Lembar 78
Hari berganti. Upacara pemakaman untuk Bang Chan dilakukan seadanya. Tak seperti biasanya, tak ada tradisi, tak ada yang mengenakan pakaian serba putih. Dan jasad Bang Chan bukannya dikremasi melainkan langsung dimasukkan ke dalam peti lalu ditimbun dengan tanah. Hal itu mereka lakukan agar tak menarik perhatian dari anggota militer.
Minhyuk, Hoseok dan Hyungwon menjadi perwakilan dari kelompok aktivis Distrik 9 untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Bang Chan. Minhyuk dan Hoseok menatap prihatin kepada para pemuda yang sebagian menangis.
Angin pagi berhembus, menyapa padang rumput di kaki Bukit terlarang. Tempat mereka berdiri saat ini. Setelah proses pemakan selesai, Minho memetik bunga liar di dekat kakinya dan berjalan menghampiri gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi itu. Menjatuhkan satu lututnya, pemuda itu menaruh bunga yang ia bawa pada makam rekannya.
"Beristirahatlah dengan tenang, kawan ... kami tidak akan melupakanmu."
Perhatian Minho teralihkan ketika seseorang merangkul bahunya. Pemuda itu menoleh dan mendapati Changbin turut menjatuhkan satu lutut di sampingnya.
"Tidak bisa berakhir seperti ini. Mereka harus menerima balasan dari semua ini."
Ketiga pemuda Distrik 9 itu saling bertukar pandang setelah mendengar pernyataan Changbin. Hingga perhatian mereka teralihkan oleh pergerakan Hyunjin yang turut menjatuhkan satu lututnya di samping makam Bang Chan. Tak beberapa lama, Jeongin menyusul. Dan Jisung yang hendak menghampiri rekannya, menyadari Seungmin yang hanya berdiri dengan kepala tertunduk, lantas menarik pelan pemuda itu untuk bergabung bersama rekan-rekannya. Yongbok menjadi orang terakhir yang ikut bergabung.
Saat itu senyum tipis terlihat di wajah Changbin ketika ia memandang rekan-rekannya. Pemuda itu lantas berucap, "rumah kita sudah tidak ada, lalu ke mana kita bisa pulang sekarang?"
"Ke manapun itu asal aku tidak melihat kematian," gumam Yongbok.
Changbin kembali berucap, "mari kita membuat janji di depan makam saudara kita ... di manapun itu, asal kita bersama, itulah rumah yang sesungguhnya."
Minho menundukkan kepalanya dan tertawa singkat tanpa suara. "Sejak kapan kau bisa mengatakan hal yang benar seperti ini?"
Changbin yang mendengarnya lantas mendorong pelan kepala Minho. Pandangan pemuda itu lantas jatuh pada Seungmin. Sosok yang membuat garis senyum di wajahnya hampir menghilang.
Changbin kemudian bangkit dan menghampiri ketiga senior mereka. Changbin kemudian berucap, "atas bantuannya, aku mewakilkan teman-temanku mengucapkan terima kasih."
"Kalian memiliki rencana setelah ini?" tanya Minhyuk.
Changbin menggeleng. "Kami tidak memiliki rencana apapun. Kami akan tinggal di sini sedikit lebih lama, jika Senior ingin pergi, kami tidak masalah."
Hoseok menyahut, "jangan lakukan apapun dan segera kembali ke rumah Kihyun. Jika membutuhkan apapun, pergilah ke Gereja."
"Kami pergi."
Hoseok sekilas menepuk bahu Changbin dan pergi bersama Minhyuk. Sedangkan Hyungwon yang masih belum beranjak dari tempatnya, bertemu pandang dengan Changbin. Hyungwon kemudian mendekat dan berdiri di hadapan Changbin.
Hyungwon kemudian berucap, "pikirkanlah ribuan kali jika kalian ingin balas dendam. Kalian hanya akan menemui kematian jika kalian tidak memiliki rencana."
"Adakah cara untuk menghancurkan mereka?"
"Sebelum itu, katakan apakah misi kalian gagal atau berhasil?"
"Kami sudah menyampaikan deklarasi itu sesuai rencana."
"Kalau begitu tunggulah sampai hari berganti. Besok, kita putuskan dengan cara apa kita akan menghancurkan mereka ... kembalilah ke rumah jika urusan kalian sudah selesai."
Hyungwon lantas pergi menyusul kepergian kedua rekannya. Sedangkan Changbin kembali pada teman-temannya.
Distrik 8.
Jooheon memasuki gang pemukiman dengan tas jinjing yang berada di tangan kanannya ia taruh di bahunya. Memandang ke sekitar, pemuda bermata sipit itu menghampiri Hyunwoo yang memang sebelumnya sudah membuat janji dengannya di tempat itu.
Jooheon menurunkan tasnya ketika berhadapan dengan Hyunwoo. Segera ia buka tas tersebut dan menunjukkan isinya pada Hyunwoo yang membuat pemuda itu menatapnya dengan ragu. Tak banyak memberi respon, Jooheon yang mengangguk singkat untuk meyakinkan Hyunwoo.
Hyunwoo sejenak tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum mengambil alih tas di tangan Jooheon dan meninggalkan tempat itu. Jooheon menyusul di belakang sembari memastikan keadaan sekitar.
Pagi itu sesuai rencana yang telah dikatakan oleh Jooheon semalam. Keduanya memutuskan untuk menjarah sebuah Bank di Distrik 8 berbekalkan sebuah senjata api di tangan masing-masing untuk mendapatkan uang yang Hyunwoo butuhkan.
Kedatangan mereka membuat beberapa orang dalam bangunan itu histeris dan segera merapat ke lantai. Hyunwoo melemparkan tas di tangannya pada Jooheon yang segera menjarah brangkas di sana, sedangkan Hyunwoo mengamankan keadaan.
Tak begitu lama, mereka segera meninggalkan tempat itu setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keduanya lantas berlari secepat mungkin guna menghindari kemungkinan terburuk jika perbuatan mereka diketahui oleh polisi setempat.
Jooheon melemparkan tas di tangannya pada Hyunwoo yang langsung mengambil alih. Keduanya memutuskan berpisah untuk mengelabuhi penjagaan dan Hyunwoo segera menuju Rumah Sakit untuk mengurus biaya operasi sang ayah.
Sampai di Rumah Sakit, Hyunwoo segera pergi ke bagian administrasi. "Permisi, aku datang untuk melunasi biaya operasi," ucap Hyunwoo dengan napas tak beraturan.
"Tuan Son Hyunwoo?"
"Benar."
"Sayang sekali, ayahmu sudah dinyatakan meninggal lima belas menit yang lalu."
"Apa?"
Tas di tangan Hyunwoo terjatuh di lantai begitu saja. Pemuda itu tampak terguncang dengan kabar yang baru saja ia terima, dan setelah beberapa detik terlewati. Pemuda itu meraih tas yang sempat terjatuh dan segera berlari menuju ruang rawat sang ayah.
Pintu ruang rawat terbuka secara kasar, membimbing langkah putusasa Hyunwoo berjalan masuk dan hanya menemui ranjang kosong yang sudah dirapikan. Langkah itu semakin melambat hingga terhenti di sisi ranjang. Netra pemuda itu mengerjap sebelum air mata itu beberapa kali menuruni wajahnya. Kedua tangan pemuda itu mengepal kuat tatkala pandangannya hanya tertuju pada tempat kosong di hadapannya. Pada nyatanya, usaha yang telah ia lakukan tak mendapatkan hasil apapun dan justru hari itu dia kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Ayah," satu gumaman lirih yang berhasil keluar dari mulut pemuda itu sebelum ia yang semakin jatuh ke dalam keterpurukan tanpa ada siapapun yang bisa menahan bahunya.
Selesai ditulis : 25.06.2020
Dipublikasikan : 30.06.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro