Lembar 64
Malam itu, sekitar pukul sembilan lewat limabelas menit. Jaebum dan Mark bertamu di kediaman keluarga Park Chunghee. Keduanya mendapatkan sambutan hangat dari Chunghee yang kemudian mengarahkan mereka ke ruang kerja sang Presiden.
Ketiganya lantas duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas keduanya, dan Chunghee sebagai tuan rumah lantas memulai pembicaraan terlebih dulu. "Lama tidak melihatmu, sepertinya kau ditugaskan di luar kota."
Jaebum yang menjadi tujuan atas teguran Chunghee lantas menyahut dengan sopan, "aku meninggalkan Camp empat tahun yang lalu, dan hari ini adalah kali pertama aku kembali ke Seoul sejak hari itu. Senang bisa melihat Presiden baik-baik saja."
"Jadi, hal apakah yang membuat kalian berkunjung malam-malam begini?"
"Sebelumnya, ada yang ingin kutanyakan pada Presiden," sahut Mark.
"Kalau begitu katakan."
"Aktivitas Militer di sembilan distrik di dekat Jeolla, mungkinkah Presiden mengetahuinya?"
Chunghee tampak terkejut. Belum selesai urusannya dengan insiden penculikan tadi pagi, sekarang dua perwira di hadapannya juga mengungkit tentang distrik yang hilang itu.
"Adakah masalah dengan tempat itu?"
"Presiden tidak tahu?" tanya Jaebum.
"Ini benar-benar membingungkan," gumam Chunghee.
"Apa maksud Presiden?"
"Tadi pagi, ada sekumpulan anak muda yang menemuiku. Mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari Distrik 1."
Mark dan Jaebum saling bertukar pandang, sama-sama terkejut dengan pernyataan Chunghee. Mark lantas melontarkan pertanyaan, "ada urusan apa mereka datang menemui Presiden?"
"Aku tidak ingin membahas hal itu. Sekarang, aku ingin mendengar kebenaran dari kalian ... apa yang terjadi pada tempat itu?"
Mark dan Jaebum kembali bertukar pandang sebelum memandang Chunghee. Mark kemudian berucap, "bukan kami yang akan menjelaskan situasi yang terjadi saat ini pada Presiden."
"Maksudmu?"
"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Presiden."
"Siapa? Kenapa kalian tidak membawanya masuk?"
"Orang itu tidak ada di sini, kami tidak bisa membawanya kemari."
"Siapa dia?"
"Kami tidak bisa memberitahu tentang identitas orang itu. Jika publik mengetahuinya, keselamatannya dipertaruhkan."
"Di mana dia sekarang?"
"Dia berada di tempat yang aman."
Jaebum menyahut, "kami tahu bahwa ini tidaklah sopan. Tapi kami memohon kesediaan Presiden untuk menemui orang itu."
"Bawa dia kemari."
"Terlalu berbahaya," sahut Mark. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika publik sampai tahu keberadaannya, maka keselamatannya akan terancam."
"Siapa sebenarnya orang yang kalian maksud?"
"Presiden akan segera melihatnya jika Presiden bersedia menemuinya."
"Di mana, di mana aku bisa menemuinya?"
"Besok pagi, aku akan kembali untuk mengantar Presiden bertemu dengan orang itu," ucap Jaebum.
Chunghee semakin resah. Selama ini dia menyibukkan diri dengan perbaikan Ibukota dan keamanan di perbatasan tanpa pernah sekalipun berpikir untuk menyentuh sembilan distrik yang hingga saat ini belum memiliki nama.
Di sisi lain, Taehwa yang saat itu keluar kamar untuk mengambil air minum di dapur tak sengaja melihat Geunhye yang tampak mengintip sesuatu. Mengurungkan niat awalnya, Taehwa kemudian menghampiri sang kakak.
"Apa yang sedang Kakak lakukan di sini?"
Geunhye sedikit terlonjak dan segera memandang Taehwa dengan raut wajah terkejut.
"Apa—" perkataan Taehwa terhenti ketika Geunhye memberikan isyarat agar ia diam.
"Jangan keras-keras," ucap Geunhye dengan suara berbisik.
Taehwa kemudian memelankan suaranya, "ada apa?"
"Ada dua perwira yang datang menemui ayah."
Taehwa sekilas memandang pintu ruang kerja sang ayah. Tak merasa terkejut karena hal itu wajar menurutnya, mengingat ayahnya yang masih memiliki jabatan di Militer.
"Apanya yang aneh dengan hal itu? Kenapa Kakak harus berdiri di sini?"
"Mereka terlihat asing, bukan perwira yang biasanya. Terlihat masih muda."
"Biarkan saja, lebih baik Kakak segera kembali ke kamar sebelum ayah keluar dan tahu jika Kakak berada di sini."
"Kau ingin ke mana?"
"Mengambil air minum."
Taehwa kemudian berjalan menuju dapur, begitupun dengan Geunhye yang meski masih berat, wanita muda itu lantas kembali ke kamarnya.
Langkah Taehwa sampai di dapur, namun pergerakannya itu terhenti di dekat meja makan. Pandangan pemuda itu mengarah ke halaman belakang dan tampak seperti tengah mempertimbangkan sesuatu sebelum kembali melangkahkan kakinya.
Mengurungkan niatnya, Taehwa justru membuka pintu belakang dan berjalan menyusuri halaman belakang. Langkah itu berjalan mendekati bangunan terpisah yang tidak lebih besar dari rumah utama.
Segera setelah Taehwa sampai di depan pintu bangunan itu, tangan pemuda itu tergerak untuk membuka pintu yang ternyata belum dikunci dan segera menarik perhatian dari pria paruh baya yang menyusulnya saat ia membantu para pemuda Distrik 1 di kedai kemarin.
"Tuan Muda di sini?" Paman Shin bangkit dari duduknya.
Taehwa menutup pintu dan menghampiri pria yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu. "Paman belum tidur?"
"Belum, kenapa Tuan Muda kemari?"
"Aku ingin meminta sedikit bantuan dari Paman."
"Apakah itu?"
"Besok pagi, bisakah Paman mengantarku ke Distrik 1?"
Paman Shin terkejut. "Distrik 1? Apa yang ingin Tuan Muda lakukan di sana?"
"Aku lahir di Korea Selatan, tapi aku sama sekali tidak tahu jika ada tempat seperti itu di tanah kelahiranku."
"Tapi tempat itu berbeda dengan semua tempat yang ada di Korea Selatan. Di sana terlalu berbahaya."
"Berarti Paman tahu sesuatu."
Paman Shin tiba-tiba terlihat gugup. "A-apa yang Tuan Muda bicarakan? Ini sudah malam—"
"Aku hanya ingin melihat langsung bagaimana orang-orang di sana menjalani hidup mereka," sahut Taehwa.
"Tapi Tuan Muda, tempat itu bukanlah tempat yang bisa Tuan Muda datangi."
"Alasannya?"
Paman Shin merasa kesulitan untuk memberikan jawaban, sehingga pria itu hanya diam dengan raut wajah yang tampak resah.
Taehwa kembali berucap, "tadi pagi, para aktivis Distrik 1 menemui ayah."
Paman Shin kembali dibuat terkejut, karena memang insiden tadi pagi sengaja dirahasiakan dari publik agar tidak menimbulkan masalah baru.
"Apa, apa yang baru saja Tuan Muda katakan?"
"Mereka mengatakan akan merebut kembali distrik dengan cara mereka sendiri jika ayahku tidak bersedia membantu mereka."
"Tuan Muda ... benarkah yang Tuan Muda katakan?"
"Mereka mengatakan telah terjadi perbudakan di sana. Untuk itu, aku ingin memastikannya secara langsung."
"Tapi ... apakah Presiden sudah tahu tentang keinginan Tuan Muda ini?"
"Ayahku mendapatkan masalah yang serius. Akan lebih baik jika Paman tidak memberitahunya."
"Tapi Tuan Muda, pergi ke sana bukanlah keputusan yang baik."
"Aku hanya ingin memastikannya. Aku tidak akan melakukan hal lain selain hanya melihat."
Paman Shin resah.
"Jika Paman tidak bersedia, aku akan pergi ke sana sendiri."
"Kita berangkat besok pagi setelah Presiden meninggalkan rumah," sahut paman Shin yang tak lagi memiliki pilihan lain.
Seulas senyum terlihat di wajah Taehwa. Pemuda itu lantas berucap, "terima kasih."
Selesai ditulis : 17.06.2020
Dipublikasikan : 21.06.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro