menurut ketika Kolonel Shin menarik bajunya agar ia berjalan di belakang pria itu.
"Bawa bocah itu!" ujar Kolonel Shin sebelum melewati Kihyun.
Changkyun sekilas memandang Kihyun. Tampak penyesalan dalam sorot mata sayu milik pemuda itu yang kemudian membimbing wajah itu untuk kembali menghadap lantai.
Distrik 7.
Malam berdarah itu belum benar-benar berakhir. Lewat tengah malam, Kihyun harus berlutut di dalam sebuah sel tahanan yang cukup gelap dengan cahaya temaram yang masih bisa membuat penglihatannya mengenali wajah yang kemungkinan akan ia lihat ketika karung itu tak lagi menutupi kepalanya.
Dua perwira berada di belakang Kihyun, dan Kolonel Shin bersama satu perwira di belakangnya berdiri satu meter di hadapan Kihyun.
"Buka," ucap Kolonel Shin.
Salah satu perwira itu menarik karung yang menutupi kepala Kihyun. Dan seketika kening Kihyun mengernyit, mencoba menetralkan rasa pusing yang masih tersisa akibat pukulan yang ia dapatkan sebelumnya. Namun tawa sinis dari Kolonel Shin dengan cepat menarik perhatian pemuda itu.
Kihyun terkejut dan hal itulah yang membuat suara tawa Kolonel Shin terdengar semakin jelas seakan tengah ingin mengolok-oloknya.
"Kenapa kau terkejut seperti itu? Lama tidak melihat wajahku, apa kau sudah lupa dengan orang ini?"
Tatapan Kihyun menajam seiring dengan rahangnya yang mengeras. Namun ia tak mampu berbuat apa-apa ketika kedua tangannya diikat di balik tubuhnya.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Kau marah? Benar-benar tidak tahu sopan santun."
Garis senyum di wajah Kolonel Shin menghilang ketika ia berjalan mendekati Kihyun. Pria itu kemudian menjatuhkan satu lututnya di hadapan Kihyun. Memandang remeh pada pemuda itu.
"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Lakukan jika kau mampu." Sudut bibir pria itu tersungging, seakan belum puas mengolok-olok Kihyun. "Bagaimana rasanya dikhianati oleh adikmu sendiri? Bukankah itu luar biasa? Atau aku salah? Aku dengar dia bukan adik kandungmu ... kau tahu siapa anak itu?"
Napas Kihyun mulai memberat ketika amarah itu tertahan. Dan saat itu senyum Kolonel Shin kembali melebar.
Pria itu kembali berucap, "Lim Changkyun, pemuda itu adalah putra tunggal dari Profesor Lim Siwan. Guru Besar di tempat ini, kau terkejut bukan?"
Tanpa perlu ditanya, keterkejutan itu sudah tampak di wajah Kihyun. Pemuda itu tak ingin percaya, namun setelah mengingat kembali karena siapa ia bisa sampai ke tempat itu, ia tak bisa lagi menyangkal. Dan dari ucapan Kolonel Shin sebelumnya, pemuda itu menyadari bahwa saat ini ia berada di Distrik 7.
Kolonel Shin kembali tertawa dan berucap, "lucu sekali ... sangat menyenangkan melihatmu seperti ini. Tapi kau harus berterima kasih pada putra Profesor itu. Berkat dia aku tidak jadi menggunakan gadis itu untuk memancingku keluar ... sebenarnya aku juga sangat ingin membunuhmu, tapi bagaimana lagi ... akan lebih menyenangkan melihatmu berakhir di tempat ini ..."
Garis senyum di wajah Kolonel Shin kembali menghilang, menampilkan rahang tegas dengan netra tajam yang memandang Kihyun penuh dengan kebencian.
"Nikmati penderitaanmu dan akan kuhabisi semua teman-temanmu."
Kolonel Shin berdiri dan meninggalkan sel tahanan bersama para bawahannya. Saat itu kedua kelopak mata Kihyun terpejam untuk sesaat sebelum kembali terbuka dengan kemurkaan yang tak lagi bisa ia tahan.
"Keparat, kau!" bentaknya yang berhasil menghentikan langkah Kolonel Shin yang hampir pergi.
Kolonel Shin hanya memandang sekilas dan tersenyum miring sebelum benar-benar pergi dan meninggalkan Kihyun seorang diri. Dalam senyap udara di ruang tertutup itu, kepala Kihyun menunduk. Membiarkan harga dirinya kembali terlukai oleh air mata yang tak mampu lagi ditampung oleh kelopak matanya.
Rasanya sangat sakit, namun Kihyun tidak tahu di mana sakit itu berpusat. Tubuhnya seperti akan remuk, namun saat kepalanya kembali terangkat, semua terasa mengambang ketika netranya menangkap sosok Changkyun berdiri di luar sel tahanan.
Kihyun melihatnya. Melihat dengan jelas penyesalan pada wajah datar pemuda itu. Namun semua justru semakin menyakitkan bagi Kihyun ketika ia mendapati fakta bahwa adik kecilnya telah berkhianat.
"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini padaku?" suara gemetar yang berhasil ditangkap oleh pendengaran Changkyun. Namun pemuda itu sama sekali tak memberi respon.
"Kenapa kau membohongiku? Jawab aku, Lim Changkyun!" Satu bentakan berhasil lolos namun justru menghancurkan pertahanannya.
Wajah itu kembali menghadap lantai dengan bahu yang perlahan mulai berguncang. Suara menuntut itu terdengar samar oleh suara tangis yang semakin terdengar jelas.
"Kenapa ... kenapa harus kau? Kenapa harus kau yang melakukan ini? Kenapa ... Lim Changkyun!"
Changkyun menundukkan wajahnya sebelum melangkah menjauh. Bukan untuk pergi, namun hanya menghilang dari pandangan Kihyun. Pemuda itu duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada dinding dan kedua tangan yang berada di atas lutut yang sedikit terangkat. Memilih mendengarkan tuntutan Kihyun yang bahkan tak mampu ia sanggah.
Detik berlalu, menyambut menit yang semakin menipiskan oksigen dalam paru-paru Kihyun ketika tangis itu tak kunjung berhenti. Saat itu, wajah Changkyun semakin menunduk. Hingga pada akhirnya ia menemui batasannya. Bahu pemuda itu sedikit berguncang. Menggigit bibir bawahnya yang gemetar untuk menahan isakan yang hendak keluar dari mulutnya.
Tak mampu bertahan. Pada akhirnya Changkyun mempertemukan keningnya pada kedua lututnya dengan kedua tangan yang menekan bagian belakang kepalanya. Pemuda itu menangis, tanpa suara, namun lebih menyakitkan dibandingkan dengan saat sang ayah menjadikannya sebagai objek penelitian beberapa tahun silam.
Lim Changkyun, pada akhirnya pemuda itu menyesali hidupnya yang harus berakhir menjadi seorang pengkhianat dan menuntun panutannya untuk menemui penderitaan yang akan berlangsung panjang.
Dan malam berdarah itu ditutup oleh tangis pilu dari ketiga pemuda Distrik 9 di tempat masing-masing namun dengan luka yang saling terhubung oleh sebuah takdir yang memilukan.
Selesai ditulis : 30.06.2020
Dipublikasikan : 30.06.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro